Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 7 Taring yang Mengancam

Taring yang Mengancam Pajang 10 – Hari Baru di Balik Ancaman

Salah seorang anak buah Mpu Rawaja kemudian berjongkok lalu menggetarkan bibirnya menirukan suara burung gagak. Ia membuat nada yang hanya dapat dikenali oleh orang-orang Ki Juru Manyuran. Keadaan lalu menjadi sunyi ketika ia berhenti bersuara. Sekejap kemudian, ia mengulangi perbuatannya itu untuk beberapa lama. Maka kemudian terdengar tiga suitan melengking berturut-turut memecah malam. Demikianlah dua orang pengamat Ki Juru Manyuran keluar dari persembunyiannya dan menemui Mpu Rawaja yang berdiri di tengah jalan.

Beberapa kata ringan mereka saling katakan, lalu kelompok Mpu Rawaja melanjutkan perjalanan membelah malam bersama dua pengamat yang menjadi sekutunya.

Dalam waktu itu, Ki Juru Manyuran telah menunggu di pendapa rumahnya bersama Ki Marta. “Kita tidak boleh melepaskan pengamatan terhadap orang-orang Padepokan Sanca Dawala, Ki Marta,” kata Ki Juru Manyuran. “Diakui atau tidak, sekumpulan orang dalam jumlah besar akan mengundang pertanyaan orang-orang sekitar pedukuhan ini. Dengan demikian, kita harus secepatnya menjalankan rencana setapak demi setapak dalam waktu yang singkat.”

“Lalu bagaimana dengan kehadiran sekelompok pasukan berkuda dari kotaraja?” bertanya KI Marta.

loading...

“Pasukan berkuda itu akan menjadi urusan Mpu Rawaja,” darah Ki Juru berdesir lebih cepat. Sebenarnya ia dengan cermat membuat perhitungan dari banyak segi, namun hadirnya Ki Nagapati di Pajang benar-benar di luar perkiraan mereka sebelumnya. “Kadang-kadang aku berpikir untuk kembali mengajak Ki Gede, namun seringkali keraguan mencuat dalam dadaku jika aku berpikir tentang itu.”

Ki Marta menghela napas panjang, ia lurus menatap orang yang berpengaruh di Pajang itu sambil berkata, ”Mungkin memang lebih baik pasukan Ki Nagapati dihadang oleh orang-orang Mpu Rawaja.”

Ki Juru berpaling padanya kemudian berucap, ”Tetapi kita harus dapat menyamarkan kehendak kita secara halus karena Mpu Rawaja bukan orang bodoh. Kita tidak menampakkan bahwa kita sedang memperalatnya” Ki Juru kemudian berdiri lurus menghadap jalan menuju rumahnya. Ia meneruskan ucapannya, ”Aku mendengar langkah kaki banyak orang. Sepertinya rombongan itu telah berada beberapa puluh langkah dari sini.” Ia berjalan menuruni pendapa, namun beberapa langkah kemudian berhenti lalu berkata pelan, ”Kita akan hancurkan mereka apabila pasukan kita telah menguasai keadaan sepenuhnya.”

Ki Marta yang mengikutinya pun mengangguk-anggukkan kepala. “Dengan satu syarat tentunya, Ki Juru.”

Ki Juru Manyuran menundukkan wajah tapi tidak segera memberi tanggapan. Kemudian terdengar ia berdesis pelan,  ”Aku yakin kita akan dapat menguasai Pajang. Apabila kita sudah merampungkan segala urusan dan Pang Randu dapat dicegah agar tidak datang ke tempat ini, maka itu akan memudahkan kita untuk melenyapkan mereka.”

“Ini akan menjadi pekerjaan berat. Saya tidak mengetahui secara pasti setiap kepentingan yang ada di sekitar Pajang. Tetapi kepentingan itu jelas mempunyai watak yang bertolak belakang, bahkan mungkin saling berlawanan satu sama lain,” berkata Ki Marta.

“Apapun itu, yang pasti adalah kita tidak boleh membiarkan ada orang merintangi jalan yang telah disiapkan sejak lama.” Ki Juru Manyuran menata perasaan saat salah seorang pengamatnya terlihat berjalan mendahului rombongan Mpu Rawaja.

 

 

Tiga ekor kuda itu menderap kencang membelah kepekatan malam. Bintang-bintang mulai beranjak dari kedudukan masing-masing dan langit masih bertaburan kerlip pada setiap ruangannya.

Bondan yang berada paling depan seperti tidak merasakan angin malam yang dingin. Sekali-kali Bondan menengadahkan wajah seperti tidak ingin melewatkan setiap jengkal pemandangan malam yang terpapar di atasnya.  Walau demikian, Bondan sama sekali tidak mengurangi laju kudanya. Ki Swandanu, yang diam-diam memperhatikannya dari belakang, menarik napas panjang ketika memikirkan Pajang yang berada dalam keadaan rumit. Tidak seperti sebelumnya ketika Ki Swandanu sering memintanya bergerak agak lambat, tapi karena sebuah alasan, utusan Resi Gajahyana itu tidak keberatan berpacu di tengah malam. Ia setuju bahwa mereka harus segera tiba di Pajang lalu membicarakan masalah ancaman yang akan datang dari Ki Juru Manyuran dan orang-orang Mpu Rawaja.

Sedangkan Nyi Kirana dapat mengerti landasan pemikiran Bondan yang memacu kuda sangat cepat. Ada sedikit kekhawatiran dalam hati Nyi Kirana bahwa Bondan yang belum sepenuhnya pulih akan membuat luka dalam yang dideritanya menjadi semakin lama untuk sembuh. Namun demikian, seandainya ia mengingatkan, seruannya tidak akan diperhatikan oleh murid Resi Gajahyana itu.

“Sepertinya percuma jika aku mengingatkannya sedangkan ia tahu bahwa tubuhnya masih belum pulih. Oh, Bondan, engkau tidak  akan peduli dengan keselamatanmu sendiri. Baiklah, aku tidak akan meninggalkanmu meski sesaat.” Nyi Kirana lurus menatap bagian belakang tubuh Bondan yang berjarak tiga langkah di depannya.

Kecepatan yang ditempuh Bondan beserta dua orang yang menemaninya berjalan seiring dengan cahaya bintang-bintang yang mulai pudar. Bondan yang telah mengenali daerah yang dilaluinya kemudian berbelok menuju sebuah telaga kecil. Ia memutuskan untuk memberi istirahat pada kuda-kuda mereka dan agaknya Ki Swandanu serta Nyi Kirana tidak keberatan dengan keputusan Bondan. Maka kemudian mereka beristirahat beberapa saat di tepi telaga sekaligus memberi ke-sempatan kuda-kuda mereka untuk minum.

“Ki Swandanu, mungkin beberapa saat lagi kita akan tiba di Pajang. Saya kira kita akan melewati gerbang kota pada saat sinar matahari mulai membayang,” kata Bondan.

Ki Swandanu mengangguk pelan. Lalu ia berkata ,”Kita tidak mengetahui waktu keberangkatan orang-orang Sanca Dawala, jadi aku kira kita harus mencari terlebih dahulu tempat mereka bermalam.”

Dahi Bondan berkerut, katanya, ”Bukankah itu sudah jelas, Ki Swandanu? Maksud saya, mereka tentu akan bermalam di pedukuhan Ki Juru Manyuran.”

“Aku berpikiran seperti itu. Tetapi dengan menjadikan pedukuhan itu sebagai pusat gerakan tentu akan menjadi sebuah tontonan yang menarik bagi petugas sandi. Jadi aku kira orang-orang Sanca Dawala akan mengambil tempat di bagian luar Pajang,” kata Ki Swandanu yang sebenarnya juga kurang yakin dengan pikirannya sendiri. Ia berpaling pada Nyi Kirana sambil berharap perempuan setengah baya itu dapat memberi keterangan yang dapat membantunya membuat kesimpulan. Tetapi alangkah resah Ki Swandanu ketika ia melihat Nyi Kirana hanya menggelengkan kepala.

Nyi Kirana yang tidak ingin menjadi tempat mencari jawaban kemudian bangkit lalu memeriksa keadaan kuda mereka. “Marilah! Kita lanjutkan perjalanan, aku kira kuda-kuda ini sudah cukup untuk mengendurkan otot-ototnya,” berkata Nyi Kirana seraya melompat ke atas punggung kuda. Maka sejenak kemudian mereka bertiga kembali meneruskan perjalanan dalam pekatnya kabut lereng Merbabu.

Saat fajar merebak dan bintang semakin tenggelam, mereka bertiga telah mencapai jalanan utama menuju gerbang kota Pajang. Beberapa orang berjalan beriringan di sepanjang jalan menuju ladang dan sawah yang terletak pada dua sisi jalan. Sebagian orang sudah terlihat mulai pekerjaan untuk mengatur aliran air, beberapa pedati merayap pelan pun tampak beriringan menyusur jalan menuju tempat perdagangan.

Saat itu Bondan tidak melihat adanya kesiagaan yang seharusnya mulai dilakukan oleh para prajurit Pajang. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya pada Resi Gajahyana. Untuk sementara waktu, Bondan ingin menjauh dari persoalan yang sedang berkembang di Pajang. Ia ingin menemui gurunya lalu berbicara mengenai banyak hal.

Wedaran Terkait

Taring yang Mengancam Pajang 9

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 8

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 11 – Pertemuan dengan Resi Gajahyana

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 7

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 6

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 5

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.