“Mulai trawang-trawang, Pak.”
Bapak melanjutkan, “Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, maka jelas sudah bahwa empu sebagai pembuat keris menginginkan agar hasil karyanya itu selalu dapat ‘ngeker’ atau memagari, menghalangi, memperingatkan, dan mengendalikan sang pemilik secara aris atau tenang penuh kesabaran.
“Artinya, walaupun kita mempunyai kepandaian dan kekayaan tapi tidak boleh grusa-grusu dan harus menjauhi sifat suka pamer. Coba bayangkan, Nduk, betapa mulianya tujuan penciptaan sebilah keris itu.”
“Nggih, Pak. Sekarang saya tahu alasan Mbah Kung, Bapak dan orang-orang itu menyukai sebilah keris.”
“Tapi tentu saja, tidak semua orang mempunyai niat dan tujuan yang sama. Tidak pula memiliki hati dan pikiran serupa. Jadi jangan heran, jika suatu saat nanti kau temui keris menjadi sarana melakukan kejahatan karena berada di tangan orang yang keliru.
“Semua itu kembali pada hati dan tujuan sang pemilik, Nduk. Jika sudah lepas dari tangan empu, maka dalam perjalanannya, hitam putih keris itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab sang pemilik keris.”
“Jadi tanggung jawab empu terhenti sejak keris diberikan kepada pemiliknya nggih, Pak?”
“Betul, Nduk. Pasti kamu pernah mendengar cerita tentang keris ciptaan Empu Gandring yang memakan korban hingga tujuh turunan. Itu salah satu contohnya.”
“Nggih, Pak.”
“Maka dari itu, Nduk, melepas keris ini padamu tanpa pemahaman yang cukup dan kecintaan yang tulus, hanya akan mendatangkan was sumelang di hati bapak. Bukan bapak tidak percaya padamu, tapi karena bapak menaruh harapan lebih padamu.”
“Sejujurnya, saya lebih senang jika keris itu Bapak saja yang rawat. Saya takut dengan memiliki keris itu justru akan menyebabkan sesuatu yang buruk dalam diri saya, seperti munculnya sikap sombong yang sesungguhnya dekat sekali dengan urat nadi seorang wanita.”
“Kecemasanmu terlalu berlebihan, Nduk. Bapak mengenalmu seperti mengenali diri bapak sendiri. Kamu tahu kenapa keris selalu dislempitne di bagian belakang tubuh? Hal itu mengajarkan kita untuk menyimpan atau mengesampingkan ego dan amarah. Agar kita dalam hal berpikir, berpendapat, dan bertindak dapat lebih bijaksana dan dapat selalu menjaga unggah ungguh lan tepa selira.”
Aku kembali merasakan tetes air merembes di celah-celah hatiku. Sejuk dan segar. Ucapan yang keluar dari lisan bapak nyaris tidak pernah mencipta panas, senantiasa adem dan penuh pengertian. Kecuali pada satu hal. Rendra.
Aku menghela napas berat. Mengingat Rendra selalu menimbulkan sesak. Aku merasa terdesak dalam sebuah lorong sempit dan pengap. Tidak ada udara yang bergerak. Namun anehnya aku tetap bertahan. Bergeming dalam sesak yang sanggup mencekik setiap saat.
Udara yang membeku pelan menegurku, “Keluarlah dari sini, Senggani. Apa yang kau tunggu? Sia-sia saja kau menaruh harap pada seseorang yang tidak memiliki tujuan bahkan untuk dirinya sendiri.”
Aku tetap bergeming. Menatap kosong pada dinding lorong yang semakin miring.
1 comment
[…] “Jadi tanggung jawab empu terhenti sejak keris diberikan kepada pemiliknya nggih, Pak?” “Betul, Nduk. Pasti kamu pernah mendengar cerita tentang keris ciptaan Empu Gandring yang memakan korban hingga tujuh turunan. Itu salah satu contohnya.” “Nggih, Pak.” Sapa Temen Kang Bakal Tinemu 6 […]