Padepokan Witasem
arya penangsang, jipang, penaklukan panarukan, panderan benawa
Bab 1 - Serat Lelayu

Serat Lelayu 6

Pilihan yang sulit. Setiap ujung dari pilihan tetap akan membawa akibat yang tidak dapat dipandang kecil oleh kerabat dan keluarga Raden Trenggana. Meski demikian, Ki Tumenggung Prabasena tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama untuk menimbang permasalahan itu. Yang lebih penting baginya adalah secepatnya meninggalkan Blambangan karena Arya Penangsang pun dianggap sudah memberi keterangan yang cukup baginya. Ki Tumenggung Prabasena sepintas memandang Gagak Panji lalu menerima persetujuan agar segera mengakhiri pertemuan.

Arya Penangsang juga merasakan hal yang sama. Dia berdiri lalu beranjak mendekati pintu kemah lantas memandang ke luar. Adipati Jipang itu mematung sejenak, mendengarkankan segala suara dan bunyi yang memasuki pendengarannya. Ombak berdebur dan bergulung-gulung tiada lelah. Hembus angin merambat pelan sebelum mengusap wajah Arya Penangsang. Dia memutar badan kemudian berkata, “Bukankah Mpu Badandan dan Hyang Menak telah meyiapkan kuda yang tegar bagi kita? Atau aku yang gede rumangsa?”

Dua kerabatnya menanggapi dengan senyum.

Rembulan tidak muncul dari kedalaman air tetapi kilau yang terpantul ombak mampu mengusap kalut yang singgah di dalam hati Gagak Panji. Pewira Jipang yang tak segan-segan berseberangan dengan Raden Trenggana telah berdiri di samping Arya Penangsang. Lantas ucapnya lirih, “Jika kita tertinggal oleh Paman Trenggana, apa yang kira-kira yang menjadi keputusan dewan sidang yang mewakili suara langit?”

loading...

“Aku tidak mengerti dan itu adalah jawabanku sebagai adipati,” jawab Arya Penangsang. “Namun sebagai keponakan dan bagian dari rakyat Demak, tidak ada yang lebih utama daripada harapan dan permohonan terbaik bagi beliau.”

Ki Tumenggung Prabasena meminta jalan, memanggil penjaga lantas memintanya agar  menyiapkan kuda dan perbekalan. Setelah penjaga itu berlalu, Ki Tumenggung Prabasena berkata pada dua kerabatnya, “Keadaan di Demak bisa jadi lebih genting dari segala yang kita perkirakan di sini.”

“Ya, saya dapat merasakan itu,” kata Arya Penangsang. “Kita tidak dapat menggantungkan masa depan Demak pada pembicaraan yang mungkin sudah menggema di surau-surau. Mungkin, dan memang, keputusan sidang orang-orang berjiwani tinggi akan membawa pengaruh pada suara dan keinginan kebanyakan orang.” Suara Arya Penangsang mendadak berubah menjadi lebih genting. “Ki Danupati dan Gending Pamungkas hanyalah dua ujung jari dari sejulur tangan yang sedang mengembangkan cakar maut di kotaraja.”

Arya Penangsang kemudian diam dan seakan-akan sedang menggantung perkataan. Sejenak kemudian, dia melanjutkan, “Kyai Rontek pun tidak mungkin bergerak dengan kemauan sendiri. Saya tidak ingin meragukan ketinggian ilmu orang-orang berjiwani tinggi, tetapi, bukankah beliau semua juga manusia seperti kita? Saya pikir, kita harus mengabaikan keadaan yang selalu memberi kemenangan pada orang-orang baik.”

Ki Tumenggung Prabasena mengerutkan kening ketika beradu pandang dengan Arya Penangsang.

Gagak Panji mengambil jalan tengah meski cenderung menguatkan Arya Penangsang, “Bukankah di dalam diri kita selalu ada bisikan dan ajakan yang kerap menyimpang dari tatanan, Kakang?”

“Tetapi mereka memang berkedudukan tinggi…”

Arya Penangsang memotong ucapan Ki Tumenggung Prabasena, “Itu tidak menjadi jaminan dapat lepas dari kesalahan. Kakang, kita sedang berhadapan dan berseberangan dengan sekawanan orang yang mempunyai kecerdikan luar biasa. Maksud saya, untuk menghadapi mereka, kita tidak cukup berbekal pada kepatuhan tanpa siasat.”

“Kita tidak mungkin berlama-lama dalam perjalanan,” seru Gagak Panji kemudian. “Barangkali kita akan dapat lebih cepat menempuh perjalanan dibandingkan Ki Wadas Palungan dan barisan kapal perang Demak.”

Seruan Gagak Panji menghentikan perbantahan kecil antara Arya Penangsang dan Ki Tumenggung Prabasena. “Adakah dari kalian berdua yang mengetahui jalan pintas dari Blambangan ke Demak?” bertanya Ki Tumenggung Prabasena.

Gagak Panji menjawabnya dengan ayunan langkah lebar menuju kuda yang sudah siap di depan gerbang kemah. Dia meluangkan waktu sesaat untuk memeriksa keadaan kuda yang bakal menjadi tunggangannya. Sekejap kemudian, Gagak Panji telah berada di atas punggung kuda. Kepada pengawal Blambangan yang berada di dekatnya, Gagak Panji berkata, “Sampaikan salam hormat kami pada Hyang Menak dan seluruh prajurit Blambangan. Bagi kami, adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan yang istimewa dengan bertempur pada sisi kalian. Kecintaan kami akan dibuktikan oleh Ki Tumenggung Lembu Ancak dan Ki Jemparing Lungguh. Sampai jumpa!”

Gagak Panji mencongklang kuda tanpa menyiratkan keraguan. Arya Penangsang dan serta Ki Tumenggung Prabasena segera menyusulnya sebelum berpamitan atau beruluk hormat dengan sejumlah prajurit Blambangan yang mengitari mereka.

Kelam mengikuti malam yang tiada jenuh membayang di permukaan bumi ketika tiga penunggang itu memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Ibukota Demak masih membutuhkan waktu berhari-hari walau mereka melaju tanpa henti. Tetapi perasaan mereka yang bergolak seakan-akan membuat jarak tempuh yang jauh itu seperti dapat ditempuh dalam semalam. Untuk sejenak waktu, Gagak Panji kehilangan pengamatan diri. Sungguh berat baginya jika melewatkan keadaan sulit yang sedang dialami Raden Trenggana. Muncul perasaan bersalah karena keteguhannya pada keyakinan bahwa pamannya keliru membuat keputusan. Namun, apakah dia sendiri yang harus menjadi lawan tanding dalam pertempuran Panarukan?

Barangkali mereka telah menempuh waktu lebih dari setengah malam dengan berpacu cepat. Setelah melintas di sisi lereng bukit kecil, perjalanan mereka berlanjut di atas jalanan datar yang lurus membelah tiga pategalan kering. Gemericik aliran air kemudian terdengar. Sepertinya ada sungai yang tak jauh dari jalanan itu.

Arya Penangsang membelokkan kuda, mencari sumber suara. Pendengarannya mengambil alih kendali lalu menuntunnya hingga mencapai tebing sungai. Lereng yang cukup landai sehingga mereka dapat membawa kuda lebih dekat pada bibir sungai. Suasana tidak lagi begitu temaram ketika fajar melemparkan senyum hangat pada alam semesta. dalam bebatuan. Sambil menciduk air dengan dua tangannya, Arya Penangsang menatap pantulan wajahnya di permukaan air yang tenang. Sejenak dia bimbang dengan keputusannya untuk menyertai Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena hingga memasuki kotaraja. Tetapi berpisah dengan mereka pun mustahil dilakukannya. “Paman Trenggana sedang dalam kesulitan. Kakang berdua pun tidak akan dapat bersikap tenang menyikapi kerumitan yang mungkin akan dimanfaatk seseorang untuk membuat kerusuhan. Hanya saja, aku belum dapat berlapang hati bertemu dengan Prawata,” gumam Arya Penangsang dalam hati. Pandang mata Arya Penangsang menumbuk sejumlah bongkah batu hitam yang berlumut pada banyak bagian. Dia menghirup udara dalam-dalam sebelum memutuskan, apakah tetap ikut ke kotaraja atau pulang ke Jipang?

“Aku pikir kita dapat beristirahat di tempat ini untuk sebentar waktu,” kata Ki Tumenggung Prabasena dengan nada yang tidak dapat dibantah.

Tiga ekor kuda tegar pun membutuhkan waktu untuk merenggangkan otot. Atas permintaan saudara tua mereka, Gagak Panji dan Arya Penangsang dengan hati ringan menerima ucapan lirih yang terdengar seperti perintah. Mereka pun memerlukan waktu untuk mengembalikan ketahanan raga serta menyeimbangkan jiwani. Mereka akan pulih dan bugar sebelum matahari mencapai ketinggian pohon pisang.

Gagak Panji melihat sebuah bayangan yang melintasi pematang di kejauhan, Katanya, “Petani. Dia muncul dari balik barisan pohon,” ucap lirih Gagak Panji. “Kakang Tumenggung, mungkin kita dapat beralih tempat istirahat. Barangkali, kita juga dapat menjumput keterangan kecil yang mungkin terdampar di dusun di balik rimbun pohon di sebelah sana.” Gagak Panji memanjangkan tangan pada sebuah arah.

Ki Tumenggung Prabasena memandang pada dusun yang tersembunyi dari jalan yang mereka lalui. “Adi Penangsang, bagaimana?”

“Saya tidak pernah meragukan kepekaan seorang perwira, terlebih jika perwira itu adalah Kakang Gagak Panji,” kata Arya Penangsang.

Bagi tiga orang itu, segala tempat adalah baik untuk kebutuhan istirahat. Lebih-lebih jika menghubungkannya dengan kotaraja yang terancam terperosok ke dalam suasana yang genting. Bila memang harus menghadapi sebuah pertempuran di dusun kecil itu, apa  boleh buat? Demak masih sangat jauh dari lereng pegunungan yang mengitari Lumajang, keadaan pun tidak dapat dipastikan segera membaik bila tetap bertahan di tepi sungai.

Sesudah berbincang sebentar untuk sebuah rencana, mereka berjalan kaki sambil menuntun kuda menuju dusun yang terletak di sisi agak dalam dari sebuah hutan yang mengelilingi bukit kecil. Mereka harus menyeberangi parit kecil sebelum mencapai jalan utama yang agak lebar. Dua bulak panjang mengapit satu-satunya jalan yang terlihat sejauh mata memandang. Mereka akan melintasi regol setelah melampaui sebidang tanah yang ditumbuhi pohon pisang yang tumbuh sangat padat. Gunung Arjuna terlihat begitu megah memanjang. Kurang dari tiga puluh langkah mereka bakal memasuki wilayah dusun Tumpangkerep.

“Bukankah lelaki yang berikat kepala putih itu adalah Arya Penangsang?” tanya seseorang yang mengintai dari bawah rindang pohon trembesi. Sikapnya cukup santai karena terlindung pohon pisang yang bergerumbul.

“Mengapa itu membuatmu heran?” kawannya justru bertanya balik.

Mereka berada sedikit lebih tinggi dari jalan yang dilalui Ki Tumenggung Prabasena bersama dua kerabatnya. Kedudukan dua pengintai ini benar-benar sangat baik. Tempat itu membelakangi arah matahari terbit sehingga cahaya pasti menyilaukan orang yang melempar pandang pada mereka. Meski gundukan tanah itu hanya sanggup memuat tiga orang, tetapi itu adalah tempat yang tepat untuk mengamati setiap pergerakan yang keluar dan masuk ke dalam dusun.

Wedaran Terkait

Serat Lelayu 9

kibanjarasman

Serat Lelayu 8

kibanjarasman

Serat Lelayu 7

kibanjarasman

Serat Lelayu 5

kibanjarasman

Serat Lelayu 4

kibanjarasman

Serat Lelayu 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.