Penghubung itu segera menarik pedangnya, lalu melempar tubuh ke samping ketika ujung kakinya menggapai tanah. Dalam waktu itu, Ki Garu Wesi meloloskan belitan selendang dari tubuh lawannya dan Ki Gatrasesa terjungkal.
“Hey, bagaimana engkau mengenaliku?” tanya Ki Garu Wesi pada penghubung yang berdiri membeku dengan muka pucat.
Seolah tidak mendengar pertanyaan orang yang menjadi lawan Ki Gatrasesa, penghubung Agung Sedayu terpaku dengan pemandangan di bawah matanya. Ia menyaksikan Ki Gatrasesa tergeletak karena membentur sebatang pohon ketika tubuhnya dilemparkan Ki Garu Wesi seperti sebatang dahan tua. Gelisah merambat hati penghubung semakin cepat, tetapi Ki Garu Wesi bertanya lagi dengan bentakan keras, “Hey, bagaimana engkau dapat mengenaliku?” Kali ini selonjor kaki Ki Garu Wesi menyentuh lengan penghubung dengan tenaga kasar.
Mata penghubung membelalak lebar, seperti baru menyadari bahwa ia sedang berada di dalam kecamuk perang lalu pandangannya menyapu sekeliling. Bibirnya bergetar, “Aku melihatmu di Jati Anom. Bahkan aku termasuk di antara orang-orang yang datang belakangan sebelum mengusir kelompokmu dari sungai.”
“Agar engkau tidak menyesal ketika kami menguasai pedukuhan ini, sebut namamu supaya aku dapat mengingatmu. Aku ingin engkau menjadi pembantu pribadiku. Ya, tentu saja kemampuanmu akan meningkat lebih baik dari sekarang ini.”
Penghubung itu menyungging senyum, sedikit mengejek lalu berkata, “Setan. Namaku adalah setan. Kau harus tahu itu!” Sekejap rahangnya mengeras, lalu ia menerjang Ki Garu Wesi dengan amukan yang sangat hebat! Sungguh, Agung Sedayu secara khusus memintanya sebagai penghubung karena kemampuannya berada di atas rata-rata pengawal kademangan.
Namun, mendadak, bersamaan dengan serangan hebat penghubung yang menerjang Ki Garu Wesi, terdengar pekik teriak dari sisi utara gelar Wulan Tumanggal. Kegaduhan hebat terjadi pada sayap yang diandalkan oleh Ki Gatrasesa yang jatuh pingsan dengan darah mengalir dari pundaknya.
Sementara itu, pasukan Raden Atmandaru yang berada di dekat lingkar perkelahian Ki Garu Wesi segera mengobarkan keonaran yang luar biasa. Mereka berteriak sangat kencang. Mereka mengabarkan bahwa Ki Gatrasesa telah mati dengan kepala terpenggal. Tujuan mereka, tidak lain, adalah memadamkan gelora pengawal kademangan yang sedikit pengalaman perang. Sebagian memang terpengaruh, tetapi pengawal yang berusia lebih banyak secara diam-diam memanfaatkan perhatian musuh yang mencoba menekan kawan-kawannya melalui gelombang udara. Ya, selagi pasukan lawan berteriak-teriak, beberapa pengawal mendekati tempat Ki Gatrasesa. Ketika mereka mendapati pemimpinnya terkulai lemas di atas tanah, tanpa diperintah, dua orang segera menarik tubuh Ki Gatrasesa ke tempat terlindung, di balik dinding rendah perbatasan pedukuhan.
Seorang pengawal, yang mengetahui Ki Garu Wesi telah berganti lawan, terhenyak! Betapa tidak, ia melihat penghubung, seseorang yang berusia sedikit di bawah Swandaru, tengah bermain api. Ia mengenal cukup baik maka berkatalah pengawal itu dengan lantang, “Wisuda! Tinggalkan orang bodoh itu. Pergilah ke utara. Di sana lebih membutuhkanmu.”
“Lalu bagaimana dengan orang bodoh ini?” jawab Wisuda yang mulai mampu mengikis gelisah karena pedangnya melukai Ki Gatrasesa.
“Biarkan ia bingung mencari lawan atau bermain-main dengan kami di balik barisan bambu.”
Ki Garu Wesi tertawa lebar. Sambil mengangguk-anggukkan kepala, ia berseru, “Kalian memang kelinci-kelinci yang menggelikan. Marilah, mari kita bermain-main sebentar.” Tubuh Ki Garu Wesi melayang deras, melabrak deret baris pengawal kademangan yang sejajar dengan dinding rendah.
Nyaris bersamaan dengan Ki Garu Wesi, Wisuda pun bergerak ke utara. Namun ia tidak mudah mencapai tempat itu. Wisuda harus membelah banyak lingkaran perkelahian. Yang membuat pergeserannya lebih berat adalah ia menyaksikan satu demi satu pengawal roboh. Walau pun banyak pengawal yang masih mampu menjaga diri, tetapi orang-orang yang terluka akan menjadi mangsa yang mungkin tersayat tipis atau mati dengan tubuh terbelah.
Sebelum Ki Gatrasesa tertusuk pedang Wisuda, di sebuah tempat yang terhalang barisan pohon, Raden Atmandaru memandang Pedukuhan Janti tanpa gelisah. Keyakinan pun menumbuhkan tunas dalam hatinya. Sejenak ia menatap wajah Ki Sekar Tawang dari samping lalu berkata padanya, “Hukum mereka!”
Mendengar perintah Raden Atmandaru yang ditujukan pada ayahnya, Mangesthi membuat persiapan. Perintah itu bukan untuk ayahnya, melainkan secara khusus diarahkan untuknya. Hati Mangesthi berdebar-debar. Ia mencoba menebak, apakah akan berjumpa dengan Pandan Wangi? Geram hatinya saat mengenang Wigati yang sempat menjadi kekasih gelap Swandaru Geni. “Wigati adalah gadis cantik dan Swandaru terpikat olehnya. Jika bukan karena Pandan Wangi lebih dulu menjadi istrinya, Wigati adalah perempuan yang pantas bersanding dengan lelaki itu,” bisik hati Mangesthi.
Mangesthi memandang wajah ayahnya, menunggu persetujuan. Sekejap kemudian Ki Sekar Tawang berkata, “Jangan pandang remeh pengawal kademangan. Sekalipun mereka berkemampuan rendah, tetapi selalu ada kejutan dalam setiap pertempuran.”
“Saya mengerti, Ayah.” Mangesthi tiba-tiba lenyap. Tubuhnya telah melesat lalu menghilang di sela-sela pepohonan.
Dalam waktu sebentar saja, Mangesthi telah melempar keluar banyak pengawal kademangan dari barisan mereka. Kecantikan Mangesthi nyaris tidak dapat dijadikan pemandangan yang menarik pada saat itu. Meski dikepung, dikeroyok dan selalu berada di tengah-tengah kibas senjata, Mangesthi bukan seorang perempuan yang penakut, Sebaliknya, ia bertarung dan bertempur dengan cara yang ganas!