Agung Sedayu Terpedaya
Terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh di belakang pekarangan rumah yang dihuni oleh satu keluarga kecil. Langit yang cerah menjadikan hamparan pemandangan yang berada lereng Merapi begitu indah. Sesekali pedati melintasi jalan yang terjulur di bagian depan rumah keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi pagi itu, keadaan sekitar rumah dan lingkungan tetangga tampak sepi.
“Apakah kau tidak melihat keadaan barak, Kakang?” tanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggelengkan kepala dan katanya, ”Aku telah meminta Sukra untuk pergi ke sana dan menemui Ki Lurah Sanggabaya. Aku katakan jika aku akan menyusulnya setelah matahari sedikit lingsir ke barat.”
Sekar Mirah mengangguk menuangkan wedang sere ke dalam mangkok suaminya. Ki Rangga Agung Sedayu menggeser tempat duduknya dan diraihnya kedua tangan Sekar Mirah. Ia mendesis pelan, ”Bagaimana menurutmu jika kita pergi ke Jati Anom?”
“Menurutku itu gagasan yang baik setelah peristiwa yang melibatkan Perguruan Kedung Jati. Lagipula kita lama tidak melihat keadaan Paman Widura dan mungkin kita dapat singgah sejenak di Sangkal Putung,” kata Sekar Mirah lalu, ”saya ingin melihat anak Kakang Swandaru.” Sejenak ia memandangi suaminya yang belum tampak keriput di wajahnya meskipun satu dua helai rambut berwarna putih mulai menghiasi kepala Agung Sedayu.
“Baiklah,” Agung Sedayu berkata. Kemudian, ”Aku akan memberi tahu Ki Gede tentang rencana kepergian kita lalu beberapa pesan akan aku berikan pada Ki Lurah Sanggabaya.” Ia bangkit lalu melangkah masuk untuk berbenah diri. Tak lama kemudian Sekar Mirah mengikutinya dari belakang.
Namun Sekar Mirah adalah wanita yang telah menerima gemblengan dari Ki Sumangkar sehingga pendengarannya dapat menangkap desir halus yang mendekatinya. Ia berhenti lalu memutar pandangannya.
Tiba-tiba seorang melayang tinggi melewati regol halaman rumah Agung Sedayu dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah halaman.
“Apakah ini rumah Agung Sedayu?” lelaki itu bertanya dengan ketus.
Sementara itu Agung Sedayu yang baru saja melintasi pringgitan segera melesat keluar.
“Ki Sanak mengejutkan kami,” kata Agung Sedayu sebelum Sekar Mirah sempat berkata-kata.
Orang itu tertawa. Katanya, “Aku perlu berbicara denganmu.” Ia melirik Sekar Mirah dan sambil menudingkan jari telunjuk, ”Hei, kau dapat meninggalkan kami berdua.”
Meskipun Sekar Mirah adalah perempuan yang berusia masak dan mempunyai pengalaman yang luas, namun ia tersinggung karena sikap kasar lelaki yang berdiri di tengah halaman rumahnya.
“Jaga bicaramu, Ki Sanak! Kau tidak akan dapat berjalan seperti biasanya apabila kau masih bersikap tanpa santun di depan kami!” tukas Sekar Mirah.
“Tentang apa Ki Sanak?” tanya Agung Sedayu sambil meraih lengan istrinya agar dapat menahan diri lebih jauh.
“Apakah kau ingat tentang Ki Tumenggung Prabandaru, Agung Sedayu?” bertanya lelaki itu.
Agung Sedayu menganggukkan kepala. Katanya, ”Aku mengingatnya sebagai seseorang yang tangguh dan sangat kuat.”
“Apakah kau ingat pula tiga orang bajak laut yang terbunuh mengenaskan karena pengeroyokan di tanah ini?” lelaki itu bertanya lagi.
“Sembarangan kau bicara, Ki Sanak!” sahut Sekar Mirah dengan wajah memerah, ”kau pasti mendengar kabar yang salah tentang kematian bajak laut itu. Mereka mati dalam perang tanding yang adil, bahkan mereka yang memulai kecurangan itu.”
“Mereka berbuat curang? Bukankah itu karena lelaki disampingmu yang mengubah wujudnya menjadi tiga? Lelaki itulah yang berbuat curang dalam perang tanding, Nyi Sanak!” bentak lelaki itu sambil menuding ke arah Agung Sedayu.
Wajah Agung Sedayu berkerut. Ia berkata, ”Mengubah diri adalah kewajaran dalam satu perang tanding, Ki Sanak. Karena wujud itu pun dapat menghilang.”
“Kecurangan selalu diikuti oleh kebohongan, Agung Sedayu. Selamanya akan begitu. Kebohongan yang kau katakan di hadapanku akan membuahkan kebohongan baru di masa mendatang. Dengan begitu, anak cucumu hanya mendapat berita bohong yang disampaikan turun temurun,” kata lelaki itu.
Agung Sedayu termenung sejenak. Kemudian ia bertanya, ”Apakah kau mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Prabandaru?”
“Tidak.”
Agung Sedayu melangkah turun dari pendapa kemudian bertanya lagi,” Lalu apa hubunganmu dengan bajak laut yang mungkin ingin kau bangkitkan dari kematian?”
“Aku adalah sahabat mereka.”
15 comments
Sugeng ndalu sederek, badhe nyuwun ijin menawi angsal kitab kyai grinsing kagem story telling wonten youtube. Mekaten sak deeenge maturnuwun
kados dongeng ngoten ki?
Nggih.. Sederek
Yang sambungan LADBM tidak ada nggih, Ki?
Rasanya penasaran sekali dengan kisah lanjutannya.
Itu lagi seru-serunya, Ki
Sedikit menyimpang dari ADBM, Kitab Kiai Gringsing mungkin dapat menjadi penawar, Ki
Nuwun injih, Kiai.
Mtrsuwun wedharipun
sami-sami, ki
Kalau saya, urutan bacanya :
ADBM.
STSD ( Sejengkal Tanah, Setetes Darah ).
KLMM ( Kemelut Lembah Merapi Merbabu ).
Mungkin bisa jadi referensi.
matur nuwun, ki. Hanya saja STSD dan KLMM bukan karya almarhum SH Mintardja, jadi alur dua karya tersebut sulit menjadi referensi utk Kitab Kiai Gringsing.. tapi kalau utk bacaan, monggo disesuaikam dengan selera masing-masing.
Setiap komik yg menceritakan ttg Agung Sedayu kok menarik, disamping alur ceritanya juga tokohnya,…..Agung Sedayu adaah orang yg rendah hati, dan sabar,tapi ilmunya tinggi.
nah..itu dia.., matur nuwun ki
alhamdulillah kalau saya ya begitu nemu saya baca semuanya… tapi ya itu… kadang jadi bingung sendiri… hi hi hi
apakah ada wedaran yg sufah berbentuk huku
kalau ada minat berlangganan
seperti stsd
apakah ada wedaran yg sufah berbentuk huku
kalau ada minat berlangganan
seperti stsd
Saya senang kalau balasan via email
sudah ada berupa pdf, ki..