“Rasanya saya tidak lagi dapat melihat jalan yang lain,” kata Prastawa. Dalam pandangannya, semua yang dikatakan oleh Untara, Agung Sedayu maupun Ki Widura adalah kebenaran yang berhimpun setelah sekian lama berserak. “Tanah perdikan akan menunjukkan pada dunia tentang jati dirinya. Semoga saya dapat memastikan bahwa kami sebagai pengawal Menoreh dapat berada di tempat itu.”
Kemudian Untara mengambil alih kendali pembahasan, penegasan tersirat dari kata-katanya sebagai panglima prajurit di wilayah selatan Merapi. “Aku tidak melihat kelemahan pada rencana Agung Sedayu. Itu berarti kita bekerja lebih keras dari biasanya. Kelengkapan prajurit seluruhnya harus dapat disiapkan mulai siang ini. Pembagian akan dikendalikan oleh Ki Panuju yang mempunyai hubungan baik dengan para gembala.”
“Bukankah mereka sedang memulihkan diri?” tanya Ki Widura.
“Itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengabaikan mereka dalam rencana ini. Semua orang harus terlibat dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang akan dipimpin para lurah prajurit dan kepala pengawal,” Untara berkata dengan sungguh-sungguh. Ia kemudian memalingkan wajah pada Agung Sedayu lalu katanya, “Engkau belum menyinggung persoalan inti.”
Agung Sedayu mengangguk kemudian menggerakkan bibirnya, “Pencarian.” Sejenak ia menata aliran napasnya. Agung Sedayu telah membulatkan tekad untuk menyatakan gagasan yang berbeda dari yang lain. Dari sudut yang berbeda, ia juga memandang perlu untuk melibatkan bekel pedukuhan. Tetapi meninjau suasana yang belum memungkinkan untuk melakukan hal itu, ia memutuskan akan bicara empat mata dengan bekel pedukuhan Jati Anom. Dalam pikirannya, kemarahan orang-orang Jati Anom tidak dapat mereda semudah angin berbelok arah. Satu hal yang dikhawatirkan olehnya adalah Jati Anom akan bertindak tanpa melibatkan prajurit-prajurit Mataram yang berada di sekeiling mereka. Dan itu bahaya besar!
“Kita wajib menimbang keadaan Jati Anom,” sambung Agung Sedayu, “kebakaran yang terjadi, walau tidak ada akibat buruk atau kerugian yang sangat besar namun itu sudah pasti meninggalkan kemarahan orang-orang Jati Anom. Kita belum sempat bicara lebih dalam dengan mereka meski dorongan dan dukungan tetap mendampingi warga berbenah.”
Sebagian orang yang mendengarnya terlihat mengangguk, lalu Ki Widura berkata, “Bagaimana kita dapat membahas persoalan ini dengan mereka? Sementara engkau tahu bahwa wilayah ini telah dijangkau oleh Raden Atmandaru.”
Sadar bahwa ia berada di bawah perintah Ki Tumenggung Untara, Agung Sedayu mengalihkan mata ke arah pemimpin prajurit yang disegani oleh Panembahan Hanykrawati. Ia menunggu tanggapan kakaknya agar gagasannya tidak melampaui batasan.
Untara memandang sorot mata Agung Sedayu dengan sudut pandang yang berbeda. Sebenarnya ia dapat mengendalikan seluruh gerak prajurit dan pengawal pedukuhan, tetapi Untara tidak dapat meninggalkan pemikiran Agung Sedayu. Jika Panembahan Senapati pernah menunda pembahasan karena Agung Sedayu belum terlihat olehnya, bagaimana aku bisa mendahului adikku? bertanya Untara pada hatinya. Kemudian dengan sedikit menggerakkan kepala, Untara berkata, “Engkau mendapat kebebasan untuk menuangkan rancangan yang semestinya telah melewati ujian di dalam pikiranmumu sendiri, Agung Sedayu.”
Napas lega segera berhamburan keluar dari rongga dada senapati pasukan khusus ini. Lantas ia berkata,”Paman. Saya adalah seorang dari rakyat Jati Anom, maka sudah tentu saya tidak akan meninggalkan bebahu pedukuhan. Dan seperti Paman katakana bahwa kita tidak mungkin barak ini dimasuki oleh orang-orang yang bukan prajurit Mataram. Berbahaya jika mereka melihatnya. Untuk itu, saya akan mendatangi rumah para bebahu satu demi satu untuk menyampaikan keputusan yang keluar dari ruangan ini. Mungkin sedikit mengejutkan mereka bila saya meninggalkan halaman ini dengan penyamaran, tetapi saya yakin bahwa mereka akan cepat mengenali saya.”
“Hmm, baiklah. Berarti permasalahan tentang duta prajurit telah terjawab,” suara lega lancar mengalir dari bibir Ki Widura.