“Tidak. Ki Jagabaya benar-benar ingin memindahkan Sayoga ke tataran lebih tinggi. Jika ia mau, ia dapat menggunakan tenaga cadangan saat ini. Dan itu membawa akibat buruk bagi Sayoga. Lihatlah, Ki Jagabaya merubah arus serangannya menjadi lebih lengkap dan lebih luas jangkauannya,” kata Ki Wijil memusatkan perhatiannya pada gerak Ki Jagabaya.
“Syukurlah ! Aku sama sekali tidak mengira sebelumnya,” kata Nyi Wijil perlahan.
Perlahan dan penuh kepastian arus gerak yang lancar mengalir dari Ki Jagabaya telah menghimpit Sayoga. Kini Sayoga hanya mampu menangkis satu dua pukulan dan tendangan Ki Jagabaya yang menyambar dari segala arah. Meski begitu, Sayoga justru lebih dalam mengenali watak ilmu Serat Waja.
Tiba-tiba Ki Jagabaya menjatuhkan tubuh lalu menggunakan kedua tangannya untuk menapak maju, ia memburu Sayoga dengan rangkaian tendangan yang tiada henti. Sayoga benar-benar tidak dapat menduga arus serangan yang sedang melanda dirinya. Kedua kaki Ki Jagabaya datang bergantian dari atas, dari bawah dan sesekali menebas dari samping kanan kiri lambungnya. Sayoga seolah merasa tertindih ular raksasa dengan sengatan-sengatan yang mematikan. Semasa Sayoga masih berusaha melepaskan diri dari tekanan sengit Ki Jagabaya, tubuh Ki Jagabaya berputar-putar tanpa henti mengalirkan tendangan demi tendangan.
Ki Jagabaya telah merasa cukup memberi pengajaran bagi Sayoga, lalu ia menapak kedua tangannya untuk mendorong tubuhnya melenting ke atas. Selagi kakinya mengalir dari bawah menuju bagian belakang, Ki Jagabaya menghantam dada Sayoga dengan kedua telapak tangan terbuka. Tidak ada yang dapat diperbuat Sayoga selain menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tubuh Sayoga pun terjengkang roboh, sejurus kemudian ia telah tegak berdiri. Meski begitu ia tidak menderita luka-luka yang membuatnya menderita. Sakit yang dirasakan olehnya telah lenyap dalam sekejap. Tidak terlihat memar ataupun darah yang mengucur dari sela-sela bibirnya, agaknya ilmunya sedikit memanjat selapis lebih tinggi.
Ki Jagabaya telah menghentikan arus gerakannya yang seperti pusaran angin yang melilit setiap benda yang berada dalam jangkauannya.
“Angger Sayoga, marilah kita sudahi perkelahian ini. Aku sudah cukup melemaskan otot dan tulang dengan olah gerak malam ini,” berkata Ki Jagabaya. Lalu ia melihat ke arah Ki Wijil,” Marilah, Ki Wijil. Kalian dapat beristirahat di banjar malam ini. Sementara besok pagi-pagi kita berbincang luas di rumahku.”
Ki Wijil membungkuk hormat lalu mengajak serta istrinya untuk berkemas. Sayoga terdiam kebingungan melihat sikap ayahnya dan Ki Jagabaya. Sementara itu Kang Minto dan para pengawal kademangan kembali terhenyak dengan perubahan sikap Ki Jagabaya. Mereka seperti melihat dua sosok Ki Jagabaya yang berlainan. Di saat-saat terakhir itu mereka melihat Ki Jagabaya telah bersikap seperti biasa dalam keseharian. Sedangkan di awal pertemuan dengan keluarga Sayoga, Ki Jagabaya justru menunjukkan kegarangan yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
Seseorang yang berdiri di dekat Kang Minto bertanya, ”Kakang, apa yang terjadi dalam diri Ki Jagabaya?”
Kang Minto hanya menggelengkan kepala. Ia masih belum berhenti mengagumi ketinggian ilmu Ki Jagabaya yang jarang sekali dilihatnya. Selain itu juga ketangkasan Sayoga telah membawa kesan tersendiri dalam hatinya. Kang Minto cepat menguasai diri, lalu katanya, ”Marilah kita bantu Ki Wijil dan keluarganya menuju banjar. Sementara yang lain dapat menuntun kuda=kuda mereka.” Beberapa orang bergegas memadamkan api dan sebagian menarik kekang kuda menuntun beriringan menuju banjar pedukuhan.
Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan dari kedalaman hutan kecil itu. Gerimis masih turun membasahi tanah sekitar pedukuhan yang terletak di sebelah utara Kademangan Tegalrandu. Iring-iringan yang menyertai keluarga Sayoga berjalan perlahan menembus kepekatan malam.
Dalam pada itu Sayoga mendekati ayahnya, ”Ayah, apakah Ayah mengenali Ki Jagabaya?”
“Entahlah.”
“Apakah Ayah telah melupakan sama sekali atau sedikit ingat dengan nama Ki Jagabaya?”
“ Aku tidak yakin.”
Jawaban pendek dari Ki Wijil membuat Sayoga meraba dalam gejolak di hatinya. Namun begitu, ia sama sekali tidak curiga apabila Ki Jagabaya dan pengawal kademangan akan berbuat jahat. Dengan memindahkan wawasan tentang kebaikan orang, maka Sayoga pun dapat menenangkan hatinya. Tetapi ia meyakini jika ayah dan ibunya tentu akan berbuat sama dengannya bila keadaan menjadi tidak ramah bagi mereka.