Terpisah jarak sejauh lima langkah, Sabungsari lekat memandang Ki Dirgasana dengan sorot mata menukik. Semakin terang baginya bahwa kemampuan Ki Dirgasana sungguh hebat. Getaran yang merambati rantai yang menjadi senjata lawannya itu telah memberinya bukti kuat, bahwa tenaga cadangan Ki Dirgasana telah mencapai lapisan atas.
Sabungsari begitu tenang ketika bergerak menyamping lalu meloncat begitu kuat hingga tubuhnya menghempas seperti batu cadas yang terlempar dari ketinggian. Sabungsari menyerang Ki Dirgasana dari sisi kanan pertahanan lawannya. Serangan yang menerjang sekuat air bah sungai besar yang bersumber di Gunung Lawu.
Ki DIrgasana tidak menghindar. Tampaknya seperti itu karena dua kakinya masih kokoh tak bergerak. Sekali tangannya bergerak, rantai Ki DIrgasana berputar-putar, membentuk gulungan yang mengeluarkan suara menggaung dan sulit ditembus. Sekejap kemudian tubuh Ki Dirgasana lenyap dan seolah menghilang di balik gulungan senjatanya.
Tak pelak dan sangat telak ketika dua senjata berbenturan. Suara berdencing nyaring memecah angkasa Watu Sumping. Dua orang itu sama-sama sangat kuat. Adu tenaga itu membuat senjata mereka terpental meski masih erat dalam genggaman.
Sabungsari mengapung mengikuti arah pedangnya yang terpental dan berbalik arah. Demikian pula lawannya merasakan kesemutan merayap pada pangkal lengan. Ki Dirgasana menggerakkan sepasang kakinya agar tubuhnya hanyut dalam gerak liar senjatanya. Bila ia tidak melakukannya, terjengkal menjadi kepastian baginya.
Dalam sekejap, ketika sepasang kaki mereka telah menyentuh tanah, Sabungsari dan Ki Dirgasana sama-sama meloncat saling menjauh. Mereka berpencar ke kanan dan ke kiri.
Sejenak, hanya sejenak, seukuran setengah tarikan napas, tanpa ancang-ancang, dua orang itu saling menerjang. Mungkin mereka berniat beradu tenaga melalui senjata mereka, mungkin pula mereka akan berpacu kecepatan setelah mengetahui kelemahan masing-masing lawan. Senjata Sabungsari berputuar-putar, membentuk lingkaran cahaya yang menutup seluruh tubuhnya.
Sekelebat kemudian, yang terlihat hanya gulungan sinar berkilat-kilat yang berasal dari pedang Sabungsari dan rantai Ki Dirgasana yang seolah menjadi lebih gelap dari keadaan malam itu sendiri. Suara bercuitan saling menindih dengan gaung lebah. Bunga api kerap berhamburan ketika dua senjata itu beradu kuat dan saling bertabrakan.
Perkelahian mereka semakin meningkat dan membahayakan orang-orang sekeliling mereka. Sekali waktu keduanya terpental mundur, tetapi, seperti tak menyentuh tanah, mereka kembali saling serang dengan hebat.
Dalam waktu itu, Sabungsari tidak mempunyai waktu untuk mengeluarkan kekuatan dahsyat dari sepasang matanya. Kekuatan yang sanggup melumat batu cadas sebesar kerbau. Ilmu yang mempunyai kemampuan meremas jantung dengan cara yang tidak dapat dilihat. Lurah ini mempunyai pertanyaan, apakah Ki Dirgasana telah mendengar atau mengetahui kekuatan yang memancar dari pandang matanya?
Pertarungan yang sangat ketat dan terjadi dalam jarak dekat benar-benar menjadi kesulitan tersendiri bagi Sabungsari. Keadaan itu tidak memberinya waktu yang cukup untuk melumpuhkan lawannya dengan cara hebat. Sabungsari menyadari bahwa ilmu pamungkasnya hanya dapat bekerja dengan baik apabila ia dapat menguasai keadaan, walau sekejap, lalu melebarkan jarak agar ilmu yang diwariskan Ki Gede Telengan dapat berdaya guna hebat.
Sabungsari meningkat selapis lagi. Ilmu pedangnya bertambah tinggi semenjak Ki Widura banyak memberi pengayaan tata gerak padanya. Unsur-unsur penting ilmu Perguruan Orang Bercambuk mulai diterapkannya. Gerakan lurah Mataram ini semakin cepat. Pedangnya bergulung-gulung semakin rapat, tetapi Ki Dirgasana justru mendapati keanehan ketika itu.
Lingkaran pemuda itu semakin sulit ditembus, tetapi mengapa ia menjauh? Pikiran Ki Dirgasana mencari arah yang tepat untuk menjawab keanehan yang tiba-tiba terjadi di hadapannya. Sementara itu, rantai Ki Dirgasana memburu dan berusaha membelit pedang Sabungsari.
Lurah muda itu segera sadar bahwa lawannya seolah mengerti bahwa ada keuntungan yang diperolehnya dengan pertarungan jarak dekat. Namun Sabungsari tidak tergesa-gesa. Ia memilih untuk mempertahankan kedudukan, meski tidak gegabah dengan keadaan diri yang lebih muda, Sabungsari akan menjaga kedudukannya hingga lawannya melakukan perubahan.
Bagi orang-orang yang sempat megerling pada lingkar perkelahian dua senapati itu, maka pertarungan sengit itu hanya seperti coretan-coretan tak bermakna bila dilukiskan di atas sehamparan pasir putih. Hanya dua bayangan yang berloncatan menjauh, mendekat lalu menjauh lagi. Hanya terlihat dua gulungan yang berbeda warna yang kadang saling menghimpit, lalu memercikkan pijar api. Hanya terdengar dua suara yang menyakitkan pendengaran dan semakin terasa menusuk ke dalam apabila lingkar perkelahian bergeser mendekati mereka.
Keadaan yang nyaris serupa juga sedang menghadang Sayoga.
Sepasang lengan Ki Sarjuma, sungguh, lebih tajam dan menyakitkan dari sembilu atau senjata lain yang pernah dihadapinya. Sepanjang waktu pertempuran sejak pertengahan mereka berkelahi, Sayoga menggerak-gerakkan pedang dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pandangan mata. Kelebihan jarak yang timbul karena panjang pedang belum dapat menekan Ki Sarjuma. Orang kepercayaan Raden Atmandaru itu menempuh jalan luar biasa ketika membendung serangan Sayoga.
Bahkan sewaktu Ki Dirgasana teringat keampuhan Serat Waja, dengan mendadak, semburat khawatir memancar dari wajahnya.
“Jika anak setan itu sanggup menguasai ilmunya dengan baik, apakah pedangnya akan menempel dan melekat pada dua lenganku?” bertanya Ki Sarjuma dalam hati.
Sementara itu, tanpa mengendorkan serangan walau pikirannya bertanya-tanya, Ki Sarjuma berloncatan ke segala arah seolah ingin mengurung dan mengepung. Dan sekali-kali tubuhnya seperti lenyap lalu menyerang Sayoga dari belakang!