Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 15 Pertempuran Hari Kedua

Pertempuran Hari Kedua 4

“Anakku, hari ini kita akan segera menemui akhir dari perjalanan masing-masing,” kata Ki Wisanggeni setelah menghadapi anak kandungnya.

“Tidak, Ayah. Sebaiknya Ayah segera kembali ke barisan Majapahit,” sahut Lembu Daksa dari atas punggung kuda.

“Aku tidak membelakangi janji!” kata Ki Wisanggeni.

Dalam waktu itu, beberapa kelompok prajurit segera mengelilingi senapati masing-masing. Mereka agaknya menyadari bahwa dalam waktu yang tidak lama akan terjadi satu perang tanding. Satu pertempuran yang memilukan ketika ayah dan anak saling berhadapan dan saling membunuh.

loading...

“Ayah. Jika Ki Sentot menyadari keadaan yang semestinya terjadi dan dapat menerima itu sebagai kenyataan, tentu ia tidak akan kejam pada orang yang menentangnya. Sekalipun ia berpikir sedang berjuang untuk  kebenaran, sebenarnya ia hanya mementingkan diri sendiri serta menebar derita pada orang lain.”

“Sesorahmu tidak akan didengar oleh Ki Sentot.”

“Jika demikian, saya mohon ampunan dari Ayah. Saya akan melawan ayah sebagai seorang kesatria Majapahit!” berkata Lembu Daksa lirih lalu, ”saya mungkin akan membunuh Anda tetapi bukan karena kebencian, tetapi tanggung jawab sebagai prajurit.”

Sebagai orang yang berkemampuan tinggi, Ki Wisanggeni dapat mendengar segala yang dikatakan oleh anaknya meskipun sangat pelan terdengar di tengah gemuruh pertempuran.

“Maafkan aku, Lembu Daksa. Aku hanya dapat berharap kita dapat bertemu lagi pada keadaan yang berbeda di kehidupan yang akan datang. Tetapi aku bangga dengan apa pun yang kau lakukan pada hari ini,” suara Ki Wisanggeni terdengar menggetarkan dan menyayat. Bahkan ketika sejumlah prajurit Majapahit menundukkan kepala, beberapa orang yang menjadi lawannya dapat merasakan kegetiran yang melanda ayah dan anak itu. Kecuali beberapa orang yang pada mulanya adalah sekelompok orang yang berhati kasar, mereka tetap meneriakkan makian serta umpatan-umpatan kotor pada Lembu Daksa.

Lembu Daksa menggenangkan air mata.

“Ampuni saya, Pencipta. Maafkan anakmu, Ayah,” gumam Lembu Daksa seraya mengangkat tombak.

Ki Wisanggeni dengan mata terpejam segera menarik pedangnya yang besar. Ia menundukkan kepala. Dadanya serasa bergemuruh seperti diterjang air bah. Ia menghentak lambung kuda dengan dua kakinya. Tak lama kemuIan  pedangnya sudah menebas dahsyat. Dengan cekatan Lembu Daksa mengendalikan kuda menghindar sambil balas memukul dengan tombaknya yang juga dapat dielakkan oleh lawannya yang tangguh. Terjadilah perkelahian yang amat hebat, gerakan tangan mereka sedemikian cepat sehingga kedua senjata itu seperti saling membelit dan sukar diikuti pandang mata.  Kuda mereka sesekali mengangkat dua kaki depan, di saat lain tampak seperti burung elang menyambar mangsa.

Pertarungan itu semakin cepat dan dahsyat, tiba-tiba terdengar lengkingan keras dari Ki Wisanggeni. Ia melompat dari punggung kuda dan meluncur deras ke Lembu Daksa yang sedang memperbaiki keadaannya. Melihat bahaya datang padanya, Lembu Daksa segera melayang turun dari kuda. Ia tidak menghindar serangan yang datang, tombaknya berputar ke atas memukul pedang. Ki Wisanggeni cepat menyadari bahwa anaknya yang dikasihi akan membenturkan kekuatan sepenuh tenaga dengannya. Ki Wisanggeni tidak membelokkan arah pedang.

Satu ledakan hebat terdengar mengguncang dada orang-orang yang berada di seputar perang tanding itu. Keduanya merasakan tangan bergetar hebat. Agaknya tenaga Lembu Daksa berada pada satu lapis yang sama dengan ayahnya.

Ki Wisanggeni meloncat mundur, berancang-ancang, lalu menerjang kembali tanpa menghiraukan getaran pada tangannya. Terdengar desing angin dan gulungan sinar pedangnya menerpa sekujur tubuh Lembu Daksa. Lembu Daksa menepi ke belakang dengan berjungkir balik menghindari sambaran pedang Ki Wisanggeni. Sekejap kemudian ia melihat celah di lambung kanan Ki Wisanggeni, ia balas menerjang. Pertarungan berlangsung sangat sengit. Dua orang itu seolah melupakan bahwa sesungguhnya mereka adalah berdarah satu.

Demikianlah yang terjadi di antara Ki Wisanggeni dan anaknya. Keduanya bertempur sewajarnya sebagai kesatria di medan laga. Ki Wisanggeni meyakini kebenaran yang dianutnya bahwa ia sedang berjuang mengembalikan tahta sesuai garis yang sebenarnya. Sedangkan Lembu Daksa menganggap itu adalah bagian dari masa lampau. Oleh karenanya ia berbeda pandangan dengan ayahnya. Lembu Daksa bertempur demi sebuah tanggung jawab melindungi rajanya dari gangguan.

Ken Banawa yang berada di atas panggungan kecil di belakang garis pertempuran menilai keadaan yang terjadi di hadapannya dengan kening berkerut. Sesekali wajahnya melepaskan kelegaan ketika pasukan yang ia pimpin berhasil maju selangkah demi selangkah. Ki Jayapawira yang berada di sayap kiri terlihat sedang berusaha mempertahankan kedudukan prajuritnya. Sayap yang ia pimpin berhasil mendesak mundur pasukan lawan belasan langkah ke belakang.

Wedaran Terkait

Pertempuran Hari Kedua – 9

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 16

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 14

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 13

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 12

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua 7

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.