“Aku belum berkata apa-apa dengannya,” jawab Ken Banawa.
“Tetapi ia adalah saudara Gumilang,” kata Gajah Mada, ”boleh jadi Bondan pernah membicarakan itu dengan saudara-saudaranya.”
“Kemungkinan itu selalu ada.” Ken Banawa mengangguk-angguk.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan yang hebat. Tubuh Bondan dan Ki Cendhala Geni kembali terbungkus rapat di balik gulungan sinar senjata mereka yang berkelebat dan berputar-putar sangat cepat. Bondan yang dapat memperkirakan setiap arah serangan lawannya akhirnya mampu mengulurkan ujung kerisnya menggores bagian dada Ki Cendhala Geni. Seruan tertahan keluar dari mulut lawannya.
Bondan menjatuhkan diri dan cepat menjulurkan kaki menggedor ulu hati lawannya yang mempunyai nama besar di daerah selatan. Tubuh Ki Cendhala Geni terpental melayang jauh ke belakang. Bondan tidak berhenti menebar ancaman maut, tangannya melontarkan keris yang kemudian meluncur deras mengejar musuhnya, lalu menembus lambungnya.
Ki Cendhala Geni jatuh terlentang tanpa mampu menggerakkan kedua tangannya karena tendangan susulan Bondan meremukkan tulang dadanya. Ia hanya dapat menggerakkan kepala sambil menyeringai menahan sakit. Ia melihat Bondan yang berjalan menghampirinya dengan mata yang tidak lagi ditutup rapat dengan ikat kepala.
“Bergabunglah bersamaku. Kau tidak akan menyesali keputusan itu,” kata Ki Cendhala Geni terengah-engah.
Bondan menggoyangkan kepala kemudian katanya, ”Apa yang telah kau lakukan hari ini dapat kau anggap sebagai penebus kesalahanmu di masa lalu, Kiai.”
“Aku tidak akan pernah menyesalinya.” Ki Cendhala Geni sedikit terbatuk-batuk lalu berkata lagi,” Aku tidak menganggap kematianku dalam perang tanding ini adalah sebuah kekalahan. Justru sebaliknya, kematianku dan kekalahan pasukan Ki Sentot Tohjaya adalah awal dari sebuah gerakan yang sangat besar.”
Ken Banawa dan Gajah Mada saling bertukar pandang mendengarnya. Mereka berdua berlarian mendatangi Ki Cendhala Geni ketika orang tua bertubuh tinggi besar itu terbaring lemas di atas tanah.
“Seperti apa gerakan itu?” Gajah Mada bertanya dengan dahi berkerut.
Ki Cendhala Geni menoleh padanya sambil mencoba mengingat orang muda yang bertubuh besar seperti dirinya. Kemudian bertanya balik, ”Bukankah kau yang bernama Gajah Mada?”
Gajah Mada mengangguk.
“Tidak ada lagi yang patut kalian ketahui selain menjadi saksi kematianku,” lirih berkata Ki Cendhala Geni saat napas terakhir berhembus keluar darinya.
Demikianlah kemudian Ken Banawa memberi perintah pada orang-orang kademangan untuk merawat jasad Ki Cendhala Geni secara wajar.
“Meskipun ia telah banyak berbuat jahat dan menebar ketakutan pada kita semua, namun ia mempunyai hak untuk tetap dipandang sebagai bagian dari kita. Tubuhnya sudah tidak bergerak lagi, yang patut kita benci adalah kesadarannya saat masih hidup,” kata Ken Banawa.
Gajah Mada dan Bondan yang berdampingan kemudian menundukkan kepala.
Tiba-tiba Bondan mengangkat wajahnya, lantas berpaling pada Ken Banawa. ”Lembu Daksa! Bagaimana keadaannya, Paman?”
Ken Banawa menunduk lalu menggelengkan kepala. Ia memberi isyarat bahwa jasad Lembu Daksa tidak berada di sekitar mereka.
“Tidak!” seru Bondan sambil mengedarkan pandangan sekelilingnya.
|”Anak itu tidak pantas untuk mati!” Bondan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi. Bahkan ia mengacungkan senjatanya pada Ken Banawa dan Gajah Mada. Ia berteriak, ”Katakan padaku, Paman. Tunjukkan siapa yang telah membunuh Lembu Daksa?”
“Hentikan, Bondan!” perintah Ken Banawa.
Gajah Mada berdiri tegak tajam menatap Bondan.
“Aku akan menghukum mati pembunuh Lembu Daksa!” Bondan seakan tidak peduli dengan perintah pamannya. Mata Bondan berkilat marah menyambar Gajah Mada.
“Turunkan senjatamu, Bondan!” Gajah Mada berkata pelan sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada.
Sambil menggeleng, Bondan menyahut, ”Tidak! Keris ini tidak akan kembali ke sarungnya sebelum menghisap darah pembunuh Lembu Daksa!”
“Kematian Lembu Daksa terjadi di medan perang, Ngger,” berkata Ken Banawa kemudian. ”Kau tidak dapat menyalahkan siapapun. Inilah peperangan. Kau anggap kejam atau menyenangkan, itu semua karena suara hatimu sendiri.” Ia selangkah lebih maju mendekati Bondan yang kehilangan kendali diri.
“Tidak, Paman!” sahut Bondan. “Aku memang belum mengenalnya dengan baik. Tetapi semalam ia banyak berbicara denganku. Tentang ayahnya. Ki Wisanggeni.” Bondan pun jatuh berlutut dengan kepala tertunduk dalam.
1 comment
[…] Bondan – Pertempuran Hari Kedua […]