Sorot mata Ki Gede berkilat marah.
“Biadab!” desis Ki Gede lalu ia diam sejenak untuk melihat ke bagian dalam dirinya. Ia tidak ingin terpengaruh keadaan genting dan sangat gawat itu. Ki Gede adalah pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh maka ia harus mampu mengendalikan segala sesuatunya dengan kepala dingin. Namun ia teringat peristiwa yang pernah menimpa Tanah Perdikan karena ulah Ki Tambak Wedi. Dadanya berdentang kencang. Sesaat ia kehilangan kendali diri.
“Aku harus melihat apa yang telah terjadi,” berkata Ki Gede lalu bangkit berdiri dan melangkah masuk biliknya untuk mengambil tombak pendek. Namun kemudian seorang pengawal berdiri tegak di tengah pendapa.
“Ki Gede tidak boleh meninggalkan tempat ini,” kata seorang pengawal. “Aku mohon Ki Gede tetap berada di tempat ini. Karena semua pengawal akan mengirim laporan kemari.”
Ki Gede memandang tajam pada pengawal yang seusia dengan Sukra itu. Sikap tegas pengawal itu seperti meyadarkan Ki Gede. Ia menarik nafas dalam-dalam dengan mata terpejam. Kemudian,”Satu dari kalian harus mengabarkan ini kepada Agung Sedayu,” perintah Ki Gede.
“Ki Rangga pasti telah mengetahui kejadian pagi ini,” sahut seorang pengawal,”Sukra telah memerintahkan seorang dari kami untuk melaporkan pada Ki Rangga.”
“Kalau begitu, kalian harus segera meronda dan bantu orang-orang untuk mengendalikan keamanan. Kalian harus dapat memberi kesan aman pada orang-orang. Pengikut Ki Garu Wesi akan melakukan serangan dalam kekacauan ini. Kebakaran itu sengaja mereka lakukan untuk mengalihkan perhatian kita semua. Bila bertemu dengan pengawal lain, katakan pada mereka untuk segera mengatur pengungsian,” perintah Ki Gede kemudian.
Sejenak kemudian hanya sejumlah pengawal yang tinggal di rumah Ki Gede. Mereka akan menjadi mata dan telinga bagi Ki Gede yang semakin berkurang kemampuan jasmaniahnya untuk bergerak cepat memantau keadaan. Dalam waktu itu para pengawal yang lain telah melaksanakan perintah Ki Gede.
Api menjilati langit, asap tebal menyebar ke seluruh wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Pekik tangis orang-orang yang kehilangan benda-benda miliknya, jerit sedih para wanita yang berlarian membawa anak-anaknya. Serta teriakan para pengawal pedukuhan yang masih bekerja keras memulihkan keamanan bercampur menjadi satu di atas langit Menoreh.
Beberapa kelompok kecil dari pengikut Ki Garu Wesi masuk dengan paksa ke dalam beberapa rumah. Dalam pada itu, Sukra dan tiga orang pengawal lain yang berada di dekat tempat kejadian segera berlari-lari mencoba menghadang orang-orang Ki Garu Wesi. Sekejap kemudian perkelahian antara pengawal Menoreh dan pengikut Ki Garu Wesi pun pecah. Tekanan yang dialirkan melalui gelar kecil membuat pengikut Ki Garu Wesi harus bekerja keras menahan serangan.
Sementara itu Sukra berkelahi melawan dua orang pengikut Ki Garu Wesi. Teriakan-teriakan yang terucap dari bibirnya mampu menggetarkan semangat pengawal Menoreh. Maka kemudian yang terjadi adalah perkelahian yang tidak seimbang dari segi jumlah. Meskipun pengawal Tanah Perdikan masih berusia muda namun mereka bertempur dengan sengit. Kerja sama para pengawal meskipun berjumlah lebih sedikit namun dapat menahan pergerakan lawannya. Pertempuran yang terjadi di jalanan pedukuhan segera merambat dengan cepat hampir di selutuh Tanah Perdikan. Para pengawal Menoreh dengan tekad bulat berusaha meredam kerusuhan yang disebabkan oleh pengikut Ki Garu Wesi.
Dalam perkelahian itu, Sukra benar-benar memeras segenap kemampuannya. Kepandaian Sukra yang telah berada dalam tingkat sedikit lebih tinggi semenjak mendapat bimbingan khusus dari Ki Jayaraga dan Agung Sedayu mampu mengurangi tekanan yang dialami kelompoknya. Sukra secara terus menerus menghisap lawan-lawannya. Setelah seorang lawannya roboh, maka kedudukannya kemudian digantikan oleh temannya yang lain. Meskipun begitu Sukra belum terlihat mengalami tekanan, justru ia semakin meledak-ledak.