Bersama dengan matahari yang beranjak semakin tinggi, Agung Sedayu mengayun langkah menuju kediaman Swandaru. Berulang kali ia mengalihkan perhatian dengan memandang seksama setiap petak sawah dan pategalan yang dilewatinya. Tetapi ia semakin sangsi dengan ketegaran hatinya sendiri apabila telah berhadapan dengan Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Bahkan, dalam perjalanan itu, Agung Sedayu berpikiran menyimpag, “Apakah nasib ini juga pasti menimpaku jika Pandan Wangi yang menjadi pendamping?”
Gila!
“Bukan buah pikiran yang bijaksana jika engkau mempunyai anggapan kosong semacam itu,” suara Kiai Gringsing seolah mendengung kencang dalam ruang dada Agung Sedayu. Pikiran itu seperti menjadi pelipur lara bagi Agung Sedayu dengan menggunakan jalan pikiran “tidak perlu memandang sebuah akibat ketika sebab masih belum diketahui secara pasti”. Dengan mengikuti angan kosong, sedikit banyak perhatiannya pada kepastian yang lain, yaitu sikap istrinya, dapat teralihkan , walau sebentar. Kefasihannya dalam berbicara memang tidak seperti Swandaru atau Sekar Mirah. Agung Sedayu bukan sosok yang pandai berdebat atau mencari alasan, tetapi kali ini a sedang mencari alasan lebih banyak dari seorang senapati yang melarikan diri dari pertempuran.
Selemparan tombak menjadi jarak antara Agung Sedayu dengan regol rumah Swandaru. “Aku tidak mempunyai maksud dan tujuan lain selain Mataram dan keselamatan orang-orang yang hidup di dalamnya,” ucap Agung Sedayu dalam hatinya, “tetapi Swandaru adalah menjadi persoalan lain dan pasti akan menjadi beban berat setiap orang yang mengenalnya. Menyalahkanku adalah satu-satunya sikap yang mereka tujukan padaku. Aku tidak punya pilihan lain, Mataram atau Swandaru, keduanya sama-sama penting.”
Senapati pasukan khusus itu sadar bahwa kebanyakan orang akan sulit membedakan permasalahan yang dihadapinya. Mataram dan Swandaru adalah dua persoalan yang sebenarnya tunggal. Itu akan menjadi satu pikiran bagi sebagian orang, sementara orang lain akan beranggapan Mataram dan Swandaru adalah persoalan yang berbeda. Walau demikian, bagi orang kepercayaan Ki Gede Menoreh ini, tidak ada yang lebih penting selain menghadapi keluarga Swandaru. “Mengadu ilmu dan berakhir dengan kematian telah menjadi perbuatan yang lumrah bagiku,” pikiran Agung Sedayu berkata pelan. “Seharusnya aku berpikir baik bahwa segalanya adalah sebuah ujian. Ya, ini adalah ujian bagi seseorang yang telah memilih jalan sebagai prajurit Mataram.”
Kemuliaan selalu mengikuti seseorang dalam bentuk nama yang menjulang. Kedewasaan Agung Sedayu tumbuh tanpa henti seiring dengan matahari yang belum jenuh bergulir.
“Aku akan mengatakan semuanya pada Sekar Mirah.” Sungguhpun cemooh dan hujatan akan diterimanya, Agung Sedayu berketetapan hati dengan tidak lagi mencari alasan. “Kebohongan hanya melahirkan cabang baru yang juga bernama kebohongan. Dan, sampai kapan aku dapat berhenti?”
“Kakang?” desis perlahan seorang perempuan yang keluar dari seketheng sisi kiri pendapa. Setelah ia memastikan lelaki yang berjalan melintasi regol adalah pria yang sangat dikenalnya dengan baik, perempuan berkulit sedikit terang itu berlarian menyongsongnya. Binar mata menjadi saksi kepeduliannya di masa lalu. Menyimpan lintas kenangan yang beraur rasa. Terselip rindu di balik kelopaknya yang menyimpan embun.
“Wangi,” ucap lirih Agung Sedayu. Pintas waktu yang berlalu sempat menyeretnya untuk berkhayal tentang perempuan yang berdiri di hadapannya sambil memegang kedua tangannya, dan kini, setelah ia melampaui regol, perempuan itu hadir dalam kenyataan. Kenyataan yang tidak seharusnya dirasakan pahit oleh Agung Sedayu, tetapi ia tidak dapat menemukan ungkapan yang tepat atas suasana hatinya. Sedikit bergetar suara senapati Mataram itu ketika berkata, “Bagaimana keadaan kalian?”
“Tak patut. Tak patut walau aku ingin bertanya ‘bagaimana keadaanmu?’ Ia telah mempunyai suami, Agung Sedayu. Dan lelaki itu adalah adik seperguruanmu!” Guncangan keras melanda dada Agung Sedayu yang belum mampu mengalihkan pandang dari wajah Pandan Wangi.
“Baik, Kakang, Kami semua dalam keadaan baik,” jawab Pandan Wangi lalu memutar tubuh.
Agung Sedayu yang nyaris kehilangan pengamatan pun mengiringi langkah Pandan Wangi yang mengajaknya masuk ke dalam rumah. Dalam waktu itu, indra pendengaran Agung Sedayu telah bekerja. Ia ingin mendengar langkah kaki Sekar Mirah yang pasti lebih berat dari beberapa pekan sebelumnya. Ia ingin mendengar suara mertuanya. Ia ingin segalanya berjalan tanpa ada gejolak sedikit pun ketika ia mengatakan perihal Swandaru yang lenyap dari pandangannya.
Namun suasana di dalam rumah begitu sepi. Hening. Tidak ada langkah kaki yang terdengar. Apakah ia datang terlalu pagi? Ke mana orang-orang pergi? Sejenak ia mencium wangi tubuh Pandan Wangi yang berbaur dengan udara.