Belum mencapai setengah lingkaran harimau mengitari Pangeran Benawa, lalu tenaga mereka terkuras nyaris tidak tersisa. Lutut kanan Pangeran Benawa menyentuh tanah tak mampu lagi menyanggah berat tubuhnya, sementara harimau loreng itu sesekali melebarkan mulut tanpa mampu mengeluarkan suara. Keduanya nyaris terkulai!
“Kucing hutan, apakah kau telah merasa lelah?” tanya lirih Pangeran Benawa dengan tubuh basah kuyup oleh keringat. Namun ia seperti tidak merasakan kelelahan yang sedang menderanya dengan hebat. Di depannya, harimau telah meringkuk dengan kepala berada di atas dua kaki depannya dengan tungkai menyentuh tanah. Meskipun pandang matanya sangat jelas menyaksikan harimau juga kelelahan tetapi Pangeran Benawa tidak gegabah untuk mendekatinya.
Setelah berkata dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh harimau, Pangeran Benawa bangkit, menyeret angkah untuk mencari ranting, setelah memperoleh yang diinginkannya, ia menyentuh tubuh harimau itu dengan ujung ranting untuk mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Apakah binatang buas yang ditakuti oleh seluruh penghuni hutan di lembah Merbabu itu masih tangkas menghindar?
Ternyata seperti yang telah ia duga sebelumnya bahwa kucing besar itu tak lagi mampu mengelak sentuhan ranting Pangeran Benawa. Kecerdasan nalar yang ada dalam diri Pangeran Benawa membuatnya segera melambari ranting kayu itu dengan ilmu Jendra Bhirawa yang tak lagi memancarkan kekuatan yang sangat hebat. Meskipun aliran tenaga intinya mulai melemah, namun sentuhan-sentuhan yang dilakukan olehnya mampu mengunci simpul otot harimau loreng yang kemudian tergolek lemas.
Sejenak kemudian, Pangeran Benawa berjalan dengan kaki terseret-seret mendekati harimau itu lalu duduk di samping lambung kucing besar itu, katanya, ”Kita sama-sama kelelahan. Dan aku akan membawamu pulang.” Usai berkata demikian, Pangeran Benawa lantas meletakkan kepalanya berbantal lambung harimau. Sementara itu harimau besar itu hanya mampu menatap ulah lawannya yang bertubuh lebih kecil disertai seringai lemah. Lalu, tak lama kemudian, Pangeran Benawa pun lelap dalam kelelahan yang luar biasa. Ia tak lagi merasakan lapar yang sebenarnya telah membelit sejak matahari melintasi tanjakan menuju puncak langit.
Ia lelap!
Ki Buyut Mimbasara pun tersenyum kala melihat tingkah laku Jaka Wening dari kejauhan. “Jika itu yang kau kehendaki, kita akan membawa pulang harimau itu.” Senyum Ki Buyut yang mendengar ucapan Jaka Wening meskipun jarak mereka lumayan jauh. Ki Buyut lantas berjalan dengan menuntun kedua kuda yang dibawanya serta dari pedukuhan Ki Jenar. Beberapa sentuhan tangan Ki Buyut pun bergerak cepat memeriksa keadaan tubuh Jaka Wening dan beberapa butir ramuan ia masukkan melalui bibir kecil cucunya. Luka-luka yang diderita oleh cucunya itu pun telah tertutup dengan ramuan yang telah disiapkan saat pertarungan masih berlangsung.
Untuk beberapa saat Ki Buyut mengamati keadaan Pangeran Benawa, lalu ketika tidak terjadi perubahan yang mengkhawatirkan maka kemudian Ki Buyut mengelus kepala harimau yang hanya mampu menggerak-gerakkan matanya itu sambil berkata, ”Terima kasih. Kau telah menjadi lawan tanding yang cukup hebat bagi cucuku ini. Kau akan pulang bersama kami, aku kira kau memang pantas mendapatkan kewajaran dari kami.” Lantas ia memeriksa keadaan harimau itu dengan kedua tangannya menyisir lembut setiap bagian tubuh binatang yang telah bertarung habis-habisan melawan putra Adipati Pajang.
Ki Buyut bangkit berdiri dan mengedarkan pengamatan sekitarnya. “Inikah gua yang mungkin menjadi tempat Kiai Rontek menyembunyikan Jaka Wening?” gumam Ki Buyut saat melihat sebuah lubang yang tidak seberapa besar pada tebing batu. Sejenak ia mendongakkan wajah ketika matahari telah berada di balik punggung gunung. Ki Buyut mengalihkan perhatiannya dengan memandang dua tubuh yang tergolek di dekatnya kemudian katanya, ”Aku tidak akan memindahkan kalian ke dalam gua karena kalian membutuhkan udara segar yang lebih banyak.” Lantas dari pelana kuda, Ki Buyut mengeluarkan sekantung kulit yang berisi air bersih dan memberi harimau itu minum sepuasnya. “Minumlah. Dan kau tak perlu takut padaku dan pada cucuku ini,” kata Ki Buyut sembari mengangkat kepala harimau itu agar mudah untuk menelan air dari kantung yang ia tuangkan.