Tetapi keduanya meyakini bahwa Ken Banawa dan lurah prajurit lainnya akan membantu dua kademangan ini, untuk mempertahankan diri hingga batas akhir. Pohon harapan mulai mengakar dalam hati dua pemimpin kademangan saat menyaksikan tukar pikir antar senapati di depan mereka.
*****
Di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, Bondan sedang berlatih keras memulihkan diri setelah luka pada pundaknya berangsur sembuh. Tangan kirinya mencoba memutar-mutar ikat kepala yang tadinya terjuntai, lantas mengayun perlahan. Gerakan Bondan cukup bertenaga dan terlihat lambat tetapi semakin lama semakin cepat hingga setiap lecutan udengnya mampu meledak berkali-kali. Bondan juga mengulang gerakan-gerakan dasar sebagaimana yang diajarkan Resi Gajahyana kepadanya. Gerakan yang rumit dan sulit dilakukan pun, perlahan, mulai dilakukan Bondan.
Ketika matahari bergerak semakin tinggi, Bondan mencabut keris lalu mengayun ikat kepalanya bersamaan. Dua benda ini menjadi senjata berpasangan yang sama-sama hebat.
Keringat membasahi pakaian dan tak lama kemudian Bondan menutup latihan dengan bersila di atas rumput kering. Untuk sejenak ia membeku dengan rongga dada bergerak turun naik dan teratur, kemudian ia melangkah menuju pudukuhan induk untuk bergabung dengan yang lain. Bondan membantu sepenuh hati orang-orang mempersiapkan diri guna menghadapi pertempuran yang belum diketahui waktu dimulainya.
*****
Walau jarang bertemu dan bicara dengan Ki Sentot, Ki Cendhala Geni sebenarnya mempunyai banyak pertanyaan tetapi akhirnya dijawabnya sendiri. Pada waktu itu ia hanya dapat mengumpat dirinya sendiri.
“Ternyata aku selama ini sangat dungu. Mengapa tak terpikirkan bahwa Mantri Rukmasara mengatur sejumlah pencurian dan perampokan itu sebenarnya digunakan untuk rencana besar ini? Dan ternyata mereka benar-benar melakukannya secara rahasia bahkan aku sendiri tidak tahu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan remeh dari orang bodoh berpangkat lurah prajurit. Pekerjaan yang seharusnya tidak perlu membuatku turun tangan,” maki Ki Cendhala Geni dalam hati sewaktu mengamati kekuatan yang ada di dalam barisan pendukung Jayakatwang.
Ki Cendhala Geni mempunyai keyakinan bahwa Sumur Welut akan jatuh di tangan mereka. Dari sekian banyak alasan, adalah pasukan gajah dalam barisan dapat dikatakan sebagai penopang utamanya. Daya hancur seekor gajah jauh melebihi kemampuan seratus prajurit atau dua puluh pasukan berkuda. Pasukan gajah inilah yang melambungkan harapan Ki Cendhala Geni yang bertekad besar merusak bangunan yang telah didirikan Raden Wijaya.
Saat matahari sudah mencapai setinggi tombak, sejumlah pasukan di Bulak Banteng melakukan latihan bersama. Di bawah pengawasan Ki Sentot Tohjaya tampak semangat yang tinggi di setiap raut muka prajurit yang mengikuti gelar bersama itu. Ki Sentot Tohjaya merasbahwa ia tidak lagi sendiri seperti belasan tahun silam. Meski demikian, ia pun membayangkan bahwa akan banyak tubuh tak bernyawa tergeletak membujur lintang memenuhi padang. Kali ini tanpa gentar, Ki Sentot Tohjaya mengangkat wajah, seolah bertanya pada awan tipis yang merangkak di bawah kaki langit, ia bertanya, “Akan berapa lama lagi aku dapat mengulang kejayaan?”
Pada malam hari menjelang keberangkatan mereka untuk menduduki Sumur Welut, Ki Sentot mengumpulkan sejumlah senapati yang terpilih untuk membincangkan siasat pertempuran.
“Ki Cendhala Geni, aku meminta kesediaanmu mendampingi seorang senapati untuk mengisi sayap bagian kiri. Dan Ubandhana akan mendampingiku memimpin pasukan induk,” kata Ki Sentot Tohjaya pada pertemuan terakhir.
“Kehadiran Ki Cendhala Geni sebagai kekuatan baru, tentu tidak diperhitungkan oleh Majapahit. Itu keuntungan besar bagi kita. Dan aku juga menginginkan kesigapan kalian mengamati barisan di depan kalian. Setiap kemunduran pasukan kita harus segera tergantikan dengan tenaga baru dari kelompok yang berada di belakangnya. Aku harap rencana ini benar-benar terselenggara dengan baik,” kata Ki Sentot di depan sejumlah perwira Majapahit yang membelot.
Ketika beberapa orang sudah meninggalkan rumah Ki Sentot, maka Ki Cendhala Geni mendapatkan kesempatan untuk bicara lebih bebas.
“Ki Sentot. Nama-nama leluhur Sri Baginda Jayakatwang sudah sepantasnya diagungkan kembali. Perbuatan Ra Dyan Wijaya telah menorehkan luka yang tidak kunjung sembuh. Luka yang tidak meninggalkan wujud, tidak mengalirkan darah namun perlahan menjadi busuk. Hanya api yang dapat menghilangkan daging yang membusuk, hanya api yang dapat mengeringkan luka yang berdarah dan hanya api yang dapat membakar orang-orang berdosa.