Siasat Gajah Mada
Sementara di tempat lain seorang perwira berpangkat rendah yang menyelinap keluar dari lingkungan kota Kahuripan, akhirnya tiba di kotaraja sesaat sebelum fajar berpendar. Tanpa banyak kesulitan ia memasuki gerbang kotaraja. Para prajurit yang berjaga sudah banyak mengenalnya sebagai seorang perwira yang dipercaya Dyah Gitarja. Perwira bertubuh besar dan agak tinggi ini segera menuju bangunan yang ditempati Bhre Kahuripan jika berada di kotaraja.
Pengawal yang berada di regol halaman berjalan mendampinginya hingga tamunya masuk menemui Bhre Kahuripan.
“Ada apa kau pagi-pagi telah menyusulku kemari, Kakang?” bertanya Dyah Gitarja dengan tatap mata penuh selidik.
Perwira itu menarik napas dalam-dalam, sejenak ia membenahi letak duduknya lalu katanya, ”Saya kemari karena Kahuripan telah dikuasai oleh Ki Srengganan dan kawanan Ki Cendhala Geni. Tidak banyak yang dapat aku lakukan selain menggeser pasukan yang masih setia kepadamu.”
Dyah Gitarja yang masih berdiri tegak menggeram marah. Wajahnya memerah akan tetapi ia masih dapat menahan diri. Kemudian kata Bhre Kahuripan, ”Ke mana kau menggeser pasukan itu, Kakang?”
“Mereka masih di dalam kota, Sri Batara. Aku meminta mereka untuk tunduk pada Ki Srengganan dan Ki Cendhala Geni,” jawab orang yang dipanggil Kakang.
“Kau sama sekali tidak melakukan perlawanan? Lalu bagaimana aku dapat kembali ke Kahuripan?” Dyah Gitarja hampir-hampir tidak dapat menahan diri untuk berteriak. Penguasa Kahirupan ini kemudian menghempaskan tubuh ke sebuah lincak bambu yang berada di sebelah sebuah guci besar.
“Katakan padaku, Kakang Gajah Mada. Katakan jika kau sebenarnya memang memiliki rencana untuk menghalau mereka keluar?” Bhre Kahuripan bertanya kemudian menutup wajah dengan dua telapak tangan.
“Aku memang sengaja membiarkan mereka menguasai kota dan keraton. Beberapa prajurit telah bersiap sebelum ada Pasowan Agung di Paseban,” Gajah Mada menunggu Bhre Kahuripan mengucapkan kata-kata. Setelah beberapa saat, ia meneruskan, ”Kabar mengenai Ki Srengganan yang berencana menguasai kota sebenarnya telah aku dengar sepekan sebelumnya. Tetapi, maafkan, aku tidak memberitahumu.”
Gajah Mada menatap lurus wajah Bhre Kahuripan. Gajah Mada mendesah dalam hatinya, ”Aku terpaksa melakukan itu karena hampir di setiap jenjang keprajuritan dan pelayan telah berisi orang-orang Ki Srengganan.”
“Apakah itu berarti kau telah tidak percaya kepadaku, Kakang?“ datar Dyah Gitarja bertanya. Ia menatap Gajah Mada dengan satu pandangan tajam yang mampu memutus urat jantung perwira yang setia padanya itu. Bhre Kahuripan melanjutkan kemudian, ”Tetapi baiklah. Tentu saja kita harus bertemu dengan Sri Jayanegara dan Mpu Nambi sebelum membahas banyak persoalan, terutama mengenai Kahuripan.”
Gajah Mada tidak memberi tanggapan. Keningnya berkerut namun ia tak melepaskan perhatian dari ucapan pemimpinnya.
Suara Bhre Kahuripan masih menggema, “Sebaiknya Kakang katakan rencana itu pada saat kita bertemu Sri Jayanegara dan Mpu Nambi.”
“Saya mendengarkan.”
“Tidak ada lagi pembicaraan,” tutup Bhre Kahuripan. “Untuk sementara waktu hingga pertemuan itu tiba, Kakang dapat beristirahat dulu di gandok kanan. Kakang tentu lelah berjalan sepanjang malam.”
Dyah Gitarja juga melihat Gajah Mada mengalami kelelahan jiwa yang luar biasa. Ia akhirnya dapat mengerti tekanan yang dialami oleh kakanya itu. Betapa Gajah Mada memendam rahasia cukup lama mengenai Ki Srengganan, yang sebelumnya berkedudukan sebagai Patih Kahuripan, yang berencana menyingkirkan Dyah Gitarja sebagai penguasa yang sah.
“Tentu ia merasa bersalah. Aku tahu bagaimana perasaan kakang Gajah Mada mengenai pembangkangan ini.” Dyah Gitarja bergumam dalam hati sambil mengantarkan Gajah Mada menuju biliknya.
Matahari yang bersinar cerah menerangi bumi kotaraja tetapi tidak mampu mengusir bayangan gelap yang menggelayut dalam benak Gajah Mada. Dalam waktu itu, Bhre Kahuripan ditemani Gajah Mada dan beberapa pengawal berjalan beriringan menuju keraton untuk bertemu dengan Sri Jayanegara dan Mpu Nambi.