Malam semakin muram, saat Bapak menggebrak meja. Ia murka! Matanya membara, suaranya menggelegar mengoyak gendang telingaku.
“Siapa yang menyuruhmu mengambil semua ini?” Jari telunjuk itu siap menghunus mata.
Aku menunduk. Tentu saja karena aku salah. Tapi, bagaimana lagi? Aku juga membutuhkan itu untuk membantu ibu yang menunggu ajal.
Salah siapa jadi suami tak bertanggung jawab? Seenaknya saja menelantarkan istri yang sudah menemaninya dua puluh tahun. Aku, anak lelaki satu-satunya ini tentu saja tak akan tinggal diam melihat ibu ditelantarkan saat ajal hampir melompat dari raganya.
Enak saja! Gundukan kilauan kuning keemasan itu juga punya ibu. Ibu juga yang memeras keringat demi tumpukan lembaran bernilai ratusan juta yang disimpannya di bawah kayu dipan.
Untung aku sempat lihat. Kalau tidak, mungkin aku larikan setumpuk kertas tanda kepemilikan tanah yang selalu ditimangnya.
Rully Bramasti, 30 Juli 2021