Malam semakin dalam mencengkeram dalam keheningan. Pertemuan para pemimpin pasukan di dalam kemah besar Ken Banawa telah usai.
Sementara itu dengan langkah yang seperti tidak bertenaga, seorang lelaki muda bertubuh tegap dan tinggi menuju ke kemah Gumilang. Rambutnya yang tidak terkungkung dalam ikat kepala tampak berkibar-kibar oleh hembusan angin malam. Sorot matanya menunjukkan kemurungan yang dalam. Sebuah gelang yang terbuat dari akar kayu Jati membalut erat lengan bagian atas.
Pendengaran tajam Gumilang segera menangkap desir langkah yang berjalan mendekati kemahnya.
“Siapa?” tanya Gumilang.
“Aku. Lembu Daksa,” kata lelaki itu dengan datar.
“Masuklah,” demikian Gumilang dan sesaat kemuIan berdirilah lelaki yang tampak murung di hadapan Gumilang.
Sesaat dadanya tergetar melihat Bondan yang beringsut dari tikar yang tergelar di sudut kemah. Kebingungan semakin jelas terlihat dari raut wajahnya.
“Bukankah engkau telah mengenal Bondan, Lembu Daksa?” tanya Gumilang ketika melihat Lembu Daksa tampak tertegun menatap wajah Bondan.
“Aku mengenalnya. Seseorang yang masih muda usia namun mampu menggetarkan jagad Majapahit dengan pertarungannya melawan Ki Cendhala Geni,” jawab Lembu Daksa sedikit gugup karena tersentak dari lamunan ketika melihat Bondan.
“Ah, mereka terlalu berlebihan meskipun orang itu sudah sepantasnya untuk menjalani suatu hukuman,” desah Bondan.
Kemudian Lembu Daksa menatap Gumilang dan Bondan secara bergantian. Seolah menghendaki hanya Gumilang sendiri yang berada di dalam kemah. Sejenak Bondan melihat Gumilang tetapi Gumilang masih menundukkan kepala seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkan.
“Tidak mengapa engkau katakan keperluanmu, Lembu Daksa. Bondan adalah orang yang aku percaya selain itu ia juga adalah sepupuku,” Gumilang berkata seperti itu seolah mengetahui isi hati Lembu Daksa.
Desah perlahan keluar dari bibir Lembu Daksa lantas mengambil tempat duduk di sisi Gumilang, lalu berkata, ”Ki Sanak berdua, sebenarnya aku tidak mengetahui apa yang akan dan harus aku lakukan esok hari.”
Gumilang menatap wajah Lembu Daksa penuh keheranan. “Apa yang engkau maksudkan, Lembu Daksa? Bukankah sudah jelas perintah paman Ken Banawa kepadamu? Atau engkau mempunyai gambaran yang berbeda dari rencana yang telah diputuskan tadi?” Gumilang bergeser surut dan bertanya dengan nada yang tinggi.
“Lembu Daksa adalah perwira muda yang berotak cemerlang dan tidak pernah menyerah dengan keadaan perang paling sulit. Namun persoalan apa yang menjadikannya berlutut?” gumam Bondan dalam hatinya seraya memandangi Lembu Daksa lekat-lekat.
“Baiklah. Persoalanku adalah bahwa ayahku berada dalam barisan pasukan berkuda Ki Sentot. Dan besok aku akan menghadapinya dalam gelar yang telah ditentukan oleh Ki Rangga Ken Banawa,” suara Lembu Daksa terdengar penuh getar dan dadanya menjadi sesak membayangkan esok hari jika bertemu dengan ayahnya.
Gumilang dan Bondan tertegun mendengar kalimat yang diucapkan Lembu Daksa. Untuk sesaat mereka saling berpandangan. Keheningan malam semakin dalam menghunjam dada tiga lelaki muda yang duduk melingkar dalam kemah Gumilang.
“Siapakah ayahmu?” tanya Bondan yang memang tidak mengetahui siapa ayah Lembu Daksa.
“Ki Wisanggeni. Seorang senapati Majapahit yang berpangkat terakhir sebagai tumenggung dan merupakan orang kepercayaan Mpu Nambi,” Gumilang mendahului Lembu Daksa untuk menjawab pertanyaan Bondan. Bondan hanya menundukkan kepala mendengar jawaban yang diberikan oleh Gumilang.
KemuIan Gumilang menghela napas sambil berkata, ”Belum tentu itu akan terjadi, Lembu Daksa. Meski demikian segala sesuatu dapat saja terjadi dalam pertempuran besok. Namun, sangat mengherankan bagiku karena sejauh pendengaranku mengatakan bahwa Ki Wisanggeni adalah prajurit yang setia pada Majapahit.”
“Dan mungkin saja ada satu gejolak di dalam hati Ki Wisanggeni. Aku kira gejolak itu tidak mungkin ada jika tidak ada penyebab yang kuat,” kata Bondan seraya mengangkat kepalanya.
“Bondan, penyebab itu memang ada. Ayahku memasuki keprajuritan sejak usia muda pada masa akhir Sri Kertanegara. Kemudian beliau turut mengikuti perjuangan Ra Dyan Wijaya hingga kemudian menjadi tumenggung sesaat sebelum Sri Rajasa meninggalkan kita untuk selamanya. Namun perkenalannya dengan Arya Wiraraja telah mengubah seluruh pandangan hidupnya terhadap sosok Sri Ra Dyan Wijaya,” kata Lembu Daksa sambil menarik napas dalam-dalam. Bondan mendengar sambil mengerutkan keningnya.