Kegelisahan mulai mencekam Ki Sanggabaya. Seandainya bukan karena tugas dan rencana yang telah disusun bersama dengan Ki Rangga Agung Sedayu, ia sudah barang tentu meninggalkan tempat itu.
“Malam telah mendekati kedalaman. Ki Rangga Agung Sedayu juga belum menampakkan dirinya. Sampai kapan aku menunggunya? Jika aku menerobos pesanggrahan itu sendirian, tentu saja itu seperti menyalakan bara yang telah membara,” pikir Ki Lurah Sanggabaya kemudian,” baiklah, aku sebaiknya tetap berada di tempat ini hingga ayam berkokok untuk pertama kali.”
Dalam pada itu, Ki Jayaraga tidak menyadari bahwa sebenarnya ia telah diikuti oleh seseorang semenjak keluar dari regol kediaman Ki Rangga Agung Sedayu.
“Akankah ada sesuatu yang terjadi di tempat ini? Aku merasakan kehadiran satu orang lagi di sekitar tanggul. Dan agaknya orang tua yang aku ikuti itu tidak mengetahui kehadiranku,” desis penjual kayu bakar dalam hatinya. Dalam waktu yang cukup lama ia tidak bergerak di tempattnya. Lalu ia bergeser sedikit ke tempat yang lebih lapang namun tetap dengan menyembunyikan dirinya dengan tengkurap. Langkah kaki dan pergerakan tubuhnya begitu ringan sehingga kehadirannya tidak diketahui oleh KI Sanggabaya.
“Ternyata ada orang lain selain ki lurah dari pasukan khusus,” kata Ki Jayaraga dalam hatinya sambil memutar pandang matanya. Mencoba menguak setiap jengkal dalam kegelapan. Sebenarnyalah Ki Jayaraga kemudian mengetrapkan Sapta Pandulu untuk memastikan kehadirannya tidak diketahui siapa pun.
“Aku terlambat. Seharusnya aku tidak lengah ketika keluar dari rumah. Ini sudah terlambat, aku akan menanti kehadiran ki rangga lalu meringkus orang tersebut,” Ki Jayaraga mulai mengadakan pertimbangan dengan memperhatikan sekelilingnya dengan kesigapan yang tinggi. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan pertempuran di tempat itu karena letaknya yang masih cukup jauh dari pedukuhan. “Apabila terjadi keributan di sekitar tempat ini, sudah barang tentu suara-suara yang timbul tidak akan pernah didengar oleh mereka di pesanggrahan,” gumam KI Jayaraga dalam hatinya. Dalam pada itu, orang yang mengikutinya telah berpindah tempat dan seperti halnya dengan Ki Jayaraga, kedua orang ini sama-sama tidak bergerak lagi.
Tiba-tiba ketajaman pendengarannya menangkap suara orang bercakap-cakap. Ia bergeser mendekati dengan disertai kemampuannya menyerap bebunyian. Terkejut raut muka Ki Jayaraga ketika ia mengenali sosok bayangan yang terlibat dalam percakapan itu di bawah remang sinar rembulan.
“Angger Agung Sedayu!” serunya dalam hati.
Sebenarnyalah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yaitu Sapta Pandulu. Satu jenis ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat dengan berlipat-lipat. Dalam kegelapan, mata seserang yang mempunyai ajian Sapta Pandulu akan seperti mata seekor kucing yang sangat tajam membuka tabir dalam gelap. Dengan ilmu ini, Agung Sedayu dapat menembus pekatnya kabut yang dibuat oleh gurunya, Kiai Gringsing. “Agaknya salah satu dari Ki Jayaraga dan Ki Sanggabaya telah diikuti seseorang hingga tempat ini. Dan itu berarti orang tersebut tidak berada di tanggul dan pohon nangka,” kata Agung Sedayu dalam hatinya. Pendengaran tajam Agung Sedayu dapat merasakan desah nafas yang berbeda dari ketiga orang yang berada di sekitar tempat itu. Lalu dengan kemampuannya meringankan tubuh, ia mengitari tempat yang berseberangan dengan tanggul dan pohon nangka. Ketika mata Agung Sedayu melihat sebuah bayangan yang tidak ia kenal, seperti anak panah kemudian tubuhnya melenting sangat cepat dan ringan. Agung Sedayu melayang dan berdiri di hadapan orang itu.
“Siapakah ki sanak? Ada keperluan apakah berada di tempat ini dalam kegelapan malam?” bertanya Agung Sedayu.
Terkejut bukan kepalang orang yang disapa Agung Sedayu.
“Kemampuan setan darimana yang membuat orang ini tiba-tiba berada di depanku? Apakah ia anak iblis?” katanya dalam hati.
“Oh tidak. Aku tidak mempunyai keperluan apapun. Hanya saja kebetulan aku kemalaman dalam perjalanan hingga akhirnya aku melepas lelah di sini,” kata orang itu.
“Siapakah nama ki sanak? Mungkin ki sanak dapat aku antarkan ke banjar pedukuhan itu. Kebetulan aku mengenal baik penjaga banjar,” kata Agung Sedayu menawarkan bantuan.
“Terima kasih ki sanak. Agaknya lebih baik aku berada di tempat ini supaya tidak merepotkan orang lain,” jawab orang itu sekenanya.
“Tetapi ki sanak, aku dapat memanggil pengawal pedukuhan dan para perondan untuk memaksamu datang ke banjar. Karena dengan begitu, ki bekel dan ki jagabaya pedukuhan dapat segera melakukan sesuatu yang mungkin saja akan memberimu kebaikan,” berkata Agung Sedayu dengan tenang.
“Siapakah kau ki sanak? Kau terlalu sombong dengan memaksa seorang pengembara seperti aku.”
“Itu bukan satu kesombongan. Tetapi itulah tugasku sebagai Kepala Pasukan Khusus Mataram.”
“Kau yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu?”
Ki Rangga Agung Sedayu menganggukkan kepala dan,” benar. Aku adalah Agung Sedayu. Dan aku sekarang akan mengantarkan ki sanak ke banjar pedukuhan dan melaporkan ki sanak kepada para pemimpin pedukuhan.”
“Baiklah. Tapi tunggu dulu, aku akan bertanya satu hal kepada ki rangga. Kiranya ki rangga sudi menilai keadaan. Sebenarnyalah Pangeran Ranapati lebih berhak berada di tahta Mataram dibandingkan dengan Panembahan Hanyarawati. Ki rangga dapat meneliti silsilah dari pangeran Ranapati.”
Kemudian Agung Sedayu mengulangi pertanyaannya,” mengapa kau tidak menyebutkan siapa dirimu kisanak? Apakah yang kau sembunyian dariku? Lalu tiba-tiba kau tawarkan aku untuk mengikuti kemauan Pangeran Ranapati.”
Dalam keremangan, wajah orang itu menjadi tegang sejenak. Lalu ia tersenyum. Katanya,” Aku biasa menyebut diriku sebagai Ki Rambetaji. Dan aku mengajakmu bergabung adalah karena Pangeran Ranapati adalah putra pertama dari Panembahan Senapati.”
Agung Sedayu masih menujukkan wajah yang datar dan tidak mengesankan apa-apa. Tentu saja hal itu menimbulkan keheranan bagi Ki Rambetaji.
Lalu Agung Sedayu berkata,”Siapakah orang itu yang tiba-tiba mengaku sebagai putra pertama Panembahan Senapati? Apakah ia benar-benar mempunyai silsilah seorang sultan atau mungkin raja dari Majapahit? Ki Rambetaji, kedudukanku sebagai pemimpin pasukan khusus tentu tidak akan mudah begitu saja berpaling sekalipun yang kau katakana itu benar. Paugeran Mataram telah menetapkan Panembahan Hanyakrawati sebagai pemimpin yang sah. Sebaiknya kiai bangun dari tidur dan segera sadar bahwa aku bukan bagian dari mimpi itu.”
Ki Rambetaji menjadi memerah di wajahnya. Dengan senyum yang dipaksakan, ia berkata,” nampaknya memang benar kau adalah orang yang keras kepala dan sombong. Aku akan bertindak lebih jauh dan sedikit kekerasan.”
“Kau akan segera tahu kekerasan hati orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kami bukan orang yang mudah tunduk kepada tawaran dan ajakan orang lain yang tidak sesuai dengan paugeran dan keyakinan kami.”
Ki Rangga Agung Sedayu yang bersikap tenang itu membuat Ki Rambetaji mendapatkan kesan mendalam. Ia melihat bahwa sikap itu adalah cermin dari keyakinan atas kemampuan yang ada dalam dirinya. Juga sebuah sikap atas keyakinan tentang nilai-nilai yang dianutnya selama ini.
“Esok pagi, tubuhmu akan ditemukan terkapar di sini. Seisi rumahmu akan menangisi dirimu hingga suara tangisnya akan terdengar sampai ke Sangkal Putung!” kata Ki Rambetaji mencoba mengusik perasaan Agung Sedayu.
“Ungkapan kata kiai sangat menggetarkan hati. Kiai telah menebar ancaman yang menakutkan,” tatapan tajam mata Ki Rangga Agung Sedayu seolah menghunjam jantung Ki Rambetaji.
Tiba-tiba Ki Rambetaji menggeram lalu meloncat menerjang Agung Sedayu. Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya, sejenak kemudian, keduanya telah mulai terlibat dalam pertempuran. Sementara itu Ki Jayaraga memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Ia segera tahu bahwa keduanya masih dalam tataran saling menjajagi kemampuan lawan.
“Aku masih mempunyai tugas yang lebih penting dari sekedar pertempuran ini. Aku selesaikan orang ini lebih cepat,” Ki Rangga Agung Sedayu mulai menyusun rencana sambil meningkatkan serangan selapis demi selapis. Tiba-tiba Agung Sedayu dengan garang berusaha menggulung lawannya yang telah mencoba membujuknya untuk memberontak pada Mataram. Serangan yang ia lepaskan menjadi semakin cepat dan semakin mantap bergerak. Tangan Agung Sedayu berputaran mendebarkan dan sesekali mengeluarkan suara berdesing kencang seperti suara suitan nyaring. Serangan Agung Sedayu menyambar-nyambar dari segala arah. Agaknya ia mengetrapkan ilmu yang baru dikuasainya dari kitab Ki Waskita.
“Angger Agung Sedayu kini mempunyai senjata yang tidak kalah dengan cambuk miliknya. Ilmu dari kitab Ki Waskita ini benar-benar nggrigisi,” desah Ki Jayaraga perlahan pada dirinya sendiri.
Ki Rambetaji segera meningkatkan ilmunya melampaui beberapa tataran. Ia harus banyak menyesuaikan dengan serangan Agung Sedayu namun rupanya ia belum terlambat. Sesekali ia melontarkan serangan yang tidak kalah garangnya. Setelah melewati beberapa tata gerak, Ki Rambetaji meluncurkan hantaman mengarah dada tepat di jantung, Agung Sedayu. Agung Sedayu memapas hantaman itu dengan telapak tangan terbuka, ia juga berusaha melepaskan dorongan melawan kekuatan Ki Rambetaji.
Agung Sedayu terdorong surut beberapa langkah namun ia segera menguasai keseimbangan dan sejenak berdiri tegak. Lalu melesat secepat burung sikatan menyambar belalang. Sementara itu, Ki Rambetaji juga terdorong ke belakang. Namun sebelum ia mengembalikan keseimbangan, serangan Agung Sedayu kembali datang susul menyusul bergelombang. Keadaannya Ki Rambetaji kini semakin sulit. Serangan Agung Sedayu kini lebih banyak menggapai sasaran. Rasa sakit kini menjalar ke seluruh bagian tubuhnya dan seakan-akan mulai meremas jantungnya. Ki Rambetaji pun segera meloncat jauh mengambil jarak dari serangan Agung Sedayu.
Ki Rangga Agung Sedayu memang merasakan sedikit tekanan didadanya, namun keadaan itu ternyata ia abaikan. Ia tetap mengejar Ki Rambetaji setelah mengatasi tekanan di dadanya dengan satu tarikan nafas.
”Anak iblis!“ Ki Rambetaji menggeram kesakitan ketika tumit Agung Sedayu mampu menggapai lambung kanannya. Ia tidak menduga bahwa lawannya itu ternyata berada di tataran yang lebih tinggi darinya.
Dalam pada itu, Ki Sanggabaya mendekati daerah pertempuran ketika ia mendengar suara orang berkelahi. Ia terkejut ketika melihat Ki Rangga Agung Sedayu sedang bertempur melawan orang yang tidak dikenalnya. “Bagaimana mungkin orang itu berada di dekatku lalu tiba-tiba ki rangga berkelahi tanpa aku mendengar kehadirannya?” desis Ki Sanggabaya yang telah mengerti ketinggian ilmu yang ada dalam diri pimpinan pasukan khusus itu.
Ki Rambetaji benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan serangan balasan. Ia masih berlompatan menghindar serangan Agung Sedayu. Satu benturan kemudian tidak dapat terelakkan lagi. Tubuh Ki Rambetaji terguling-guling, dan dalam pada itu Ki Rangga Agung Sedayu terseret ke belakang dengan telapak kaki yang semakin dalam menjejak tanah. Agung Sedayu kembali menyusulkan serangan namun Ki Rambetaji segera meloncat bangun. Dari kedua tangannya melaju kilatan sinar putih ke bagian tubuh yang berbahaya dari Agung Sedayu. Belasan pisau belati kecil melayang dan mengeluarkan suara mendengung yang memekakkan telinga. Agung Sedayu yang tengah menerjang dengan pukulan-pukulan berbahaya melihat bahaya yang datang, ia memiringkan tubuhnya dan berputaran seperti gasing mengelak dengan cepat.
“Sebenarnya aku enggan berurusan dengan orang-orang dari Menoreh. Tetapi sekarang terpaksa aku lakukan karena aku melihat kebenaran telah datang dari sisi Pangeran jayaraga dan Pangeran Ranapati,” berkata Ki Rambetaji seraya menyusun ulang tata gerak.
Seperti biasa yang terjadi dalam perang tanding di masa lampau, Agung Sedayu hanya menatap tajam kedua mata lawannya. Ia lantas melenting tinggi sambil mengetrapkan ilmu baru yang dipelajari dari kitab Ki Waskita. Beberapa lapis tenaga cadangan ia ungkapkan, tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa bersamaan dengan tubuhnya yang menurun sangat deras ke arah lawannya.
“Anak iblis! Sedemikian tinggi ilmu senapati pasukan khusus ini!” geram Ki Rambetaji. Dengan tangan kiri bersilang di depan dada dan tangan kanan yang didorongkan memapas serangan, Ki Rambetaji mengetrapkan ilmu yang mengeluarkan hawa sedingin es.
“Mengerikan! Pantaslah kiranya jika aku berada di bawah adik sepupunya jika ki rangga begitu luar biasa,” desis Ki Sanggabaya yang pernah mengalami kekalahan dari Glagah Putih ketika diadakan perang tanding di barak pasukan khusus. Ki Sanggabaya pada saat itu ingin menjajagi ketinggian ilmu Agung Sedayu yang akan menjadi pemimpinnya. Akan tetapi kemudian Glagah Putih mengambil tanggung jawab kakak sepupunya itu dan berhasil mengalahkan Ki Sanggabaya melalui satu cara yang tidak membahayakan mereka berdua.
Agung Sedayu semakin dekat meluncur dan ketika tangan kanannya bergerak, terdengar bunyi bercuitan lebih menyakitkan telinga. Terlihat satu gelombang panas seperti uap air yang amat halus menyambar ke seluruh bagian depan tubuh Ki Rambetaji. Ki Rambetaji lantas memutar tangan kanannya mencoba menangkis hawa pukulan yang mengandung hawa sangat panas itu. Udara berubah menjadi sedingin air yang membeku segera melanda hingga ke tempat Ki Jayaraga berada. Ki Jayaraga merasakan detak jantungnya seperti akan terhenti melihat dua kekuatan yang berlawanan sifat. Ditambah pengaruh hawa dingin yang menjalar sampai menusuk tulangnya. Desir darah Ki Jayaraga seolah mengalir lebih cepat dan ia merasakan ketegangan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
“Luar biasa!” desis Ki Jayaraga. Ia memusatkan nalar budinya untuk menghalau pengarauh hawa dingin yang keluar dari tangan Ki Rambetaji. Sedangkan di tempat lain, Ki Sanggabaya merasakan urat syarafnya menjadi kaku. Tulang belulang di sekujur tubuhnya terasa seakan menjadi patah, dan ia merasakan kulitnya begitu pedih seperti tertusuk ribuan duri.
Tangan kiri Ki Rambetaji menyambut dengan hantaman dari samping dengan jari terbuka, akan tetapi ia tercengang ketika Agung Sedayu mampu membelokkan arah serangan. Tubuh Ki Rangga Agung Sedayu berputar dan menyambut pukulan tangan kiri lawannya. Ia menggunakan dorongan tenaga dari lawannya itu untuk beralih ke sebelah kanan. Ki Rambetaji tercengang sesaat.
Demikianlah, ketika Ki Rambetaji mencoba memperkuat unsur gerakannya, Agung Sedayu tanpa ia duga telah menyusupkan satu pukulan mengarah ke dadanya. Meskipun Agung Sedayu tidak melambari sepenuh tenaga namun akibat dari pukulan itu sangat dahsyat. Ki Rambetaji yang mengangkat lutut kanannya untuk membendung pukulan Agung Sedayu terpental jauh dan suara keras terdengar ketika tulang kakinya patah. Ki Rambetaji berguling-guling menahan rasa sakitnya. Ki Jayaraga segera keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Ki Rambetaji.
“Ilmu orang itu sangat tinggi, jika bukan angger Agung Sedayu yang menjadi lawannya, sudah barang tentu aku akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan dirinya,” gumam Ki Jayaraga sembari menyapukan pandangannya mengamati tempat yang menjadi ajang perkelahian itu.
Ki Jayaraga kemudian berjongkok di sebelah Ki Rambetaji yang menahan rasa sakit luar biasa. Kemudian katanya kepada Ki Rambetaji,“ diamlah! Aku akan mencoba mengobati luka-lukamu.” Lalu ia menoleh ke arah Agung Sedayu dan berkata,” angger, tinggalkan tempat ini. Aku akan pergi ke pedukuhan kecil itu. Sementara ia tidak akan dapat bergeser barang sejengkal. Mungkin ki bekel akan dapat mengirim beberapa orang untuk menolongku membawa orang ini ke rumah Ki Gede.”
“Baik kiai,” Agung Sedayu mengangguk lalu meminta diri. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah mengetahui kehadiran Ki Sanggabaya pun memanggilnya untuk mendekat.
“Ki Sanggabaya, mari kita tuntaskan rencana kita sebelumnya.”
“Lalu bagaimana dengan orang itu?” Ki Sanggabaya menunjuk Ki Rambetaji yang terbujur lemas dan dalam perawatan Ki Jayaraga.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ki Jayaraga akan segera membawanya ke rumah Ki Gede Menoreh. Orang itu akan berada di sana dalam beberapa hari. Dan jika nanti perkembangan menunjukkan yang berbeda, kita akan membawanya ke barak pasukan khusus.”
Segera kedua pemimpin pasukan khusus itu melangkah cepat mendekati pesanggrahan milik Ki Tumenggung Wirataruna yang berjarak beberapa ratus tombak ke arah barat. Agung Sedayu segera memberi tanda untuk berhenti. Ia memusatkan nalar dan budinya untuk mengetrapkan ajian Sapta Pangrungu. Ia mencoba menangkap setiap bunyi yang ada di sekitarnya. Ki Sanggabaya tidak membuat gerakan apapun. Bahkan ia sangat berhati-hati mengatur pernafasan agar tidak menganggu usaha yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu mengetahui sekelompok kecil orang melangkah menjauh dari tempat mereka berhenti.
Di akhir malam itu, langit menumpahkan air yang menetes kecil. Gerimis hujan tidak menyurutkan kedua prajurit Mataram itu untuk lebih dekat dengan pesanggrahan. Kedua orang itu kemudian merayap ketika jarak semakin dekat dengan gardu penjagaan yang untuk pertama kali dilihat oleh Ki Rangga Agung Sedayu.
“Agaknya pesanggrahan ini benar-benar berubah dari keadaan semula,” gumam Ki Rangga Agung Sedayu dalam hatinya.
(bersambung)
1 comment
Mantap luar biasa..