Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 75 – Gondang Wates

Pedang kayu Sayoga yang tumpul berkali-kali berbenturan dengan sepasang tangan Ki Sarjuma yang seakan telah menjadi senjata tajam. Sejenak ia terpaku karena takjub pada kemampuannya sendiri. Betapa tidak, Sayoga mendapati senjatanya hanya mengalami cuilan yang begitu banyak. “Seharusnya benda ini terpotong atau patah sewaktu beradu keras dengan orang itu,” gumam Sayoga dalam hati.

Kurang dari sekejap mata. Hanya itu waktu yang dibuang ketika mengagumi keadaannya. Dan Sayoga membayar sangat mahal!

Tiba-tiba telapak tangan Ki Sarjuma menebas silang, menyambar lambung Sayoga meski anak muda ini dapat menghindar, tetapi gerak susulan dari Ki Sarjuma telak menghantam paha Sayoga. Seketika Sayoga terhuyung kehilangan keseimbangan lalu jatuh terlentang.

Menyusul keadaan Sayoga yang harus segera dibuat tidak berdaya, telapak tangan Ki Sarjuma mengembang, menumbuk dari atas, mengarah dada Sayoga. Bila pukulan itu sanggup mengenai bagian penting tubuh anak muda dari Menoreh itu, maka Sayoga mungkin tidak akan mempunyai kesempatan untuk merintih. Napasnya akan terputus seketika!

loading...

“Bodoh!” Sayoga menggeram karena kelengahannya ternyata mengundang maut datang lebih cepat. Secepat serangan Ki Sarjuma, secepat itu pula Sayoga mengerahkan Serat Waja ke seluruh bagian tubuhnya. Ia mengayun pedang hendak mematahkan serangan musuhnya dengan benturan senjata, sedangkan tangan kirinya mengembang dan bersiap membetot bagian tubuh lawan yang terdekat dengannya.

Ki Sarjuma terguncang dengan alur gerak Sayoga. Meski ia sudah menyangka bahwa lawannya akan berbuat nekat namun berusaha memegang pergelangan tangannya adalah kejutan besar! Ini keputusan gila! Mungkin tidak akan ada yang selamat bila ia melanjutkan serangannya, pikir Ki Sarjuma.

Kecepatan yang benar-benar sulit dinalar kemudian terjadi ketika Ki Sarjuma mengubah kekuatannya yang tajam menjadi lunak, dengan demikian, lengannya hanya mengeras meski masih setara dengan kerasnya baja. Pada waktu yang sama, Ki Sarjuma memiringkan tubuh kemudian menendang pergelangan tangan Sayoga.

Jarak sudah terlampau dekat untuk menghindari tendangan musuhnya. Sayoga bertumpu pada bagian bawah tubuhnya, lalu dengan gerakan yang sangat ringan, ia melontarkan diri, keluar dari jangkauan serangan Ki Sarjuma. Namun sambaran angin dari kaki lawannya masih dapat menyentuh bagian punggung Sayoga. Perih terasa kulit Sayoga. Ketika berada sedikit jauh, Sayoga sempat merenungi keadaan dirinya dan lawannya. Muncul kekaguman Sayoga pada Ki Sarjuma yang mampu membuat kekuatan tendangannya setajam sepasang lengannya. “Bila kaki dan tangannya dapat berubah menjadi benda tajam, lalu dari sisi mana aku akan memukul pertahanannya?” Sayoga bertanya-tanya pada ruang pikirannya.

Semasa itu Sayoga berusaha memulihkan keadaannya dengan paha yang terasa patah tulangnya dan punggung yang nyeri akibat sambaran angin tajam Ki Sarjuma. Serat Waja belum sepenuhnya dapat membantu Sayoga untuk menjaga keseimbangan. Keseimbangan yang hilang karena kelalaian Sayoga yang gagal menjaga titik perhatian. “Tidak akan terulang. Begitu bodohnya aku!” geram Sayoga yang terlena dengan kekuatannya sendiri. Mereka berkata benar bahwa perbedaan ilmu dapat didekatkan apabila ia tetap bersikap tenang, renungnya ketika mengingat petuah Kiai Bagaswara dalam perjalanan menuju Sangkal Putung. “Sangat meresahkan dan menjengkelkan bila peluang baik tiba-tiba menjadi ambyar karena rasa kagum,” kata Sayoga dalam hati ketika dadanya masih bergemuruh penuh kemarahan.

Sayoga yang kalah pengalaman telah menyadari kekurangannya itu. Bahkan ia nyaris terbunuh karena pikiran dan perasaannya terhisap dalam pusaran kagum. Namun Sayoga beranjak kembali dengan sangat cepat. Ia menghimpun kembali segenap ketenangan dan perhatian. Sepasang kakinya melebar diikuti tubuh yang setengah merendah.

Sayoga bersiap!

Begitu pula Ki Sarjuma yang sudah bersiaga penuh. Walau tidak seluruh serangannya dapat dihindarkan oleh Sayoga, tetapi ia tidak memandang tinggi pada lawannya. Bisa saja karena kebetulan maka anak itu dapat selamat dari tulang yang patah. Bisa juga karena ia telah mempunyai bekal ilmu yang luar biasa, pikir Ki Sarjuma.

Ia tidak lagi tergesa-gesa mengeluarkan kemampuan untuk menyerang. Ki Sarjuma lebih terlihat sabar menunggu pergerakan Sayoga. Mungkin ia berubah menjadi pemangsa yang tengah mengawasi korbannya terkulai lemas karena kehabisan darah. Mungkin ia sedang menunggu racun yang ditorehkannya benar-benar bekerja dengan tepat lalu Sayoga kehabisan napas.

“Anak ini telah menjadi lebih kuat dari perkelahian kami sebelumnya. Seseorang telah memberinya petunjuk atau arahan untuk penyempurnaan, sepertinya begitu,” desis Ki Sarjuma dalam hati dengan sepasang mata tajam mengikuti setitik gerak lawannya.

Sayoga masih bersikap dengan tubuh yang tidak banyak bergerak. Kadang-kadang tangan kirinya mengepal, sekali-kali mengembang tetapi semua itu berlambaran tenaga cadangan yang bersumber dari ilmu Serat Waja. Tidak ada lagi sorot mata penyesalan karena kebodohan sebelumnya. Yang ada dan tengah terjadi pada Sayoga adalah ketegangan yang memuncak. Getar tenaga Serat Waja menggelepar-gelepar sangat kuat dan semakin dekat dengan ujung tertinggi.

Seperti Ki Sarjuma yang sabar menunggunya mengawali serangan pembuka, sesabar itu pula Sayoga mengadakan penilaian melalui pengamatannya pada tata gerak Ki Sarjuma yang juga lebih banyak membeku.

Keduanya sama-sama saling menunggu waktu yang tepat untuk menyerang!

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.