“Menyeberang ke Songenep itu lebih mungkin dan masuk akal, Paman. Dibandingkan kembali ke Wringin Anom, bukan begitu Paman?”
“Aku tidak dapat membuat dugaan semacam itu atau lainnya. Segala sesuatu bisa saja terjadi dan oleh sebab itu lebih baik kalian dapat mencapai Jatipurwo sebelum malam menjelang.”
Bondan merasa tidak mengetahui wilayah yang menjadi bahan pembicaraan lebih memilih untuk menyimak percakapan yang terjadi.
Ken Banawa memutar kudanya lalu berkata, ”Aku akan pergi menemui Ki Nagapati. Bila aku belum datang hingga senja, maka pergilah kalian dan aku akan menyusul secepat mungkin.” Debu mengepul tipis lalu semakin tebal ketika Ken Banawa memacu kudanya lebih cepat.
*****
Hari menjadi semakin panas ketika matahari merambat naik menuju puncak bayangan. Pada saat itu Ki Rangga Ken Banawa telah tiba di gardu jaga barak prajurit Ki Nagapati. Seorang prajurit menuntun kudanya dan menambatkan di sebuah balok panjang yang menjadi batas halaman depan, sedangkan Ken Banawa bergegas menuju bangunan yang ditempati Ki Nagapati dengan diantar seorang prajurit bertubuh sedikit gemuk.
“Aku tidak melihat tanda pergerakan pasukan Kakang Nagapati. Lalu siapa yang mengatakan itu kepada Tuanku Mpu Nambi?” Pikir Ken Banawa pada saat ia berada di beranda depan. Sepanjang perjalanan dan selama beberapa hari, sapuan matanya tidak melihat adanya persiapan pasukan Ki Nagapati yang dikabarkan akan segera mendekati dinding kotaraja. Bermacam prasangka timbul dalam pikirannya, tetapi ia percaya pada firasat dan keyakinannya.
Tak lama menunggu di sebuah bangku kayu, Ki Nagapati kemudian menginjakkan kaki pada lantai beranda. Dengan tubuh yang masih basah oleh keringat, ia bertukar salam dengan Ken Banawa. Tak lama kemudian, keduanya segera berbicara tentang perkembangan kotaraja.
“Tidak! Aku sama sekali tidak berpikir untuk mengepung kotaraja. Dan jika benar Kakang Nambi memperoleh keterangan seperti itu, sebaiknya kita berdua selalu melihat punggungnya,” tegas Ki Nagapati.
“Tetapi seperti itulah yang saya dengar darinya,” Ken Banawa dengan mata menerawang keluar melampaui dinding halaman.
Ki Nagapati menarik napas dalam-dalam, ia mendesah, ”Siapa yang mampu mengguncang nalar kakang Nambi? Menurutku, sebenarnya tidak ada yang perlu disembunyikan oleh Mpu Nambi.”
“Ia tidak menutupi yang diketahuinya, Kakang. Tetapi, dalam pengamatan saya, Mpu Nambi tengah mengambil jarak dari seseorang di dalam istana.” Ken Banawa cukup berhati-hati dalam memilih kata-kata. Ia tahu kecerdasan Ki Nagapati dan kubu yang dibelanya, namun Ken Banawa sedang bersiaga apabila dinding dan lantai secara tiba-tiba dapat mendengar. Ken Banawa menggeser letak duduknya, ia bertanya, “Apa yang harus saya sampaikan pada Tuan Nambi?”
Pandang tajam Ki Nagapati membelah dada orang kepercayaan Mpu Nambi. Sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah, Ken Banawa. Aku akan membawa pasukanku dalam keadaan sunyi menuju Kahuripan saat matahari akan tenggelam. Dan aku minta kau katakan pada Bhre Pajang serta Gajah Mada, bahwa aku akan merebut Kahuripan dengan kedua tanganku ini.” Ki Nagapati mengepal tangannya dan rahangnya tampak mengeras.
Tak lama kemudian Ki Rangga Ken Banawa segera meninggalkan barak pasukan Ki Nagapati dan menuju kediaman Mpu Nambi. Secara singkat ia menerangkan pembicaraannya dengan Ki Nagapati dan penculikan Arum Sari. Mpu Nambi memandang Ken Banawa dengan sorot mata seakan-akan bertanya tentang sesuatu.
“Apakah semua ini berasal dari satu orang saja, Ki Rangga?”
Sambil mengangkat bahu, Ken Banawa berkata, ”Segala kemungkinan dapat saja terjadi, Tuan.”
“Baiklah, tuntaskan terlebih dahulu persoalan yang membelit Wringin Anom. Jika kau percaya dan yakin bahwa Ki Nagapati akan menghukum Ki Srengganan, maka aku percaya pada keyakinanmu itu.” Mpu Nambi bangkit dan berjalan mengantarkan Ken Banawa meninggalkan rumahnya.
*****
Saat matahari bergeser sedikit demi sedikit ke arah barat, delapan belas penunggang kuda terlihat mempercepat lari kuda-kuda mereka meninggalkan kotaraja. Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Setiap orang berada di dalam pikiran masing-masing. Bondan tidak sepatah kata pun menyatakan pendapatnya karena ia setuju dengan apa yang dikatakan Ken Banawa bahwa segala kemungkinan dapat saja terjadi. Rombongan ini mengambil jalan di tepi sungai Brantas agar juga dapat mengawasi lalu lalang perahu dan kapal.
Setibanya di bandar Bungkul, Ken Banawa telah menyusul rombongan ini lalu ia membawa mereka bergerak memutar melewati beberapa danau kecil. Dengan melintasi jalur tersebut, mereka akan memasuki daerah rawa-rawa dari sebelah selatan alas Jatipurwo.