Tak jauh dari laga Sayoga, Sabungsari begitu ketat menekan Ki Dirgasana dengan serangan-serangan yang tajam dan menggentarkan. Meski pada mulanya perkelahian mereka sangat sulit diikuti dan sukar diperkirakan dengan tepat pihak yang berada di atas angin, kemampuan Sabungsari semakin terlihat begitu nyata. Sambaran pukulan dan tendangan lurah Mataram itu seolah menjadi semakin kuat dari waktu ke waktu pada malam itu.
Meleset dari perkiraannya, bahwa Pedukuhan Gondang Wates tidak menyimpan kekuatan hebat, Ki Dirgasana memancarkan semburat merah pada air mukanya. Leher dan punggung Ki Dirgasana telah basah oleh campuran keringat dingin dan lainnya. Keresahan sejenak singgah di dalam hatinya. Ki Dirgasana, yang menganggap dirinya sebagai bagian dari jajaran orang pilihan, kemudian sadar bahwa lelaki muda yang menjadi lawannya dapat menimpakan petaka baginya. Pikiran Ki Dirgasana mulai berusaha membuat jernih setiap rongga yang didalamnya. Dalam hati, Ki Dirgasana berkata, “Tidak ada alasan untuk mati lebih cepat, apalagi terbunuh di tangannya.”
Ki Dirgasana lantas menjauh sambil mengangkat tangan, meminta waktu pada Sabungsari. Dan sepertinya lurah Mataram itu mengabulkan permintaan lawannya.
Kata Ki Dirgasana kemudian, “Aku kira sekarang adalah malam penghujung bagi kita berdua. Aku pun yakin bahwa ini adalah perjumpaan kita yang terakhir.”
Sabungsari mengerutkan kening dan benar-benar tidak mengerti maksud Ki Dirgasana. Walau demikian ia, dengan rasa heran, mengartikan kata-kata itu sebagai ratapan. “Mungkinkah orang itu tengah meratap dan mengiba padaku? Sangat konyol. Benar-benar konyol.” Namun Sabungsari dapat merasakan bahwa mereka berdua sungguh-sungguh tengah menghadapi maut, walaupun maut belum menentukan pilihan.
Lanjut Ki Dirgasana dengan ucapannya, “Keadaan ini sangat berbeda dengan yang aku harapkan. Mungkin pula menyimpang dari harapan sebagian orang-orang kami. Ki Sanak, aku tidak ingin mengtahui namamu, karena aku ingin bertanya padamu tentang makna kesengsaraan. Menurutmu, apa artinya itu?”
Sebagai orang yang telah banyak mengalami pertarungan hidup dan mati serta banyak peperangan, Sabungsari menempatkan dugaan bahwa Ki Dirgasana sedang mengulur-ulur waktu. Raut muka musuhnya begitu jelas terlihat olehnya sedang dilanda kepayahan. Lalu, apa maksud sebenarnya? Pikiran Sabungsari dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang mungkin sulit mendapatkan kepastian karena Ki Dirgasana adalah orang yang pandai memainkan watak.
Di tengah pekatnya malam, Ki Dirgasana mencoba menerobos jalan pikiran seterunya. Segenap kekuatannya dipusatkan pada dua bola matanya agar dapat mengenali pancaran wajah Sabungsari. “Bilakah pikirannya tengah melayang-layang? Apakah pemusatan perhatiannya telah hancur oleh pertanyaan tadi?”
Waktu yang bergulir pun tidak lagi dapat dirasakan oleh Sabungsari yang agaknya hanyut oleh suasana. Dalam waktu yang pendek itu, Ki DIrgasana bersiap diri. Menghimpun kekuatan yang sempat berserakan, memusatkan nalar dan budi pada satu tujuan. Binasakan Sabungsari!
Tiba-tiba!
Sabungsari melesat sangat deras, begitu deras hingga gerak tubuhnya pun menimbulkan desir angin yang cukup kuat!
Bertubi-tubi ia melontarkan serangan-serangan yang sangat kuat dan sangat cepat.
“Gendeng! Asu! Kirik! Gandrik!” teriak Ki Dirgasana mengumpati Sabungsari yang tidak terduga ternyata mendahuluinya menyerang.
Karena setiap serangan Sabungsari selalu diiringi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, sudah barang tentu Ki DIrgasana mendadak menjadi sangat sibuk! Ayun tangan Sabungsari seolah-olah datang dari berbagai penjuru. Ketika Ki DIrgasana menangkis serangan dari sisi kanan, maka tiba-tiba Sabungsari memutar tubuh lalu mengepras bagian kiri lawannya. Keadaan demikian berulang-ulang terjadi hingga Ki Dirgasana memutuskan untuk mengeluarkan senjata. Ini adalah keadaan yang tidak pernah terpikir olehnya, bahwa ia akan berkelahi dengan senjata di pedukuhan kecil yang diduganya akan tunduk semudah penaklukan Pedukuhan Janti.
Sejauh kakinya menapak jalan sepanjang usia, Ki Dirgasana adalah orang yang pantang mengeluarkan senjata ketika berkelahi. Apabila ia merasa tersudut, maka melarikan diri adalah selangkah mundur agar dapat menjadi penantang sekali lagi. Namun menghadapi Sabungsari dalam tujuannya untuk meraih kejayaan dalam sisa hidupnya, Ki Dirgasana tidak mempunyai pilihan lagi. Bila ia selangkah mundur, Raden Atmandaru atau Ki Garu Wesi pasti akan memburunya hingga liang kubur. “Mati sekarang atau kabur, sama saja bagiku!” tekad Ki Dirgasana ketika rantai berlubang kecil dan berujung dua bilah pisau telah terurai dan tergenggam erat di tangannya.
Puncak Merapi dan bukit-bukit di sekitarnya masih belum menggeliat bangun dari tidur. Kabut yang memadati lorong-lorong kecil di dalam hutan pun enggan beralih tempat. Pada waktu yang demikian itu, Sabungsari segera mengubah tata geraknya. Ia terlihat begitu lincah ketika melangkah miring dengan tubuh sepenuhnya menghadap Ki Dirgasana.
“Kepiting?” Alis Ki Dirgasana berkerut saat menduga kelanjutan gerak Sabungsari yang dianggapnya seperti kepiting. Lelaki ini berseru keras, menerjang maju dengan sambaran ujung rantai memotong leher dan tendangan mengarah lambung Sabungsari.
Sekelebat sinar putih menebas dari bawah, memotong jalur serangan Ki Dirgasana, diikuti sebuah langkah yang hebat, Sabungsari dapat menangkis senjata lawan. Bersamaan dengan itu, Sabungsari mampu membalas serangan lawan.
Ki DIrgasana melompat surut lalu melihat gerak dasar Sabungsari yang menggambarkan pertahanan yang sangat kokoh. Ia menggeleng lalu berpikir keras dan lebih keras lagi agar senapati Mataram itu segera menjatuhkan diri lalu berulang menyembah padanya!