Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 21 – Pedukuhan Janti

Tidak ada keinginan untuk mengingkari kenyataan bahwa dirinya berada di tingkatan lebih rendah daripada musuhnya, meskipun demikian, Ki Gatrasesa berusaha menguatkan keyakinan bahwa ia akan dapat mengatasi kesulitan. “Aku dapat melakukan apa saja. Sekehendakku!” Maka, Ki Gatrasesa menutup mata terhadap jarak kemampuan mereka. Walau lengan dan kaki semakin sering tersakiti karena selalu menangkis atau memapas serangan, pemimpin pengawal ini pantang mengeluarkan senjata selawa musuhnya masih bertangan kosong.

“Mengapa engkau sedemikian bodoh, Kiai?” penyerang Ki Gatrasesa mengerutkan alis melihat lawannya seolah berusaha menjaga wibawa.

“Hei!” bentak penyerang itu. “Apakah engkau telah menjadi bodoh atau Sangkal Putung memang berisi orang-orang bodoh macam sepertimu?”

Ki Gatrasesa dapat menerima ketika dikatakan bodoh oleh lawannya, tetapi orang-orang Sangkal Putung bukan sekumpulan keledai dungu yang pantas mendapat hinaan. Maka, seketika Ki Gatrasesa mengurai selendang berwarna merah. Dengan sinar mata berapi-api memancarkan kemarahan yang ada di dalam hatinya, selendang pun menghujani tubuh lawan dengan serangan-serangan yang mematikan! Dua ujung selendang secara bersamaan mematuk bagian leher dan dada lawannya!

loading...

Itu kemampuan yang sungguh hebat! Betapa Ki Gatrasesa memegang bagian tengah tetapi dapat membagi serangan pada dua sasaran. Decak kejut pun keluar dari bibir musuhnya.

“Seharusnya kau lakukan itu sedari tadi,” kata penyerangnya. Meski Ki Gatrsesa mengebut selendang dengan cara luar biasa, tetapi tenaga intinya tidak sanggup menggapai bagian luar tubuh penyerang.

Derai tawa dan ucapan-ucapan yang merendahkan pun keluar dari mulu penyerang sederas air di musim hujan. Lambat laun Ki Gatrasesa hanyut oleh perasaannya. Ketenangan tidak lagi terlihat dalam perkelahian yang semakin timpang.  Dalam pandangan penyerang yang berbaju hijau itu, Ki Gatrasesa tak ubahnya seperti wayang yang terbuat dari daun kering dengan kerangka yang rapuh. Kecepatan gerak orang yang menjadi lawan Ki Gatrasesa semakin sulit diikuti oleh mata biasa, sementara angin serangan semakin menderu mengurung tubuhnya. Dua tangan penyerang seolah menjadi lebih panjang daripada selendang Ki Gatrasesa. Begitu pula tendangan yang melingkar-lingkar, tumit yang mengarah pada leher dan lutut yang kerap menerjang bagian dada semakin membuat napas Ki Gatrasesa tak lagi longgar. Ia terkepung oleh serangan lawan yang bertangan kosong!

Penghubung dari pedukuhan induk mengetahui perkembangan itu, tetapi pada waktu yang sama ia terikat oleh dua orang pengikut Raden Atmandaru. Hanya satu jalan baginya untuk menolong Ki Gatrasesa dan itu berarti mengeroyok penyerang.

Tidak masalah, lebih baik kehilangan muka daripada kehilangan tanah. Selain itu kebebasan Ki Gatrasesa adalah lebih masuk akal karena dapat mengendalikan pasukan kademangan yang semakin terhimpit dan korban jiwa telah jatuh, pikirnya.

Maka penghubung itu pun mengerahkan segenap kekuatannya. Kemampuannya tiba-tiba melesat mencapai puncak. Ia menggebrak pengeroyoknya dengan tandang yang ganas dan trengginas! Kelebat pedangnya memanjang, menebas melingkar lalu berputar-putar seperti beliung di tengah padang. Teramat sulit bagi pengeroyoknya untuk mempertahankan keseimbangan karena pundak seorang dari mereka nyaris putus. Seorang lagi memandang tak percaya dan terpana menyaksikan kerumitan gerak musuh mereka. Dalam waktu itu, meski hanya sekejap mata menjadi waktu yang dimilikinya, penghubung Agung Sedayu melesakkan tendangan melingkar, mengarah pada dahi lawan, dan robohlah dia!

Penghubung itu meloncat, memasuki lingkar perkelahian Ki Gatrasesa bagaikan burung walet, lalu menerjang dengan pedang yang bergulung-gulung dahsyat! Dalam jarak sedekat itu, ia dapat melihat dengan jelas musuh Ki Gatrasesa.

“Ki Garu Wesi!” seru penghubung.

“Ah, engkau mengenaliku,” sahut Ki Garu Wesi tanpa menghindari serangan penghubung. Justru Ki Garu Wesi berhasil menyeret Ki Gatrasesa yang terlibat selendangnya sendiri!

Keadaan berbahaya!

Ki Gatrasesa dijadikan tameng hidup oleh Ki Garu Wesi!

Penghubung Agung Sedayu berteriak kaget, dan ia kesulitan menghentikan laju terjangan!

“Maafkan saya, Kiai!” seru penghubung itu dengan wajah pucat pasi. Ia tidak menyangka bahwa begitu hebat Ki Garu Wesi membuat dirinya terjebak. Seperti ada lubang besar pada bagian kanannya, Ki Garu Wesi tiba-tiba melambatkan geraknya. Ia membiarkan Ki Gatrasesa menyendal pancing ujung selendang yang tertangkap olehnya. Lalu menghanyutkan tubuh mendekati Ki Gatrasesa. Ketika penghubung telah menerjang dengan tubuh melayang, tiba-tiba Ki Garu Wesi menghentak ilmu meringankan tubuh yang susah dicari padanannya itu. Secepat kilat Ki Garu Wesi memutari Ki Gatrasesa dari samping, lalu membetot selendang agar Ki Gatrasesa tepat menjadi sasaran penghubung Agung Sedayu.

Ujung pedangnya pun menembus pundak Ki Gatrasesa!

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.