Sesuatu yang istimewa terjadi siang itu. Di bawah mendung yang menggantung, Rendra menatapku dengan pandangan yang tidak biasa.
“Senggani,” panggilnya lirih membelai telinga. “Maafkan jika aku egois selama ini. Aku tahu kau telah lama menunggu, sementara aku terlalu asyik dengan duniaku. Aku telah terbiasa bebas mencinta, tapi aku baru sadar bahwa engkaulaj yang terbaik di antara mereka. Maukah kau menerima segala kekuranganku?”
Aku ingin menatap matanya, mencari kesungguhan di sana. Namun kenyataannya? Tidak.
Aku tidak berani menatap, hanya diam menunduk dan menggumam dalam hati, Aku memang menunggu saat ini, Rendra, tapi harusnya tidak usah kau katakan itu. Seharusnya aku menikmati saat bahagia ini tanpa cela. Namun kau begitu tega menodainya dengan membuatku merasa malu karena ketahuan menunggu.
Satu bayangan berkelebat. Saat mataku mengembun karena Rendra, hatiku selalu menanyakan pertanyaan yang sama. “Kenapa kau senang menyiksa dirimu sendiri, Senggani?”
Aku menunduk kelu, menekan dadaku dan berusaha menghalau nyeri yang mencipta bening telaga di kedua mataku. Jawaban, sanggahan, dan pembelaan berdesakan dalam dada. Namun aku tidak sanggup mengutarakannya, walaupun hanya menyerupai bisikan. Aku tidak sanggup!
Maka diam-diam aku menyeka ujung mata, menahan napas cukup lama kemudian menelan getir tanpa suara. Aku tidak memungkiri, jika jatuh cinta pada seorang pria flamboyan membuatku terluka. Namun aku juga tidak sanggup mengenyahkan kuncup cinta yang tengah merekah. Menikmatinya bersama perih dan luka yang bergumul dalam dada.
Dalam kesendirian, aku mempunyai banyak waktu untuk berpikir. Memikirkan hatiku yang lemah dalam jeratan cinta. Cinta pada seorang laki-laki petualang asmara. Laki-laki yang begitu ringan berpindah hati dan sangat mudah melabuhkan cinta. Aku lupa menghitung nama yang dia sebut dalam cerita-ceritanya, selama itu pula aku gemetar memeluk luka. Sendiri melawan perih di dada. Sementara dia tetap bahagia dengan perempuan-perempuan cantik yang rela mengejar-ngejar cintanya.
Aku tidak mau dipermainkan oleh khayalanku sendiri. Selama hampir setengah tahun berteman, diam-diam aku memupuk harapan. Kenyataan selama ini aku hanyalah tempat penampungan keluh, saat dia berselisih paham dengan perempuan-perempuannya. Bahu ini hanya dijadikannya tempat bersandar setiap kali dia berpisah dengan sang pacar.