“Apakah harus replay? Ah, aku sedang tidak ingin!”
“Lalu?”
“Jika kau izinkan, aku ingin menulis sesuka hati. Boleh?”
“Hmm, baiklah, boleh! Kau ingin menulis apa?”
“Aku ingin menulis tentang kejenuhan.
Apa kau pernah mengalaminya?
Jenuh pada semua yang bernyawa.
Jenuh pada keadaan yang berlangsung terus menerus dan berulang!
Sesak!
Aku butuh udara baru!
Aku ingin bertemu orang-orang baru!
Aku ingin petualangan baru!
Tapi aku tak bisa!
Ragaku terantai!
Jiwaku kerontang, sekarat!
Gelap
Bahkan di bawah benderang aku tak mampu melihat!
Apakah aku telah buta?
Tolong aku! Tolonglah!”
Hening.
Kosong.
Tak ada suara.
Tak ada rupa.
Tak ada warna.
Tak ada wujud.
Hening.
Kau diam, tak menjawabku.
Hanya memandang dengan senyum terkembang.
“Dalam benderang aku kegelapan
Dalam ramai aku kesepian
Dalam bincang aku bisu
Dalam tawa aku terisak.
Aku kenapa?
Wibawa enggan memelukku
Kebijakan jauh dari jangkaukan
Ada apa denganku? Katakan!”
Kau ulurkan tangan, kembangkan pelukan.
“Sini, beristirahatlah sejenak di sini. Kau lelah.”
Dalam bayang dekapmu aku bersembunyi
Letakkan segala beban
Lalu sembuhkan luka.
Dalam bayang dekapmu aku mencoba terlelap dan berharap.
Aku akan bangkit lagi.