Mereka bertiga menjawab dengan anggukkan kepala.
“Sejauh mana mereka telah mengadakan persiapan?”
Ra Kayumas pun kemudian menjelaskan secara terang bahkan ia menambahkan usulan tambahan yang digagas oleh senopati yang lain. Hyang Menak Gudra mendengar penjelasan Ra Kayumas dengan seksama. Lalu katanya, ”Baiklah, secara keseluruhan tambahan yang diajukan oleh para senopati memang tidak ada penyimpangan dari rencana induk. Saya harap semua dapat mematuhi paugeran dan setia pada keluhuran nilai yang kita pegang teguh selama ini.” Sejenak kemudian Hyang Menak Gudra membubarkan pertemuan dan meminta para senopati kembali ke tempat yang telah ditentukan dan menunggu dalam keadaan siaga.
Ki Rangga Gagak Panji melangkah lebar menuju sebuah bangunan tinggi yang khusus digunakan oleh para pengawas jalur perairan. Ia bersilang dada dan lurus menatap kerlip cahaya yang berasal dari kapal-kapal perang prajurit Demak. Dari tempatnya berdiri, obor-obor yang menyala itu nampak seperti ribuan kunang-kunang yang sering ia jumpai saat melintasi hutan pada tengah malam.
“Luar biasa!” desah Gagak Panji.
Namun demikian, Sukra merasa tidak yang pantas mengajukan pertanyaan pada orang-orang yang dilihatnya. Itu sangat bodoh, pikirnya. Ia tidak mengenali seorang pun di Randulanang. Satu-satunya pengalih perhatian dan menjadi penenang adalah Gendhis. Ki Tunggul Pitu menyebutkan nama sebuah tempat dengan tanda-tanda yang dapat dikenali sekelilingnya. Merebut Mataram 1
Ra Kayumas dan Mpu Badandan yang berdiri pada dua sisinya tidak membantah perasaan yang terungkap dari Gagak Panji. Mereka bertiga melihat betapa beberapa buah kapal yang berada di baris depan tampak besar dan kokoh. Jarak antar tiang kapal dan kerangka kayu yang menjadi sandaran layar mengesankan kekuatan yang tersimpan. Ra Kayumas dapat memperkirakan segala yang berada di balik lambung kapal.
“Boleh jadi, Raden Trenggana berada di dalam kapal yang ketiga dari sisi kanan. Sekalipun kapal itu ti-dak terlihat lebih besar dari yang lain, namun jumlah tiang dan dan kedudukan buritan telah memberi gambaran mengenai kemampuan awak kapalnya,” kata Ra Kayumas. Gelapnya malam tidak menjadi kendala bagi ketiga orang berkepandaian tinggi itu untuk melihat bentuk kapal dengan jelas. Mereka mampu melihat dengan jelas meski cahaya tidak mendukung penglihatan.
“Apakah itu berarti saya segera menunjukkan diri setelah mencapai geladak?” bertanya Gagak Panji pada Ra Kayumas.
Rakryan Tumenggung Ra Kayumas mengangguk lalu, penuh keyakinan, menjawab, ”Lakukanlah! Saya akan membawa pasukan khusus untuk mengalihkan perhatian apabila Ki Rangga mendapatkan kesulitan.”
“Guru!” Gagak Panji lantas berpaling pada Mpu Badandan untuk meminta pertimbangan atau sekedar sepatah kata darinya.
Mpu Badandan menarik napas panjang. Kemudian katanya, ”Setelah malam ini aku pikir tidak ada lagi kendala yang berarti bagimu. Kau akan menghadapi orang paling keras dalam pendirian. Kau akan mendapat perlawanan keras darinya pada saat kau katakan bahwa orang-orang di wilayah timur tidak pernah berpikir untuk menentang kedudukan Raden Trenggana sebagai penguasa Demak. Tidak pernah aku mendengar keluh kecewa dari Pangeran Tawang Balun atau saudaranya yang lain. Tidak pula dari Pangeran Parikesit. Mereka tidak pernah melakukan perbuatan yang membahayakan tahta Demak. Walaupun Raden Trenggana menempuh jalan yang kita yakini sebagai sebagai jalan yang salah, tetapi dengan segala keburukannya, ia adalah seorang pemimpin.’
‘Pada malam ini, kita telah kedatangan satu kekuatan yang menakutkan. Kekuatan hebat yang telah melampaui samudera untuk menekan orang-orang bermata biru. Mungkin juga kau tidak akan pernah dapat keluar dari kapal itu hidup-hidup, Gagak Panji. Tetapi kau mempunyai bekal yang sangat kuat. Dan aku mengerti bahkan lebih dari itu bahwa kau akan dapat melewati malam ini meski hasil yang kau nyatakan ti-dak akan pernah memuaskan banyak pihak.”
“Saya mengerti, Guru,” lirih berkata Gagak Panji lalu memberi hormat serta minta diri pada keduanya untuk menjalankan tugas berat. Sebuah tugas yang hanya mampu diemban olehnya seorang diri. Ia harus dapat menemui Raden Trenggana lalu berbicara dengannya beradu wajah.
1 comment
[…] Pangeran Benawa – Panarukan 4 […]