Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered – 83 Randulanang

Kebekuan merambat pelan secepat bekicot menyusur dahan basah di permukaan tanah. Sekilas rencana itu terdengar begitu gagah dan berani, tetapi Ki Sekar Tawang mengingatkan lelaki yang diseganinya. “Iutu akan menjadi usaha yang sangat berat, Bukan tidak mungkin, Raden, segala yang telah kita lakukan dan rencana di masa depan menjadi musnah.”

“Benar, dan itu benar-benar terjadi jika aku gagal membunuhnya” ucap Raden Atmandaru dengan mata melirik pada Ki Tunggul Pitu.

“Raden Atmandaru,” kata Ki Sekar Tawang, “rencana ini begitu cepat. Sepesat kilat tiba-tiba muncul di depan kita semua. Kemungkinan yang terjadi bila Raden benar-benar mewujudkannya adalah perjalanan kita akan terlambat.”

“Lupakan itu,” tegas Raden Atmandaru. “Keterlambatan bukan kendala dalam mencapai tujuan. Keterlambatan adalah segi waktu yang Kiai gunakan ketika mengukur pergerakan ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di masa lalu. Namun, Kiai, Ki Patih Mandaraka adalah jiwa sesungguhnya dari Mataram selama Raden Mas Jolang masih duduk di singgasana. Merunut ke belakang, Ki Juru Martani adalah pusat kendali perkembangan Mataram yang sebenarnya.”

loading...

“Ketika Raden berhasil menyingkirkan Ki Juru, apakah itu berarti setengah Mataram telah berada dalam genggam kita?” potong Ki Tunggul Pitu.

“Benar. Kiai berdua, kita harus terus berjalan tanpa perlu tempat untuk menyembunyikan diri. Di sini, di Randulanang, kita telah menemukan cara baru yang dapat menjadi jalan tercepat menguasai Mataram. Meski Kiai mengatakan ‘terlambat adalah kepastian’. Namun, sayangnya, kata itu tidak berlaku bagi saya,” kata Raden Atmandaru sambil mengepalkan tangan.

Ki Sekar Tawang menghela napas, menahan diri agar tidak melanjutkan perbantahan. Ia memaklumi watak keras Raden Atmandaru. Sejenak ia menoleh kepada Ki Tunggul Pitu kemudian katanya, “Baiklah. Mari kita coba sekarang mengungkap segala kelebihan ilmu Ki Patih dan kelemahannya.”

Seperti yang dilakukan kawannya, Ki Tunggul Pitu menarik segala keinginan dan wawasannya agar tidak melompat keluar dari bibirnya. Ia pun harus mengekang gejolak perasaannya untuk satu keadaan. “Bila memungkinkan merebut Kiai Plered dari lelaki tengik itu, akulah yang tidak terkalahkan. Kitab Kiai Gringsing dan Kiai Plered, betapa dua benda itu akan menerbangkanku melebihi Mahameru,” suara hati Ki Tunggul Pitu menggema dan memenuhi relung kalbunya. “Saya tidak ingin melampaui kedudukan Ki Sekar Tawang sebagai teman berlatih Raden Atmandaru. Saya akan menempatkan diri sebagai pengamat dan juru pengadil, bila Raden tidak keberatan.”

“Lalu, bagaimana aku dapat memperkirakan perlawanan pengawal Ki Juru?  Khususnya Mataram bila mereka tahu atau mendengar usaha ini?”

“Raden Atmandaru,” kata Ki Sekar Tawang, “bahwa akhirnya Anda akan melakukan sesuatu yang benar hanya dapat diketahui oleh Anda sendiri. Bahwa perlawanan keras Ki Patih akan terjadi seketika pada saat ia melihat Kiai Plered berada di tangan Raden. Ini artinya, bila saya tidak salah membuat perkiraan, Ki Patih akan melontarkan perkelahian pada lapisan puncak. Namun Mataram? Saya pikir mereka tidak mengetahui bahwa Kiai Plered telah beralih tangan. Mereka akan mendapat malu besar bila pusaka tiba-tiba menghilang.”

“Hmm, betul-betul mengesankan. Sebuah perkiraan yang mendekati nalar. Saya pikir mungkin seperti itulah yang akan terjadi, bahwa perang tanding akan melompati puncak Merapi,” tambah Ki Tunggul Pitu. “Namun bila Kiai Plered tidak segera ditampakkan, apakah pertarungan akan berbeda?”

“Kiai, kita tidak mempunyai waktu lebih lama dari seekor ayam menelan cacing.” Raden Atmandaru menghentikan ucapannya. Tidak lama tetapi ia membutuhkan waktu untuk membaca perkembangan keadaan sekitarnya. Ki Tunggul Pitu menyita tempat pada pikirannya. Sesaat  Raden Atmandaru memejamkan mata seperti menimbang sesuatu. Lanjutnya kemudian, “Kita harus secepatnya melenyapkan Ki Juru dari Mataram dengan kecepatan seperti kita menghilangkan Swandaru dari Sangkal Putung. Kemampuan mereka berdua sudah pasti mempunyai jarak yang sangat jauh. Saya ingin katakan bahwa meringkas waktu adalah perhatian yang utama. Saya tidak dapat menerima kenyataan terburuk. Maksudnya begini, setidaknya Ki Juru harus terluka dan bila dapat disembuhkan, itu harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan lelaki renta itu harus terpisah jauh dari Mas Jolang. Untuk itulah, untuk membuka peluang agar rencana itu dapat dilaksanakan, saya ingin bertanya tentang seseorang pada Kiai berdua.”

Dua penasehatnya menunggu kelanjutan Raden Atmandaru.

“Swandaru adalah orang yang sukar ditaklukkan dengan olah kanuragan. Kiai, apakah ramuan pengalih perhatian dan segala yang terhubung dengan cairan itu masih bekerja?” Raden Atmandaru menghadapkan wajah pada Ki Sekar Tawang.

Senyum mengembang Ki Sekar Tawang menjadi pendahulu jawaban terbaik. “Swandaru tidak akan mampu bertempur dalam waktu yang tidak lebih lama dari sepenginang sirih. Ia akan terkulai dan hasratnya untuk kembali ke pembaringan dapat mengalahkan semangat tempurnya. Kami masih bekerja dengan baik dalam urusan itu.”

Ki Tunggul Pitu memandang bergantian wajah-wajah sumringah di depannya. Sedikit memerah ketika bayangan yang mendekati kenyataan tiba-tiba muncul dalam benaknya. “Benarkah Swandaru berada di tangan mereka? Ini sebuah kemujuran yang tak terhingga. Harga yang pantas untuk ditukar dengan Kitab Kiai Gringsing. Lalu, ramuan, perhatian dan pembaringan… Apa arti sesungguhnya? Hmmm. Apakah itu berarti Swandaru lebur dalam panas banyak rangsangan? Ini gila. Benar-benar sangat gila dengan menawan Swandaru lalu menjadikannya lupa segalanya hanya dengan perangsang dan wanita. Tidak ada kata lain yang tepat untuk Raden Atmandaru dengan siasatnya yang luar biasa!”

“Seseorang yang dimaksudkan oleh Raden. Siapakah ia?” bertanya Ki Tunggul Pitu.

“Ya, aku ingin kembali ke pokok persoalan. Orang yang aku maksudkan adalah salah seorang kepala  pengawal raja. Selama ini keberadaannya memang aku sembunyikan dari Kiai berdua dan banyak orang. Kami bertemu ketika sama-sama berguru di sebuah padepokan di Pegunungan Kendeng. Aku menilainya sebagai orang yang bernalar tajam dan tanggap keadaan. Kami bersepakat pada satu tujuan dan kami terikat oleh keadaan yang sama. Persamaan kami pun persis dengan persamaan kita pada waktu ini dan yang akan datang. Kiai berdua sebaiknya juga tahu bahwa ia bukan keturunan Panembahan Senapati atau Ki Panjawi. Ia adalah pengikut setia Pangeran Puger.”

Pada saat itu, kegagalan merebut Gondang Wates seolah telah memberi pengaruh yang berarti. Bahkan mungkin dipandang sebagai akibat yang tidak perlu diperhitungkan. Raden Atmandaru, meski awalnya begitu geram, tetapi sikapnya tiba-tiba berubah ketika mendengar kehadiran Ki Patih Mandaraka di Sangkal Putung. Seketika ia melupakan kekalahannya di Watu Sumping dan menatap bulat-bulat peluang yang terpampang di hadapannya.

Suasana yang meliputi mereka bertiga beringsut mundur lalu membeku. Ki Sekar Tawang dan Ki Tunggul Pitu sedang menanti nama baru, tetapi Raden Atmandaru kembali ke rencana semula. Penantang Panembahan Hanykrawati ini tengah menuju persiapan yang diperlukan untuk membunuh Ki Patih Mandaraka dan menguji ketangguhan Kiai Plered!

Wedaran Terkait

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 84 – Randulanang

kibanjarasman

2 comments

gembleh 01/06/2021 at 20:04

Semangkin mendebarkan hati… maturnuwun

Reply
kibanjarasman 06/06/2021 at 13:38

makin panjang kisah. matur nuwun

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.