Mentari masih malu menampakkan cahayanya tapi aku sudah duduk dekat tungku, walau ada resah itu namun harapan tak pernah padam mengintip dari celah dedaunan.
Sementara itu.
Di sudut lain aku memperhatikan ibu dengan teliti memilah ikan.
Kini ikan asap penuhi rantang ibu.
Ada yang berbunyi di perutku, aku mencari sesuatu di meja makan.
“Wah, ada roti isi,” kataku takjub, seolah baru kali ini melihat sepotong roti.
Waktu aku pegang, rotinya rapuh.
Mengingatkanku kenangan dengan ibu saat mengais makanan di jalan.
Meraih harapan kala sang surya terbit setiap paginya. Adalah hal yang menyenangkan bagiku juga ibu. Doa-doa selalu kupanjatkan sebelum memulai hari. Melangit bersama sinar mentari.
“Selamat pagi, asa.” Wajahku pun tersenyum kepada ibu.
Saat itu.
Wajah anggun risaukan aku, lembut tanganmu menuntun roti ke mulutku.
Aku ingin rasamu warnai rindu ini. Rasa yang tak pernah padam, seperti juga rindu yang tak kunjung terbenam.
Tak ingin lesap dalam kenangan
Meski siang kian tenggelam dalam malam.
Aku ingin ada harapan nyata
Bukan kerinduan pada yang maya.
“Ibu, aku rindu pelukmu.”
Aku ingin melihat senyummu di hadapanku. Jangan pernah katakan bahwa kau tak rindu aku. Rinduku abadi, walau rasamu ingkar, Bu.
Tunggu aku, kita akan segera bertemu..
Tapi, menemuimu tak semudah mengingat kenangan lama tentang lezatnya sepotong roti yang kau suapkan kala itu.
Kembali aku ragu, meski resah dan risau itu harus segera usai.
Ragu.
Rindu.
Apa yang harus kuperbuat, Bu?
Menyecap sedap ikan dalam bungkusan daun ini, atau mengingat roti rapuh waktu itu?
Keduanya menyesak dada.
Masihkah akan kau sambutku dalam rengkuh kasihmu?
Aku tak ingat masa kau timang aku.
Tawa.
Senyum.
Airmata.
Bu, ingatkah saat kepalaku benjol sebesar bola pingpong?
Kau panik,
Aku tertawa melihat wajahku.
“Kepalaku benjol, kepalaku pusing, Bu. Tapi wajahku lucu,” kataku.
Kau peluk aku.
Kau menangis, tapi tetap terlihat tegar di depanku.
Roti rapuh kau suapkan untuk menenangkan aku.
Menjaga,
Mencinta,
Tanpa ucap,
“Apa kabar, Bu?”
Kupandangi foto berbingkai yang terpajang di ruang tengah rumahku.
Meski senyuman itu lebar tapi gurat kepedihan hidup tak mampu kau sembunyikan.
Kau berdiri sambil memelukku,yang kau dudukkan di batu candi.
Suka cita aku menikmati hari itu. Seolah kita akan selamanya bersama.
Ternyata jarak jua yang memisahkan kita, Bu. Saat belahan hati membawaku pergi, kau memelukku, lebih erat dan lama. Kau tersenyum, tapi aku tahu, kau sembunyikan rasa kehilangan.
“Pergilah, dan jangan pikirkan ibu, Nak.” Suaramu serak, pasti kau tengah susah payah menahan isak.
Seandainya kau tahu, aku juga merasakan hal yang sama denganmu, Ibu.
Sedih dan kehilangan.
Keadaanku saat ini, serapuh roti.
Seringan asap dari pembakaran ikan.
Pada-Mu. Aku tempatkan harapan untuknya.
sumber gambar :
https://tabloidpewarna.com/detailberita/belanda-tangani-tahanan-yang-alami-gangguan-jiwa-dengan-cara-unik-ini