Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 12 Persiapan

Persiapan 5

Malam semakin larut dan setiap kepekatan telah melebur dalam gelap.

Bondan dan Gumilang akhirnya tiba di depan gapura kademangan. Bondan memperingatkan para petugas yang sedang berjaga untuk semakin waspada, lalu ia beranjak melaporkan perkembangan di Bulak Banteng kepada Ken Banawa. Ada sedikit perubahan pada air muka Ken Banawa.

Di tengah hiruk pikuk kesibukan di penghujung malam, di dekat sebuah telaga kecil, Bondan berdiri berdampingan dengan Ken Banawa. “Paman, saya melihat Ki Cendhala Geni berada di antara sejumlah orang… yang tampaknya adalah para pemimpin pasukan Ki Sentot,” Bondan mengawali percakapan.

“Jika demikian itu berarti ada Ubandhana di dalam pasukan mereka. Mungkin juga orang-orang yang kau lihat itu bukan bagian dari pasukan Ki Sentot. Mereka dapat berasal dari berbagai tempat dengan bermacam tujuan. Keinginan Ki Sentot adalah satu pedati yang sangat besar dan memuat banyak orang dengan tujuan yang berlainan. Agaknya kita akan menghadapi pasukan yang benar-benar kuat dan siap.”

loading...

“Saya juga melihat beberapa gajah mulai ditempatkan di sekitar kapal.”

“Kapal?”

“Ya. Saya melihat banyak kapal, mungkin jumlahnya mencapai puluhan.”

“Hmmm, ini berarti mereka akan memasuki muara Kalimas dan sudah pasti mereka tidak berangkat dengan bersamaan. Ini jelas menyulitkan kita karena tidak mungkin dapat memeriksa satu per satu kapal yang lewat. Bila kita memaksa diri untuk melakukan itu, bukan tidak mungkin akhirnya mereka membatalkan serangan ke Sumur Welut.”

“Bukankah itu menjadi lebih baik, Paman?”

“Justru itu yang aku khawatirkan, Bondan. Karena mereka pasti mengetahuinya. Ki Sentot adalah bekas senapati  tangguh dalam pasukan Jayakatwang. Pasukannya berhasil memukul mundur dua pasukan yang dipimpin oleh Juru Demung dan Lembu Sora. Kedua orang ini adalah senapati pilihan kepercayaan Ra Dyan Wijaya. Dan itu berarti kita berhadapan dengan seseorang yang tangguh bersiasat. Satu kemungkinan adalah jika setiap kapal yang diperiksa akan berubah tujuan. Mereka mungkin saja mengalihkan kemudi langsung mendekati kotaraja.”

“Bagaimana jika kita bakar kapal mereka dengan panah api? Saya kira itu akan memberi pukulan berarti bagi mereka,” kata Gumilang penuh semangat.

“Tidak, Gumilang. Membakar atau menyerbu kapal mereka sebelum memasuki muara itu akan berakibat seperti yang aku katakan tadi. Selain itu juga, hilir mudik kapal para saudagar pasti terganggu dan mereka mungkin akan menghentikan kegiatan. Nah, dengan begitu maka yang mengalami kerugian adalah rakyat kita sendiri,” Ken Banawa menjelaskan.

“Waktu kita semakin sempit.”

Hanya itu yang diucapkan oleh Ken Banawa sebelum mereka berpisah. Lantas ia berpaling dan memandang bergantian dua lelaki muda di depannya, mengangguk, lalu berucap satu dua kata pada Gumilang.

Maka sejak saat itu segala sesuatu bergerak lebih cepat. Perintah Ken Banawa telah dikirm secara berantai oleh para penghubung kepada para pemimpin regu. Bulan belum mencapai tempat terbenam ketika orang-orang menempatkan semua senjata sesuai siasat Ken Banawa sebagai panglima perang. Senjata jarak jauh dan aral penghalang berduri. Dan setiap pemimpin regu membekali anak buahnya dengan berbagai pesan untuk menjaga sikap.

Bagi rakyat di Kademangan Sumur Welut, yang tidak terlibat secara langsung, waktu merambat pelan. Mereka muram dalam kegelisahan tentang bayangan masa depan apabila tanah mereka tidak dapat dipertahankan lagi, Mereka sama sekali tidak mengetahui tentang hidupnya yang akan menjadi lebih baik atau menjadi suram, mereka tidak mengetahui tentang nama-nama yang akan menemui kematian atau masih dapat melanjutkan hidupnya.

Bagi kebanyakan rakyat Sumur Welut, satu-satunya alasan mempertahankan hak mereka adalah harga diri. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan alasan yang berbeda yaitu hilangnya kebebasan. Kebebasan untuk mengolah sawah dan ladang mereka, kebebasan untuk bertemu dengan sanak kadang yang pastinya akan menemui kematian ketika perang telah pecah.

Alasan yang sama pun juga dimiliki oleh rakyat Kademangan Wringin Anom. Sebagian anak muda Wringin Anom yang turut membantu di Sumur Welut bahkan beranggapan bahwa perang ini adalah pintu tentang harapan. Bagi mereka, harapan segera pupus jika mereka mengalami kekalahan di Sumur Welut. Kekalahan Sumur Welut akan menjadi awal kehancuran Wringin Anom. Oleh sebab itu, mereka menjadikan Sumur Welut sebagai benteng pertama dan terakhir. Mereka akan bertempur hingga penghabisan atau matahari tidak akan bersinar lagi.

Wedaran Terkait

Persiapan 9

kibanjarasman

Persiapan 8

kibanjarasman

Persiapan 7

kibanjarasman

Persiapan 6

kibanjarasman

Persiapan 4

kibanjarasman

Persiapan 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.