Pada saat itu, kelengahan Lembu Daksa telah membuat luka cukup dalam yang merobek lambungnya. Darah yang tidak berhenti mengalir sedangkan ia masih terus berloncatan menghindari serangan ayahnya yang tak lagi berbahaya.
“Berhentilah, Ngger!” perintah Ki Wisanggeni melihat anaknya masih saja bergerak mencoba menyerangnya. “Kita harus hentikan pertarungan ini. Lihatlah! Darahmu semakin deras memancar keluar.”
Lembu Daksa meloncat surut dengan satu tangan menutup luka pada lambungnya. Sejenak ia melirik pada lukanya itu lalu tiba-tiba sebatang tombak berkelebat sangat cepat meluncur deras padanya.
Ki Wisanggeni bergerak sangat cepat berusaha memotong jalannya tombak namun ia terlambat. Tombak itu kemudian menancap pada dada Lembu Daksa menembus hingga bagian belakangnya. Ki Wisanggeni menengok arah tombak dilontarkan dan ia melihat seorang lurah prajurit berdiri ketakutan saat bertatap mata dengannya. Ki Wisanggeni nyaris tidak dapat menahan amarah namun ia sadar bahwa lurah prajurit itu tidak dapat disalahkan. “Ini adalah perang!” tegas hatinya. Maka selanjutnya Ki Wisanggeni berjalan menghampiri anaknya yang terkulai lemas dengan napas satu demi satu dari hidungnya.
“Maafkan ayah,” berkata lirih Ki Wisanggeni dengan air mata menitik keluar dari pelupuknya.
Lembu Daksa menggeleng, kemudian berkata, ”Tidak. Ayah tidak bersalah. Aku bangga mempunyai seorang ayah yang teguh pendirian. Bukan Ayah yang membunuh saya. Bukan, bukan Ayah yang membunuh saya.” Lembu Daksa mengucapkan kalimat terakhir itu berulang-ulang hingga kepalanya terkulai dan napas terakhir menghentak keluar dari dadanya.
Ki Wisanggeni berteriak panjang. Suara yang keluar darinya sangat menyayat hati. Ia tidak menangisi kematian anaknya, tetapi Ki Wisanggeni menangisi peperangan yang sedang terjadi. Sejenak kemudian ia meletakkan jasad anaknya pada pundaknya, lalu dengan ketinggian ilmu meringankan tubuh, Ki Wisanggeni melesat ke arah timur. Meninggalkan medan perang.
Sesaat setelah kepergian Ki Wisanggeni yang membawa tubuh tak bernyawa anaknya, pasukan Majapahit dan pengawal kademangan berteriak menyerukan kematian Lembu Daksa. Berita itu segera menyebar dan Gumilang segera membuka jalan menuju tempat pertarungan Lembu Daksa.
“Aku tidak melihat tubuh Lembu Daksa,” berkata Gumilang.
Seorang prajurit Majapahit yang mendengarnya lalu berkata, ”Ia telah dibawa pergi oleh lawannya.”
“Orang itu bukan lawannya. Ia adalah Ki Wisanggeni, ayah Lembu Daksa,” Gumilang berkata dengan sorot mata yang memperlihatkan rasa tidak suka ketika prajurit itu memberikan keterangan.
“Tetapi ia adalah lawan kita, Ki Lurah,” kata prajurit itu.
“Diam! Kau tidak tahu yang terjadi pada mereka berdua.” Gumilang berlalu dari tempat itu dengan kesedihan yang sangat mendalam.
Sementara itu pasukan berkuda Gumilang semakin mendesak pasukan Ki Wisanggeni hingga garis akhir pertahanan. Sementara itu Gumilang telah menempati kembali kedudukannya semula lalu bertempur seperti seekor singa marah. Tubuhnya berloncatan berpindah-pindah dari satu kuda ke kuda yang lain, merobohkan para penunggangnya dengan busur dan anak panah yang tergenggam erat padanya. Maka kemudian siasat yang digelar oleh pasukan Ki Wisanggeni menjadi porak poranda. Para pasukan Ki Wisanggeni akhirnya memilih bergabung di sayap yang lain, namun tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk keluar dari medan perang.
Mereka yang berlari dari medan mempunyai alasan yang berbeda dengan rekan-rekannya yang bergabung di sayap lain. Kelompok ini bukan berasal dari satuan yang sejak awal dipimpin oleh Ki Wisanggeni. Mereka bergabung dalam pasukan besar Ki Sentot dengan keyakinan dan alasan yang berbeda.
“Jangan kejar mereka! Simpan tenaga kalian!” perintah Gumilang pada pasukannya yang hendak mengejar para pelarian dari prajurit Ki Wisanggeni.
Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Gumilang telah mendesak pasukan berkuda yang bertempur tanpa pemimpin. Lingkar pertarungan Ken Banawa dan Ki Sentot Tohjaya semakin mencekam. Tidak ada seorang pun dengan kepala tegak yang dapat melihat keduanya berkelahi. Setiap orang yang berada diseputar mereka telah menghentikan perkelahian. Mereka hanya berdiri memandang dan menjaga agar tidak ada orang ketiga yang memasuki gelanggang. Seperti tidak ada rasa permusuhan Iantara mereka, pasukan yang seharusnya saling berhadapan itu kini berdiri berdampingan. Amarah, keinginan untuk membunuh, keinginan untuk meraih satu kejayaan yang ada dalam diri setiap prajurit itu seolah lebur ketika mereka tahu bahwa dua orang yang pernah tumbuh bersama itu sedang bertarung untuk sebuah nilai yang mereka yakini kebenarannya.