“Orang bercambuk!” Dingin dan ketus menebar dari suara Ki Hariman. “Aku yakin engkau tidak pernah keluar dari pedukuhan kecil ini untuk menguji kedalaman ilmu yang diwariskan oleh Kiai Gringsing. Dan nasibmu memang sangat beruntung saat kau dengan gagah berani mengambilku sebagai lawan.”
“Tetapi,” lanjutnya, “aku bukan orang yang dapat mengampuni kelemahan lawan. Aku belum pernah meninggalkan lawanku dalam keadaan hidup seperti Ki Tunggul Pitu yang membiarkan prajurit tua itu bernapas lebih lama.”
“Aku adalah seorang prajurit, Ki Sanak,” sahut Ki Widura di bawah dentam perkelahian. “Aku telah mengarungi keganasan alam ketika Jipang melepaskan anak panah ke wilayah ini. Bagiku, kematian adalah peralihan dari penyesalan. Dengan kematian, aku akan menebus semua kesalahan.”
“Dungu!” geram Ki Hariman. Ia terperanjat dengan perubahan yang terjadi mendadak dalam olah gerak musuhnya. Tandang Ki Widura meningkat luar biasa. Walaupun kedudukan tidak lagi seimbang, tetapi Ki Widura menunjukkan kegigihan yang tidak terukur. Ia mempertahankan kedudukannya yang terakhir, maka yang terjadi kemudian adalah ujung cambuknya mulai memercikkan api!
Sekalipun gagal menjaga keseimbangan, Ki Widura tetap bersikap tenang. Bahkan cukup tenang apabila dilihat dari gencarnya serangan Ki Hariman yang mengepungnya dari delapan penjuru angin. Pada waktu itu Ki Widura tidak melihat banyak kesempatan untuk membalas serangan tetapi ketenangannya yang cukup dalam justru menjadikan musuhnya lebih waspada.
“Ia bertarung dengan tenaga seperti arus bawah sungai,” gumam Ki Hariman dalam hatinya.
Demikianlah ketika ujung cambuk Ki Widura meledak di udara, setiap kali itu pula percik api terlontar menyambar Ki Hariman. Kelincahan Ki Widura tidak lagi terlihat, ia hanya bergeser selangkah demi selangkah untuk menghadang gelombang serang musuhnya. Meski bahaya semakin tajam mengancam nyawanya, Ki Hariman seolah bergeming dalam mengatasi serangan balik Ki Widura. Memang tidak ada pilihan bagi Ki Widura selain menyerang. Ia tidak lagi dapat mengandalkan serangan balik atau gerak tipu yang dapat menjebak lawannya. Sepenuhnya Ki Widura, meski tata geraknya semakin terbatas, masih berusaha membalas serangan dengan serangan.
Menyerang adalah pertahanan dan cara mengulur waktu yang terbaik, pikir Ki Widura.
Maka dengan begitu, Ki Hariman tidak dapat mendesaknya lebih jauh atau memberinya kelonggaran, Kedua orang ini sama-sama berusaha menjaga keadaan masing-masing.
“Aku tidak dapat membiarkan perkelahian ini berlangsung semalam suntuk,” kata Ki Hariman pada dirinya sendiri, “tetapi mendesaknya dengna mengikuti caranya berkelahi untuk saat ini agaknya juga sulit dilakukan. Aku akan memaksanya mengikutiku.”
Sekejap kemudian senjata Ki Hariman berupa tombak pendek tiba-tiba meluncur dari bawah lengannya. Senjata yang berukuran kurang lebih sama dengna milik Ki Gede Menoreh itu memancarkan gelombang panas yang tidak dapat diperkirakan. Ketinggian ilmu Ki Hariman mungkin sulit dicari tandingannya, itu tampak dari angin panas yang terdorong keluar dari ujung senjatanya.
Pakaian Ki Widura mendadak terbakar dan robek pada bagian dalam, sayatan memanjang terlihat jelas pada kain di bawah lengannya, ia tersentak!
“Ujung senjata itu masih tiga jengkal dariku, lalu ketajamannya telah menembusku? Luar biasa!” batin Ki Widura walaupun ia masih menyimpan penasaran tentang asal senjata. Ki Widura tidak melihat gerak Ki Hariman saat mengeluarkan senjata tetapi tiba-tiba tombak pendek itu keluar dari bawah lengan kanannya.
Sejenak kemudian rencana Ki Hariman dapat berjalan sesuai kehendaknya. Lecutan cambuk yang menebas mendatar, memotong silang dan sesekali mematuk tajam telah dihadapi oleh putaran tombak yang bergulung-gulung. Ki Hariman begitu tangkas memainkan senjatanya. Angin panas datang bergelombang tiada henti setiap kali ia menggerakkan tombak pendeknya. Udara sekeliling Ki Widura dirasakan olehnya seperti duri yang melayang. Kulit Ki Wdura seperti ditusuk dengan ribuan duri setiap kali ia menerima hembusan angin yang datang dari senjata Ki Hariman.
Panas dan menusuk!
Depan dan belakang!
Kiri dan kanan!
Nyaris tidak ada tempat atau udara yang tidak menyakiti Ki Widura. Ke banyak arah ia bergerak, ke setiap penjuru ia menggeser kaki, di situ selalu ada tembok duri yang menghadang. Ki Widura berusaha keras meningkatkan daya tahan tubuhnya. Ia menahan semua rasa sakit yang mendera kulitnya, namun hal itu membuat serangannya jauh menurun.