Bentak nyaring Ki Sarjuma, yang merontokkan kekuatan Sayoga, menembus dataran yang ditumbuhi banyak pohon dan semak. Lengking suara yang serupa dengan Aji Gelap Ngampar menggapai pendengaran setingkat dewa.
“Perkelahian tidak seimbang ini harus dihentikan!” tiba-tiba satu suara datang menggelegar. Suara yang mengejutkan setiap binatang yang dilintasinya. Sebuah bayangan berkelebat sangat cepat, secepat sambaran petir, secara mengejutkan memasuki lingkar perkelahian. Menyusul di belakangnya, sejumlah orang dengan tangkas menyusun barisan rapi dalam sebuah gelar serang.
“Empu Wisanata!” gumam Sayoga dengan jemari semakin erat menggenggam pedangnya. Ia dapat mengingat lelaki perkasa yang memutuskan bermukim di Tanah Perdikan. Terlebih ketika mereka melewati bersama pertempuran melawan pengikut Ki Saba Lintang. Kesan kuat tentang Empu Wisanata begitu menggurat dinding jantung Sayoga.
Atas permintaan Ki Gede Menoreh, Empu Wisanata melakukan pengamatan di sekeliling wilayah pedukuhan induk. Ia disertai empat orang pengawal yang dipilih oleh Ki Gede. Bentak suara Ki Sarjuma pun tiba di telinga tajam Empu Wisanata, berkat kecermatannya mencari asal suara, maka mereka dapat mencapai tempat Sayoga berkelahi. Empat orang pengawal Menoreh menyusun gelar sederhana, mengurung Ki Malawi. Mereka tanggap dengan keadaan yang cukup berbahaya bagi Sayoga, perkelahian segera terjadi. Maka dengan bekal latihan serta kerja sama yang baik di antara para pengawal, sedikit demi sedikit para pengawal mencoba menjauhkan Ki Malawi dari tempat Sayoga.
Kedatangan Empu Wisanata memberi keleluasaan bagi Sayoga untuk menata dirinya kembali. Dengan tubuh lebam dan darah di banyak tempat, ia bangkit.
“Sepertinya tidak mungkin mengerahkan Serat Waja. Bagian dalam tubuhku serasa remuk redam,” desis pelan Sayoga pada dirinya sendiri. Tetapi ia memutuskan untuk menyerahkan kendali pada Empu Wisanata.
“Menepilah, Ngger. Pastikan langkah kakimu dapat mencapai kediaman Ki Gede Menoreh,” kata Empu Wisanata setengah berbisik. Lantas ia berpaling pada Ki Sarjuma. “Seseorang dengan nama menjulang tinggi secara memalukan mengeroyok seorang bocah yang baru dapat berjalan,” ucap Empu Wisanata memancing kemarahan Ki Sarjuma. Tetapi lawannya tidak membalas kata dengan kata. Kemarahan Ki Sarjuma meledak lebih dahsyat dari sebelumnya. Segera saja ia mengerahkan segenap kekuatannya. Telapak tangannya lurus dengan jemari rapat seperti pedang menyambar urat leher Empu Wisanata dalam gebrakan pertama. Sejujurnya, ia menyesal karena tidak segera menghabisi nyawa Sayoga. Sosok Empu Wisanata baginya sekarang adalah mimpi buruk. Selain bayangan bahwa rencana mereka akan segera terbuka dan diketahui oleh Mataram, Ki Sarjuma merasa ia tidak dapat keluar dari perkelahian dengan cara wajar.
Menjadi pemenang dalam perang tanding adalah keberhasilan telah digapai olehnya untuk sekian lama. Tetapi kali ini, ia tidak berpikir untuk menang. Baginya, keselamatan adalah hal paling penting! Ia telah mendengar kemampuan pengawal Menoreh yang mungkin akan datang lagi dengan jumlah lebih banyak. Sementara Empu Wisanata bertandang dengan tubuh lebih bugar. Usai melepaskan diri dari terjangan Ki Sarjuma yang menghebat, Empu Wisanata cepat menata kedudukan dirinya. Usianya tak lagi muda, kecepatan telah berkurang namun pergeseran kakinya telah menjadi pertahanan yang sangat kuat. Empu Wisanata tidak banyak membenturkan kekuatan, ia tidak ingin menuruti keinginan lawannya yang seolah tergesa-gesa meski iti hanya sebuah kesan!
Ki Sarjuma memang berniat membenturkan kekuatan agar lebih cepat mengetahui tingkat kepandaian seterunya. Namun Empu Wisanata begitu cerdik, ia mampu menghindari benturan dengan gaya bertarung yang luwes dan indah. Empu Wisanata adalah penari di antara mendung yang berarak melintas di atas perbukitan Menoreh. Ya! Itulah tata gerak Empu Wisanata yang ia kembangkan melalui pembicaraan panjang dengan Ki Gede Argajalu. Langkah kaki yang bergeser dengan kecepatan beragam telah meredam keganasan Ki Sarjuma. Selang sepuluh atau enam belas langkah dari mereka, empat pengawal Menoreh mulai merasakan kebuasan Ki Malawi. Jumlah pengawal Menoreh tidak dapat dikatakan sebanding dengan ketinggian ilmu Ki Malawi. Mereka kedodoran menjaga keseimbangan meski belum ada yang terlempar keluar dari lingkar pertarungan.
“Seorang petarung tidak semestinya memberi tempat bagi lawannya untuk bernapas lebih longgar!” Geliat hati Ki Malawi memancar keluar dari balik kelopak matanya.Ia bertekad untuk membunuh semua orang, termasuk Sayoga!’