“Engkau sudah selesai?” Agung Sedayu bertanya tanpa memandang wajah Sukra.
“Sudah, Ki Lurah.”
“Seharusnya engkau memberitahu lalu membiarkanku datang melihatnya.” Suara Agung Sedayu terdengar begitu dingin.
Pertanyaan itu begitu mengejutkan Sukra. Karena memang seharusnyalah begitu, seperti yang diucapkan oleh Agung Sedayu. Ia kehilangan kata-kata, lalu membenamkan wajah penuh penyesalan. Agung Sedayu tidak lagi berkata-kata. Ia tidak mungkin mendengar Sukra mengucapkan maaf karena ia tahu Sukra akan mengenang malam itu sebaik-baiknya. Tindakan Sukra bukanlah perbuatan yang tidak dapat dimaafkan, tetapi cukup tidak berulang, pikir Agung Sedayu.
Dua-duanya hanya duduk berdekatan tanpa suara. Meski demikian, simpang siur pikiran begitu sibuk memenuhi benak masing-masing. Suasana begitu hening dan cukup membawa tekanan bagi Sukra. Tentu, ia merasa bersalah. Dan bila mencoba memperbaiki dengan mempersilahkan Agung Sedayu menilik tanah tempat ari-ari anaknya yang dipendam, Sukra sadar bahwa itu bukan langkah yang baik. “Aku hanya berbasa-basi belaka bila mengajak Ki Lurah menuju pekarangan. Lagipula apabila Ki Tunggul Pitu kembali ke tempat itu, aku harus berkata apa pada Ki Lurah?” Maka Sukra tetap membenamkan wajah sambil mendengarkan percakapan ramai dari regol halaman. Suara tonggeret dan salak anjing berlomba-lomba memasuki ruang kosong di telinganya.
Agung Sedayu terlihat menggelengkan kepala, gumamnya, “Bukahkah Sayoga dan Dharmana seharusnya telah berada di pedukuhan induk? Setidaknya salah satu dari mereka.”
Sukra mendengarkan kalimat itu, tetapi ia membeku. Bila menuruti kata hatinya, Sukra ingin segera menyusul Sayoga di Gondang Wates, tetapi teguran Agung Sedayu membuatnya terpaku pada tempatnya. Akhirnya, Sukra lebih memilih untuk menunggu.
Sesaat kemudian Agung Sedayu menunjuk ke satu jurusan tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sukra hanya memandangi arah yang ditunjuk oleh senapati Mataram itu. Walau demikian, Sukra sedang membuat dugaan keras bahwa orang di sampingnya tengah bergulat dengan banyak pertimbangan. Ada apa dengan jurusan yang ditunjuk oleh Ki Lurah? pikir Sukra kala itu. Apakah ada hubungannya dengan kemungkinan Sayoga atau Dharmana akan muncul dari jurusan yang ditunjuk Ki Lurah?
“Sukra,” tiba-tiba Agung Sedayu memecah keheningan di antara mereka. “Apa yang tengah kau pikirkan saat ini?”
“Sayoga, Ki Lurah.”
“Apa yang akan engkau lakukan untuknya?”
“Saya ingin menyusulnya.”
“Aku tidak memberimu izin.”
“Baik, Ki Lurah,” kata Sukra dengan sikap pasrah.
Agung Sedayu tidak lagi disibukkan oleh orang-orang di dalam rumah. Sepertinya keluarga Sekar Mirah telah memberi perhatian penuh pada istri dan anaknya. Hanya sekali saja Agung Sedayu menengok keadaan mereka berdua. Ketika Sekar Mirah mengangguk, Agung Sedayu mengerti bahwa istrinya telah memberi perkenan padanya.
“Aku ingin engkau pergi ke Randulanang. Ajaklah seorang dari pengawal sebagai penunjuk jalan dan supaya tidak ada salah paham dengan para pengawal di sana,” perintah Agung Sedayu kemudian.
“Bilakah itu, Ki Lurah?”
Agung Sedayu menoleh lalu memandang tajam sepasang mata Sukra. Seolah pemimpin pasukan khusus itu tengah mencari sesuatu di dalam hati Sukra.
“Apakah engkau berani?”
“Orang seperti apa yang nantinya menakutkan saya?”
“Sukra,” kata Agung Sedayu lirih. “Bisa jadi tidak ada jalan pulang ke Menoreh jika engkau berjalan ke Randulanang.”
“Ki Lurah, bukankah kita sedang berperang?”
“Benar.”.
“Bukankah hanya tiga keadaan bila kita terlibat di dalamnya?”
“Benar.”
“Hidup, mati atau terluka. Ki Lurah, apakah benar seperti itu?”
“Menurutmu, ya.”
Sukra hanya bergumam.
“Bagaimana dengan latihanmu di Menoreh? Apakah ada sesuatu yang baru sejak Glagah Putih pergi ke pesisir?”
“Kiai Bagaswara. Beliau menyempatkan waktu untuk memberi arahan dan petunjuk.”
Agung Sedayu menyebut nama itu dalam gumam. “Aku harus berterima kasih sekali lagi pada Kiai Bagaswara.” Lantas ia melanjutkan ucapannya, “Mungkin Glagah Putih penah mengatakan sesuatu tentang perang kepadamu. Dan, aku memandang perlu bahwa ada yang harus engkau pahami dari perang itu sendiri.”
“Saya, Ki Lurah,” sahut Sukra siap menyimak.
“Perang bukan hanya membawa seseorang dalam tiga keadaan. Itu dapat terjadi bila ia terlibat dalam pertempuran. Bila tidak? Orang hanya mendapati dua hal, kejayaan dan kekalahan. Harga diri dan rendah diri, begitu seterusnya. Perang adalah adu siasat. Kelicikan dan kejujuran adalah nilai yang mendapat pembenaran dari masing-masing pihak. Satu permisalan, bila seseorang menawari keadaan yang engkau harapkan terjadi, tentu engkau akan mencari pembenaran agar dapat menerima itu. Menerima tawaran musuh lalu dibenarkan dengan pertimbangan tertentu.”
Dengan wajah yang sebelumnya memandang paras Ki Rangga Agung Sedayu, tiba-tiba Sukra serasa ingin menyembunyikan sinar matanya. Mendadak ia teringat kehadiran Ki Tunggul Pitu dan Gendhis. “Apakah Ki Lurah mengetahui dan mendengarkannya bicara?”
Sukra memang belum terpengaruh dengan puja rayu Ki Tunggul Pitu, tetapi anak muda ini sadar bahwa segala sesuatu dapat berubah dengan mendadak ketika pagi tiba. “Hati yang terombang-ambing seperti awan yang dipermainkan angin, akankah aku seperti itu?”
Cemas hati Sukra menunggu ucapan Agung Sedayu selanjutnya, bahkan di saat udara begitu dingin dan sangat dingin, Sukra berkeringat dingin.
“Apakah engkau mengerti maksudku?”
Sukra terperangkap pada waktu ingin menjawab. Kejayaan, masa depan dan Gendhis? “Aku harus menjawab apa?” batinnya bertanya selagi bayang wajah Gendhis terpampang sangat jelas di ruang hatinya.