Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 62 – Gondang Wates

Sewaktu Agung Sedayu menyatakan akan memilih Simbara sebagai peninjau keadaan di Randulanang, Sukra lagi-lagi mengernyitkan kening. Kerut di dahinya terlihat semakin bertambah. Dalam waktu itu, ia ingin bertanya alasan orang yang diseganinya itu. Namun, Agung Sedayu tidak memandang padanya, bahkan senapati itu berkata pada Simbara, “Aku mengenal kemampuanmu, baik sebagai kepala regu maupun pengawal. Ditambah kenyataan bahwa engkau adalah putra Ki Gandung Jati, maka aku harap engkau tidak keberatan mengemban kewajiban ini.”

Usia Simbara memang masih muda tetapi ia begitu pandai menguasai diri. Dengan tenang diterimanya tugas dari Agung Sedayu sambil berkata, “Saya tidak akan mengecewakan harapan segenap orang-orang kademangan.” Dalam hatinya, ia bersorak gempita. Betapa tidak, ia mempunyai kesempatan untuk membuktikan pada orang-orang Sangkal Putung bahwa tergantung pada seorang Agung Sedayu adalah sikap yang salah. Selain itu, Simbara berpikir mendapat peluang sangat baik untuk menunjukkan kemampuan pada Ki Demang Sangkal Putung bahwa ia cakap untuk memegang kepercayaan tinggi seluruh pengawal kademangan.

Hal berbeda justru muncul dari kedalaman hati Sukra. Mendadak muncul sebentang tanah persawahan yang kering kerontang. Bayang-bayang wajah Gendhis tiba-tiba sirna dan kabur dari hatinya. Bukan ia tidak dapat menerima, tetapi separuh harapannya adalah dapat memastikan bentuk wajah Gendhis yang terus mengikutinya hingga Ki Rangga berkeputusan lain! Ini bukan lagi harapan yang dapat dirawat dengan baik, keluh Sukra dalam hatinya. Namun demikian, sebagai seorang pengawal Tanah Perdikan yang pernah menerima tempaan khusus dari Glagah Putih, Sukra kembali berpegang teguh pada kedudukannya. Bahkan muncullah keinginannya untuk bersaing dengan Simbara yang sedari kehadirannya hanya memperlihatkan sikap angkuh, menurut Sukra. Anak muda Menoreh ini pun  melepas keliaran hatinya pada jalan pikiran yang telah dipenuhi petunjuk-petunjuk Agung Sedayu.

“Adalah kemungkinan jika orang-orang Raden Atmandaru masih berada di pedukuhan induk. Mungkin pula mereka sengaja tidak meninggalkan wilayah ini agar sewaktu-waktu dapat membunuh kita dari dalam. Untuk itulah, aku ingin kita berpegang pada keadaan semula,” kata Agung Sedayu kemudian.

loading...

Simbara menggerak-gerakkan dua bola mata, melirik dan membaca bahasa tubuh orang-orang yang belum dikenalnya. Sedikit curiga karena ia tidak mendapat kesempatan mendengar Agung Sedayu mengulang rencana, Simbara pun menempatkan pikiran-pikiran buruk pada kalimat demi kalimat Agung Sedayu.

“Sukra, engkau datang dari Tanah Perdikan, maka sepantasnya engkau bergabung bersama Sayoga di Gondang Wates. Demikian pula Sutiyasa dan Marsudi yang berasal dari Jati Anom, kalian berdua dapat menempuh jalur yang sama dengan Simbara sebelum berpisah di simpang empat sebelah luar pedukuhan induk. Temuilah Ki Untara, laporkan segalanya pada beliau.”

Agung Sedayu dapat merasakan detak jantungnya bergetar lebih keras. Harapannya, mudah-mudahan tidak ada halangan untuk rencana kali ini. Ia pantas untuk khawatir karena pengawasan Randulanang telah diserahkannya pada Simbara, maka ia menaruh harapan pada Sukra dengan segala kemampuan yang ada dalam diri anak muda itu. Agung Sedayu meminta Sukra untuk melakukan pengamatan pada kekuatan musuh di Gondang Wates, sedangkan Bunija telah dibekalinya siasat untuk mempertahankan pedukuhan dari terkaman Raden Atmandaru. Dan bilamana Sukra telah selesai dalam tugasnya, ia harus segera meninggalkan Gondang Wates lalu menuju Randulanang. Agung Sedayu mengambil keputusan sangat berani dengan limpahan wewenang pada Sukra untuk tugas yang biasa diemban oleh perwira muda Mataram.

Usai orang-orang menyatakan kesanggupan, Simbara bersikap lain. Ia berucap angkuh, “Saya akan menempuh jalan ke Randulanang seorang diri, Ki Rangga. Saya bukan anak kecil yang butuh ditemani setiap saat. Lagipula, saya sangat mengenal dengan baik keadaan sepanjang jalur yang akan saya lalui. Dengan begitu, apabila dua orang dari Jati Anom mempunyai kepentingan lain, maka mereka tidak akan terganggu dengan kehadiran saya. Ki Rangga, saya tahu betul kemampuan beregu maupun pribadi dari pengawal pedukuhan saya. Untuk itu, izinkan saya menjalankan siasat yang mungkin berbeda dengan Ki Rangga.”

Bunija serasa ingin menggampar mulut Simbara dengan tumit yang dapat digerakkan secara tiba-tiba. Sementara Sukra ingin melompat lalu memukul kepala Simbara tetapi segenap geram dua anak muda itu tiba-tiba tertahan oleh suara Agung Sedayu, “Oh, baiklah. Aku tidak keberatan dengan keputusanmu.”

Simbara sekonyong-konyong beranjak lalu minta diri sebelum Agung Sedayu memberi isyarat bahwa pertemuan dapat diakhiri. Sekejap ia tiba pada jalur yang berbeda dengan jurusan yang akan diambil dua orang Jati Anom. Seekor kuda telah ditambatkannya di sana. Simbara segera memacu kuda, menderap lebih cepat dari setiap binatang malam yang memburu mangsa.

Kemudian Agung Sedayu memandang bergantian pada dua orang Jati Anom disertai anggukan kepala. Sutiyasa dan Marsudi pun hanya menarik napas dalam-dalam. Dalam hati mereka pun terkejut dengan sikap deksura Simbara yang seolah tidak menganggap Agung Sedayu ada di tengah-tengah mereka! Bunija dan Sukra pun semakin marah dengan tangan mengepal keras.

“Biarlah. Biarlah ia berbuat semaunya selama kita masih berpegang teguh pada rencana,” ucap Agung Sedayu yang sepertinya tidak peduli dengan sikap Simbara. Ia bangkit, membubarkan pertemuan, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

Sejurus kemudian beranda pun lengang. Setiap orang telah mengambil jalan sesuai perintah Agung Sedayu.

Dua kuda memukul permukaan jalan, kemudian disusul sejumlah pengawal yang berjalan kaki dari tiga jurusan. Mereka menuju Watu Sumping. Di atas punggung kuda, Sukra dan Bunija menyimpan kesal dalam hati masing-masing karena tidak sependapat dengan Agung Sedayu. Kekesalan mereka berubah menjadi kegeraman yang dapat berubah wujud menjadi tandang yang menggiriskan bila mereka bertemu lawan. Namun mereka sadar bahwa setiap keputusan Agung Sedayu selalu mempunyai pertimbangan yang jauh dari pengamatan mereka.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.