Ki Getas Pendawa menarik napas panjang, ia berkata, ”Rambesaji, aku tidak menyediakan waktu lebih banyak untukmu.” Usai mengatup bibirnya dengan rapat, Ki Getas Pendawa menerjang maju. Dalam waktu itu, lambaran tenaga inti miliknya telah mengeluarkan angin menyerang Rambesaji sebelum musuhnya melakukan gerakan. Sehingga yang terjadi adalah tubuh Rambesaji bergetar hebat menerima gelombang tenaga dahsyat Ki Getas Pendawa. Sekejap mata kemudian Ki Getas Pendawa melayang deras dengan telapak tangan terbuka menyambar kepala Rambesaji.
Tak ingin kepalanya menjadi sasaran empuk, dua lengan Rambesaji segera menyilang menutup celah yang terbuka lebar di atas kepala. Sementara kedua kaki Rambesaji sudah tidak dapat lagi bergerak karena tekanan dari tenaga inti Ki Getas Pendawa begitu hebat menghimpitnya.
Satu ayunan yang lebih lambat memukul kedua lengan Rambesaji yang bersilang, terdengar bunyi ledakan yang cukup keras dan tiba-tiba Rambesaji telah terbenam ke tanah sedalam lututnya.
“Kau akan berada di tempat ini hingga Pangeran Parikesit memutuskan yang berbeda.”
Tatap mata dingin Ki Getas Pendawa berkilat menyambar Rambesaji. Sejenak kemudian kedua tangan Ki Getas bergerak dengan satu kibasan menghantam dua pengikut Rambesaji yang duduk bersandar pada sebatang pohon. Pukulan jarak jauh dari Ki Getas Pendawa telah menjadikan mereka berdua pingsan di tempat mereka duduk.
Dengan gagah dan penuh wibawa, Ki Getas Pendawa berdiri tegak di hadapan Rambesaji yang menundukkan kepala, katanya, ”Aku akan menjaga tatanan ini dengan cara yang aku mengerti. Aku menguasai apa yang tidak kau pahami. Aku mempelajari apa yang kau tidak pernah mau peduli. Selamat tinggal.”
Tubuh Ki Getas Pendawa lenyap dalam sekejap usai berkata-kata pada Rambesaji. Ia menyusul rombongan Kanjeng Adipati Pajang yang telah jauh berada di depan. Dalam gelap malam yang pekat, Ki Getas Pendawa melintas sangat cepat. Dua kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Namun ia berkejaran dengan perasaan dan pikiran resah. Ia sulit membayangkan jika Kiai Rontek mampu menghentikan Adipati Hadiwijaya di tengah jalan.
Sepeninggal Ki Getas Pendawa, Rambesaji dengan mulut terbuka masih menatap arah kepergian Ki Getas Pendawa dengan rasa takjub.
“Aku hanya mendengar dari orang-orang tentang Jendra Bhirawa. Apakah orang itu telah berada di puncak ilmu yang dahsyat tersebut?” ia bertanya-tanya dalam hatinya. Selanjutnya dalam keadaan tubuh yang membeku dan tertanam sedalam lutut, ia berusaha menghubungkan garis ilmu Ki Getas Pendawa dengan Toh Kuning berdasarkan berita yang ia dengar secara turun temurun.
Ketika Rambesaji masih berkelahi dengan sengit mengeroyok Ki Getas Pendawa, Batara Keling seolah ingin menunjukkan kemajuan yang dicapainya di hadapan Pangeran Parikesit. Di lingkar yang berjarak puluhan langkah dari perkelahian Ki Getas Pendawa, sekali-kali sorot mata Batara Keling berubah menjadi merah. Perubahan yang terjadi dalam tubuh Batara Keling adalah pengaruh ilmu Kapuk Rangsang. Sebuah ilmu yang mempunyai watak yang tidak sesuai dengan namanya. Para pemilik ilmu ini akan mempunyai sorot mata berwarna merah sebagai tanda telah mencapai puncak. Maka dari itu, Batara Keling sesekali mengerahkan kemampuannya yang tertinggi untuk mempengaruhi ketahanan hati Pangeran Parikesit.
Namun Batara Keling mengabaikan satu hal yang penting bahwa sebenarnya Pangeran Parikesit tidak duduk bertopang dagu dalam masa yang panjang. Pangeran Parikesit tidak berhenti menggali kedalaman watak dari ilmunya yang mempunyai ciri yang berbeda dengan ilmu-ilmu tingkat tinggi lainnya. Melalui tatap mata yang menunjukkan kedalaman hatinya, Pangeran Parikesit sama sekali tidak menunjukkan kekaguman atau perasaan yang lain.
Pada waktu itu, belum terlihat perubahan yang dapat menyebabkan keseimbangan berubah. Kedua orang berkepandaian tinggi itu saling menarik dan mendorong dengan kekuatan yang tidak terlihat oleh mata wadag. Ledakan-ledakan kecil masih kerap terdengar setiap kali mereka membenturkan tenaga.
Jauh di relung hatinya, sebenarnya Pangeran Parikesit ingin memberi pelajaran pada orang yang banyak menebar berita bohong pada akhir masa pemerintahan ayahnya. Bahkan karena ulah Batara Keling, beberapa saudara Pangeran Parikesit memilih untuk mengasingkan diri di sekitar puncak Gunung Lawu. Mereka semua percaya dan menyerahkan masalah keamanan pada Raden Fatah. Meski Pangeran Parikesit merasa pedih hatinya saat mengingat pertemuan mereka yang terakhir, namun ia berupaya keras menahan rasa dendam agar tidak mempunyai gejolak dalam dadanya.