Hanya dengus nafas yang terdengar dari Swandaru. Lalu ia berkata dengan wajah tertunduk, ”Maafkan saya, Kakang.”
Agung Sedayu berpaling padanya. Lalu Swandaru meneruskan ucapannya, ”Saya tidak sepantasnya menyalahkanmu dengan kejadian yang menimpa Tanah Perdikan. Hanya saja, saya memang merasa heran melihat Kakang begitu tenang sedangkan keadaan dapat saja berubah menjadi lebih buruk.”
“Kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan,” kata Agung Sedayu. “Sebenarnya aku akan memberi penjelasan padamu tentang orang yang bernama Ki Garu Wesi dan seorang kawannya yang berilmu tinggi. Tetapi, sudahlah, sekarang kita pikirkan cara terbaik untuk mencegah kerusuhan menjalari Sangkal Putung.”
Swandaru mendongakkan wajahnya menatap langit. “Matahari hampir tenggelam dan aku akan tiba di Sangkal Putung saat gelap.” Ia menatap lurus wajah sosok yang terkadang terlihat olehnya seperti Kiai Gringsing. Kening Agung Sedayu berkerut seperti memikirkan sesuatu, sejenak kemudian ia berkata, ”Kita akan berangkat dengan dua orang pengawal.”
Agung Sedayu kemudian beranjak masuk ke bagian dalam rumah Ki Gede. Sejenak ia merasakan ada sesuatu yang berbeda ketika tatap matanya beradu pandang dengan seorang demi seorang di dalam ruangan.
“Apakah aku akan mendengarkan sesuatu yang mungkin akan kalian katakan?” bertanya Agung Sedayu. Tiba-tiba ia melihat Swandaru berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang menyiratkan keheranan. Dalam pada itu, sinar mata Ki Gede, Ki Jayaraga, Pandan Wangi dan yang lain memang memancarkan cahaya yang sebelumnya tidak pernah dilihat Agung Sedayu. Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga serta Ki Bagaswara kemudian memandang Sekar Mirah lekat-lekat.
Ki Jayaraga tersenyum sambil berkata, “Apakah kau akan mengatakan itu pada suamimu hanya berdua atau kami diperkenankan untuk mendengarnya?”
Sekar Mirah tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia berkata, ”Biarlah Kakang Agung Sedayu terlebih dulu menyampaikan rencananya. Mengingat keamanan Tanah Perdikan juga berada dalam tanggung jawabnya.”
“Katakan, Sekar Mirah!“ desak Swandaru sementara Agung Sedayu menatap wajah cantik Sekar Mirah yang seperti menyimpan sebuah arti.
“Aku pasti katakan pada Kakang Agung Sedayu, tetapi pada saat ini ada kepentingan yang lebih besar sedang menunggu keputusan kita bersama disini,” kata Sekar Mirah lalu Pandan Wangi meraih jemarinya dan mengenggam erat jari-jari adik iparnya itu.
Senapati Mataram itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus secepatnya mengambil keputusan sebelum Sangkal Putung dilanda bara api kebuasan pengkut Ki Garu Wesi yang mungkin saja telah berada di Sangkal Putung. Karena itu ia berkata, ”Saya dan Swandaru akan pergi ke Sangkal Putung sore ini. Kita belum dapat menduga rencana Ki Garu Wesi yang telah meninggalkan tempat ini tanpa membawa kitab Kiai Gringsing.”
“Kakang Agung Sedayu mempunyai dugaan bahwa orang-orang itu dapat saja mendatangi dan membuat onar di Sangkal Putung,” tatap mata Swandaru lurus memandang Pandan Wangi bergantian,kemudian ia menoleh pada Ki Gede dan Ki Jayaraga.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, ”Mereka mungkin tidak akan kembali ke Tanah Perdikan malam ini. Bahwa Ki Jayaraga dan Ki Bagaswara adalah kekuatan utama yang akan menemaniku melewati malam yang panjang. Bukan begitu Kiai?” Ki Jayaraga dan Ki Bagaswara mengangguk dan mengembangkan senyum lebar.
Demikianlah kemudian Agung Sedayu dan Swandaru mempersiapkan diri untuk menuju Sangkal Putung. Sementara Ki Bagaswara sedikit terlibat dalam pembicaraan sungguh-sungguh dengan Ki Jayaraga. Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh berulang kali mengucap syukur dalam hatinya atas anugerah Yang Maha Agung yang terlimpah pada keluarga besar mereka sekalipun rasa duka belum sepenuhnya berlalu dari hati mereka.
Ketika bayangan semakin panjang dan rimbun pohon mulai menyembunyikan matahari, dua ekor kuda melesat cepat keluar dari pekarangan rumah Ki Gede Menoreh. Dua murid utama Kiai Gringsing dengan wajah tegang semakin jauh meninggalkan pedukuhan induk. Mereka berdua berharap bahwa kemungkinan buruk yang telah dipikirkan Agung Sedayu tidak akan terjadi di Sangkal Putung.
Ketika pertemuan kecil tengah terjadi di rumah Ki Gede, dua orang bertemu di sudut sebuah pedukuhan kecil yang terletak di sebelah utara Jatianom.
“Bagaimana dengan kekuatan Agung Sedayu sendiri, Ki Tunggul Pitu?” kata orang yang baru menyandarkan punggungnya pada sebuah tebing batu.
“Memang benar apa yang dikatakan orang,” jawab Ki Tunggul Pitu. “Akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan usaha sedikit lebih keras untuk dapat mengalahkan Agung Sedayu, Ki Garu Wesi.”
Ki Garu Wesi manggut-manggut mendengar jawaban itu, lalu,”Aku pun terlibat perkelahian ketika senja belum berakhirberbahaya dengan orang yang bernama Ki Jayaraga. Aku tidak mengira bahwa Menoreh ternyata menyimpan kekuatan dahsyat dibalik tenangnya perbukitan yang berjajar dan sawah yang hijau.”
“Tetapi kau dapat meloloskan diri,” kata Ki Tunggul Pitu.Ki Garu Wesi mengangguk kemudian, ”Agung Sedayu telah menolongku ketika ia datang saat aku mengerahkan puncak ilmuku.”
Ki Tunggul Pitu mengernyitkan keningnya, ”Maksudmu?”
“Agung Sedayu tiba-tiba memasuki perkelahianku dengan Ki Jayaraga, namun orang-orang Menoreh mampu menahan laju Agung Sedayu yang dahsyat itu. Maka dalam waktu sekejap itulah aku melepas ikatan yang makin membuat sempit ruang gerakku,” jawab Ki Garu Wesi.
Tak lama kemudian datang seseorang dari sebelah timur dengan kecepatan yang luar biasa. Ia berlari bahkan dengan kecepatan melebihi kuda yang tegar. Sekejap kemudian ia telah bergabung bersama Ki Garu Wesi dan Ki Tunggul Pitu.
“Ki Hariman!” seru kedua orang itu serentak.
Ki Hariman menganggukkan kepala dan tersenyum lebar. Ia memasukkan tangan ke bagian dalam bajunya lalu tiba-tiba sebuah kitab telah diangkatnya tinggi-tinggi.
“Kitab Kiai Gringsing!” kata Ki Hariman.
Baca selanjutnya : Bab 2 Jati Anom Obong