Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 13

Di antara deru kibas senjata yang terkadang mengeluarkan bunyi bercuitan, Bondan dapat mendengarkan suara hewan malam. Samar-samar, ia dapat menangkap desir kaki Ra Jumantara saat bergeser tempat dan melangkah. Demikianlah Bondan merambat lebih cepat menuju batas tertinggi pendengaran, dan Ra Jumantara juga telah mencapai kecepatan yang semakin menggila. Begitu cepat ia bergerak, menerjang, memutar tubuh dan senjata hingga tampak seolah-olah ada pelita besar yang menerangi sekitar lingkaran pertempurannya dengan Bondan.

Bondan melakukan penyesuaian. Murid Resi Gajahyana ini tidak serta merta menutup mata menghadapi lawan yang bertarung sangat trengginas dan garang. Kyai Sablak, nama keris yang menjadi senjata Bondan terus berdesing, saling menindih dengan gaung senjata Ra Jumantara. Senjata mereka bercuitan nyaring saling bersahutan, kadang-kadang tampak pula dua cahaya melebur menjadi satu lalu saling menjauh, melejit ke atas dan lenyap. Perkelahian berlangsung cukup lama. Barangkali telah melewati setengah malam. Pada waktu itu, Ra Jumantara perlahan-lahan kehilangan pengamatan diri dan keseimbangan dalam jiwanya. Ia merasa telah berada pada puncak tertinggi ilmu, namun semangatnya terhantam kenyataan bahwa  lawannya yang masih muda begitu tegar dan sangat kuat menghadapinya.

Orang-orang di sekitar pertarungan semakin menjauh, menghindar dari sambaran tenaga sakti yang dapat mencapai tempat mereka serta sanggup membakar kulit yang tidak tertutup kain.

Fajar mulai merekah, tetapi perang tanding belum selesai. Ketika cahaya terang dapat menyentuh batang pohon dan benda-benda lain, maka terkejutlah orang-orang  saat melihat sebagian kecil dedaunan hangus terbakar. Ketika mereka memindahkan pandangan, tampak pula banyak daun-daun yang mengering dan layu.

loading...

Pada saat itu, Ken Banawa terlibat sedikit percakapan dengan Nyi Kirana. “Tuan Rangga, apakah benar apa yang dikatakan Ra Jumantara tentang guru dari anak muda itu?” bertanya Nyi Kirana.

“Aku sama sekali tidak mendengar yang dikatakan Bondan. Apakah kau mendengarnya, Nyi?” Ken Banawa bertanya balik pada Nyi Kirana.

“Tidak,” jawab Nyi Kirana sambil menggelengkan kepala.

Sementara Ken Banawa menatap wajah Nyi Kirana dari samping dengan tatapan yang tajam. “Bila demikian, aku juga tidak dapat mengatakan sedikit pun tentang guru Bondan.” Nyi Kirana berpaling pada Ken Banawa dengan dahi berkerut. Kemudian Ken Banawa menambahkan, ”Aku tidak mungkin melebihi apa yang dikatakan oleh anak itu dan juga tidak mengurangi apa yang pernah ia katakan.”

Sementara Jalutama berdecak kagum melihat setiap gerak pola yang dilakukan Bondan saat itu. Di sampingnya, Ki Hanggapati berulang kali hanya bertukar pandang dengan Ki Swandanu.

“Ki Swandanu, apakah memang seperti itu tanda-tanda kemajuan Bondan seperti yang dipesankan oleh Eyang Resi?” Ki Hanggapati bertanya sambil menarik napas dalam-dalam.

“Entahlah, Ki. Memang ada satu atau dua tanda-tanda itu telah ada dalam dirinya namun aku sendiri masih belum sepenuhnya yakin,” jawab Ki Swandanu. Ia memeriksa luka-luka sesaat lalu katanya lagi, ”Satu hal yang aku peroleh sepanjang perjalanan sejak dari kotaraja hingga saat ini adalah Bondan tidak ingin berhenti untuk berkembang. Ia dapat melihat setiap celah sempit yang memberinya jalan untuk mencapai batas tertinggi.”

“Ki Swandanu membuatku menjadi malu,” kata Jalutama yang berdiri di dekat mereka dengan sedikit rasa terguncang dalam dadanya.

“Tidak seperti itu, Ngger. Tetapi kalian berdua mempunyai masa lalu yang berbeda. Berbeda dalam lingkungan dan jalan hidup. Sehingga setiap dari kalian pun mempunyai kemajuan yang dapat dikembangkan sendiri melalui pengalaman. Keadaan seperti itu juga terjadi pada diri kami.” Ucapan Ki Swandanu sedikit banyak dapat meredakan guncangan yang dialami Jalutama.

Pada saat orang-orang membicarakan tentang pertarungan yang sengit itu, kembali Ra Jumantara meloncat surut. Kemarahannya semakin menjadi-jadi ketika melihat Bondan menghadapinya dengan mata tertutup! Ia sudah tidak lagi memperhatikan keadaan dirinya yang mulai mengalami penyusutan tenaga dan kecepatan. Segenap ilmu ia salurkan melalui dua tangannya.

Kerisnya menyala merah membara dan sekali-kali keluar lidah api. Kening Bondan berkerut merasakan perubahan getaran yang timbul dari lawannya. Yang terjadi adalah Ra Jumantara telah melampaui batasan yang ada dalam dirinya. Di hadapannya,  Bondan telah bersiap dengan tubuh sedikit merendah. Bagi Ra Jumantara, sikap tubuh Bondan justru seperti seekor kelinci yang mrenyerahkan diri untuk dipanggang sebagai hidangan pagi.

“Tidak ada jalan untuk kembali. Tentu akan menjadi pertemuan yang sangat menyenangkan bagi Mpu Reksa Rawaja jika beliau telah tiba di Pajang,” kata Ra Jumantara di sela-sela pengerahan tenaga inti yang semakin dahsyat. Lalu ia berkata lagi, ”Aku sangat berharap dapat melihat pertarungan yang akan terjadi jika Mpu Reksa Rawaja harus menghadapi gurumu, Resi Gajahyana.”

Dahi Bondan makin berkerut dalam ketika berusaha mengerti ucapan musuhnya.  “Eyang Resi sudah tidak mungkin akan kembali mengotori tangan dengan sebuah pertarungan,” gumam Bondan di tengah-tengah pengerahan puncak ilmunya.

Teriakan melengking memekakkan telinga panjang terdengar keluar dari bibir Ra Jumantara. Dedaunan bergoyang-goyang. Bersamaan dengan kesaktian Ra Jumantara yang menghentak hebat, Bondan tak ingin Ra Jumantara menyerang lebih dahulu. Dari jarak sekitar dua belas langkah, Bondan meluncur dahsyat dengan kecepatan yang sulit dikatakan. Tetapi Bondan agaknya salah memperhitungkan, Ra Jumantara justru melepaskan pukulan jarak jauh yang sangat hebat. Dorongan angin terasa panas dan mengenai tubuh Bondan yang sedang melayang. Angin pukulan itu menghambat laju Bondan. Tubuhnya sedikit tergetar karena dorongan itu semakin besar. Tidak ada jalan bagi Bondan kecuali mengebutkan ikat kepalanya, menghantam langsung pada pusat tenaga inti Ra Jumantara.

Satu ledakan dahsyat menggelegar membuat kaget seluruh penghuni hutan.

Mengepul uap panas.

Daun dan rumput kering terhempas ke udara. Tanah yang kering menjadi debu yang menusuk mata. Jalutama dan Ki Swandanu terhuyung mundur selangkah, sementara tiga orang lainnya bergetar hebat meskipun telah memiringkan tubuh dengan bentuk pertahanan yang kuat. Sebatang pohon yang berada paling dekat dengan dua orang yang berkelahi itu memang tidak roboh, tetapi seluruh daunnya menjadi rontok dan ranting-rantingnya mengering.

Tiba-tiba keadaan menjadi hening.

Wedaran Terkait

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 9

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 8

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 7

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 6

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 5

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.