Ketiga orang itu berjalan dengan pandang menebar sejauh mata memandang. Tampak hamparan padi yang mulai berbulir kekuningan. Sementara sinar matahari masih di ambang batas cakrawala, butiran berkilauan tertimpa sinarnya. Iring-iringan pedati melintas di jalan yang sudah dipadatkan. Beberapa bagian memang belum mendapatkan perhatian, namun itu tidak menghalangi para saudagar untuk melakukan kegiatan. Setelah melewati tiga bulak panjang, akhirnya ketiga orang ini berhenti di sebuah tugu yang menjadi tanda batas sebuah pedukuhan. Ketiganya melompat turun dari kuda.
Seorang wanita yang berusia lanjut menatap palang kayu yang melintang di depannya. “Pedukuhan ini tidak begitu ramai,” kata wanita itu.
Ki Wijil menoleh pada istrinya lalu menyahut, ”Marilah kita coba memasukinya. Siapa tahu ada satu hal yang bisa kita lakukan di pedukuhan ini.”
Sambil menuntun kuda, kemudian mereka melangkahkan kaki memasuki regol pedukuhan. Ki Wijil merasakan kegetiran sedang menyelubungi pedukuhan. Belasan tombak kaki melangkah, mereka hanya melihat rumah berderet dengan pintu tertutup rapat. Penglihatan tajam dan panggraita ketiganya dapat menangkap bayangan di balik dinding-dinding bambu dari setiap rumah.
“Ternyata benar kata orang,” kata Sayoga sambil tersenyum.
“Apa yang engkau dengar dari orang-orang?” tanya Nyi Wijil.
“Aku mendengar jika setiap orang yang berjalan keluar dari tanah perdikan akan selalu mendapatkan perhatian yang cukup,” tergelak kecil Sayoga sambil menutup mulutnya. Kedua orang tuanya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
Beberapa langkah kemudian, mereka berhenti. Saling bertukar pandang dengan kening berkerut.
“Apakah saya tidak salah mendengar?” Sayoga menatap wajah ibunya.
“Tidak,” jawab ibunya seraya memandang wajah Ki Wijil seakan meminta pendapat.
“Marilah, kita ke sana. Dan sejauh mungkin kita hanya mengawasi apa yang sedang terjadi,” berkata Ki Wijil.
Sebenarnyalah Ki Wijil dan Nyi Wijil ingin membawa anak mereka satu-satunya mengenali dunia. Lalu mereka memutuskan untuk mengambil jalan ke arah utara menuju Demak. Dalam pandangan mereka, Sayoga memang sudah tiba waktunya untuk belajar banyak dari pengalaman-pengalaman yang akan dilaluinya. Dalam pada itu, ketiga orang ini telah berada di sebuah pedukuhan yang berada dalam wilayah Kademangan Juwana. Perbukitan kecil tampak seperti dinding alam yang mengelilingi kademangan ini.
Mereka bergegas melarikan kuda menuju suara yang kedengaran seperti teriakan orang-orang yang marah. Debu tipis segera mengepul di belakang mereka. Sejenak kemudian terlihat kerumunan orang sambil mengacu berbagai benda tajam. Ki Wijil meminta mereka berhenti dan melihat keadaan dari jarak yang agak jauh.
”Kita berhenti disini. Agaknya kedatangan kita bukanlah pada saat yang tepat,” Ki Wijil berkata. Perintah itu segera dipatuhi oleh anak istrinya. Lalu ketiganya bergeser di bawah sebuah pohon asam yang daunnya cukup rindang.
“Kita tidak dapat begitu saja memberi hukuman pada Ki Galuh. Mungkin saja beberapa ternak yang ditemukan itu bukan diambil oleh Ki Galuh. Hanya satu kebetulan jika kita menemukan ternak-ternak itu berada di halaman depan rumahnya,” terdengar seseorang berkata cukup keras.
“Lalu mengapa itu bisa sampai terjadi, Ki Jagabaya?”
“Untuk itulah, aku minta kalian tenang dulu barang sejenak. Jangan sampai ada penyesalan jika kemudian Ki Galuh ternyata tidak bersalah. Akan tetapi kita dengan gelap mata berpuas diri menghukumnya hari ini. Apakah seperti itu sikap yang diajarkan oleh orang-orang tua kita?” bertanya Ki Jagayabaya dengan nada tinggi.
“Serahkanlah urusan ini dan Ki Galuh beserta keluarganya kepada piranti pedukuhan. Kemudian, kita menunggu kedatangan Ki Bekel yang sedang berada di Tanah Perdikan Menoreh,” lanjut Ki Jagabaya. Kemudian katanya lagi, ”Sesuai rencana sebelumnya, besok siang beliau akan tiba di pedukuhan. Nah, sekarang kalian kembali ke pekerjaan masing-masing. Atau jika tidak, kalian lebih baik berdiam diri di dalam rumah. Sementara itu, aku dan pengawal pedukuhan akan meronda keliling pedukuhan. Bagaimanapun juga, kelompok orang yang menamakan dirinya Padepokan Tanpa Bayangan dapat menyerang kembali pedukuhan ini.”
Ucapan Ki Jagabaya agaknya mampu menyusup ke setiap relung dalam jantung rakyat pedukuhan. Meskipun beberapa orang tidak dapat menerima pendapat Ki Jagabaya, mereka tetap membubarkan diri.
Alis Ki Wijil dan Nyi Wijil berusaha saling terkait di tengah-tengah. Agakmya mereka sedang menduga-duga tentang Padepokan Tanpa Bayangan.
“Apakah Kakang pernah mendengar nama itu?” bertanya Nyi Wijil.
“Aku tidak yakin dengan pasti. Namun begitu, kesunyian yang kita jumpai saat memasuki pedukuhan ini berhubungan dengan nama itu tadi,” Ki Wijil menjawabnya lalu beringsut maju setapak.