Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 15 – Kesiagaan Sukra Menghadang Penunggang Kuda

“Seperti yang kau lihat,” jawab Parijoto sambil menyorongkan tangannya yang terikat seolah-olah ingin menunjukkan keadaan pada Bunija.

Bunija hanya memandang Parijoto dengan tatap mata dingin. Setelah menghela napas, dia berkata, “Sepertinya kau sudah melihat kedudukan teman-temanmu yang akan datang untuk membebaskan kalian.”

Parijoto beradu pandang dengan Bunija sambil bertanya dalam hati, “Bagaimana dia dapat menduga itu?”

“Bagus,” ucap Bunija sambil memegang bahu Parijoto, “aku sudah mendapatkan jawaban dari sinar matamu.”

loading...

“Pembual,” tukas Parijoto.

“Kita lihat saja, apakah kawan-kawanmu benar-benar mempunyai keberanian untuk datang sebagai laskar pembebasan atau sudah menjadi nasibmu mendapatkan kebohongan? Kita hanya dapat menunggu,” ucap Bunija sebelum meninggalkan Parijoto.

Dalam waktu itu, Parijoto membayangkan andaikan kawan-kawannya datang menyerbu rombongan Bunija di bagian tengah jalur kotaraja dan pedukuhan induk Sangkal Putung, maka pertempuran akan berlangsung sangat sulit jika mereka tidak segera menyelesaikan dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, Parijoto membesarkan harapan bahwa ada orang berkepandaian tinggi di antara pasukan pembebasan yang dikirim Ki Garu Wesi. Bila mereka bertempur sedikit lebih lama, maka bantuan dari kotaraja atau dusun-dusun sekitar wilayah perang pasti akan datang melibas mereka.

Ki Sarjuma dapat melihat rombongan Bunija yang berhenti di bagian tengah. Seorang pemimpin kelompok merayap menghampirinya kemudian bertanya, “Apakah sudah masuk waktu sekarang?”

Ki Sarjuma menggeleng. “Mereka masih belum berada di dalam jangkauan anak panah. Bahkan bila kita menyerbu pada jarak selebar ini, orang-orang itu akan mudah menyusun perthanan dan membela diri. Yang kita perlukan adalah kelengahan mereka karena kita mengacu pada kelebihan serangan kilat.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk, lalu bertanya lagi, “Apakah jumlah kita sebanding dengan mereka?”

“Tidak perlu takut,” sahut Ki Malawi yang turut mendengar percakapan itu. “Sekali pun mereka berjumlah lebih banyak, tapi itu akan terbagi karena kewajiban menjaga tahanan. Itu akan menjadi keunggulan kita yang lain.”

“Oh, mengerti,” ucap pemimpin kelompok itu kemudian mengundurkan diri.

Namun demikian, Ki Sarjuma memupuk kesabaran lagi karena Bunija ternyata berhenti lebih lama dari yang diperkirakannya. Bahkan terbersit rasa khawatir dalam hatinya bila Bunija sudah mengetahui keberadaan mereka, lalu berhenti hingga fajar merekah. “Itu adalah keadaan terburuk dan aku harus membatalkan serangan,” ucap Ki Sarjuma dalam hati. Walau demikian, Ki Sarjuma tidak larut dalam perasaannya. Dia masih dapat menjaga diri dan pasukannya dalam kesiagaan penuh.

Sebenarnya mereka semua – pengawal kademangan, laskar Ki Sarjuma dan Agung Sedayu – sedang menunggu Bunija dan rombongannya masuk dalam jangkauan masing-masing. Tiga pihak itu mempunyai pertimbangan dan tujuan yang berbeda-beda. Maka, setiap orang pun merasakan dada yang berdesir lebih kencang dari biasanya.

Agung Sedayu pun harap-harap cemas jika Bunija memilih untuk menunggu  fajar lalu meneruskan perjalanan yang tinggal selontaran batu. Seandainya itu terjadi, maka dia harus mengurungkan niat menjenguk keluarganya sambil mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan agar tidak ada celah bila sewaktu-waktu ada perintah harus segera ke Gunung Kendil. “Sebenarnya aku dapat berharap pada kakang Untara untuk pertahanan Sangkal Putung. Tapi aku pun membutuhkan Dharmana untuk menyiapkan siasat yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasukan Jati Anom,” ucap Agung Sedayu dalam hati.

Waktu terus mengapung hingga melewati pertengahan malam. Mendung berayun di atas angin malam yang melaju ke bagian timur. Kecipak air terdengar dari parit-parit kecil yang mengitari persawahan.

Sejenak kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda dari arah pedukuhan. Dengan tanda-tanda melalui gerakan tangan, para penunggang kuda meminta agar penghalang segera disingkirkan. Pengawal kademangan yang bersiaga di gardu jaga pun bergegas menggeser bambu-bambu yang melintang. Empat penunggang kuda dengan tanda yang menunjukkan mereka adalah prajurit dari Jati Anom melintasi gardu jaga dengan wajah tegang. Dalam sekejap mata, para penunggang kuda seperti terbang melewati para penjaga kademangan. Setelah melewati regol pedukuhan, mereka pun  menjejak jalan yang mengarah ke kotaraja. Itu tidak seperti biasanya bila mereka bertemu atau melewati pengawal atau peronda yang bertugas. Hubungan pengawal kademangan dan prajurit Mataram di Jati Anom begitu dekat. Mereka saling sapa dan berkunjung, tapi pada malam itu segalanya berubah!

Para penunggang kuda itu mencongklang dengan senyap. Mereka tidak memperdengarkan suara dari bibir yang mengatup rapat.  Seolah dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan, mereka menghambur cepat menuju arah kotaraja. Itu berarti mereka akan berpapasan dengan rombongan Bunija.

Agung Sedayu menyaksikan itu dengan hati tercekat. Dalam benaknya, dia bertanya, “Apakah itu bantuan dari Jati Anom? Mengapa mereka tidak mengurangi kecepatan sama sekali saat melewati gardu jaga? Andaikata ada sesuatu yang sangat mendesak sedang terjadi di kotaraja, mengapa mereka justru mengambil jalan memutar?”

Penglihatan tajam Agung Sedayu yang terbantu Sapta Pandulu pun menembus malam yang pekat lalu memberi jawaban atas pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Semakin nyatalah kemudian bagi Agung Sedayu saat empat penunggang kuda itu berjarak lebih dekat dengannya. Sebagai orang yang yang lebih dua puluh tahun berada di dalam keprajuritan serta terlibat langsung dengan segala yang ada kaitannya, Agung Sedayu melihat kejanggalan pada tanda-tanda keprajuritan yang melekat pada pakaian mereka. Selanjutnya Agung Sedayu yakin bahwa empat orang itu adalah lawan yang menyamar! Sebatang panah sendaren dilepaskannya lagi sebagai tanda bagi Sukra dan Bunija bahwa ada bahaya yang mendekati mereka.

Keduanya, Sukra dan Bunija, mengerutkan kening sambil bertukar pandang.

“Tidak terlihat sesuatu pun yang mencurigakan,” gumam Sukra.

Bunija memusatkan segenap perhatiannya, lalu berkata lirih, “Ada derap kuda yang terdengar meski samar-samar.”

Sukra mengangguk lalu mengalihkan tatap matanya pada jurusan ke kotaraja. Dia berkata, “Sepertinya mereka sedang mengarah ke arah kita. Mungkin sebentar lagi akan tiba di sini. Bisa jadi itulah bahaya yang akan mendatangi kita.”

“Inilah arti panah sendaren yang terakhir,” ucap Bunija lalu bergegas mengatur pengawal kademangan dengan susunan tertentu sebagai persiapan menghadapi segala kemungkinan.

Mereka, para pengawal kademangan, tidak bertanya pada Bunija tentang alasan perintah itu. Mereka percaya sepenuhnya dan paham dengan keadaan. Ketegangan segera memuncak. Walau agak merasa berat pada saat-saat menjelang benturan karena juga harus memerhatikan keselamatan tawanan, para pengawal Sangkal Putung mampu memaksa diri hingga batas tertinggi kesabaran dan kesadaran mereka. Sementara para tahanan mengikuti segala pergerakan pengawal  dengan tatap mata penuh harap. Sebagian di antara tawanan mencoba mengeluarkan kata-kata yang ditujukan untuk merusak perhatian dan menjatuhkan semangat orang-orang Sangkal Putung.

Seorang dari pengawal kemudian berkata, “Diamlah! Sebenarnya kami sedang bersiap untuk mengantarkan kalian memasuki gerbang dunia lain.”

Tapi pengawal yang lain memukulkan pedang kayu pada tahanan yang berkata buruk. Kemudian pengawal itu berucap, “Kami dapat membuang mayat kalian di persawahan atau ke dalam hutan. Tapi pemimpin kami bukan orang yang kejam dan buas seperti kalian.” Lalu dia memukul mereka sekali lagi.

Bunija melihat itu semua lantas meminta seluruh pengawal tidak perlu menghiraukan kata-kata yang dilontarkan para tahanan. “Mereka sudah berputus asa, jadi ucapan mereka pun hanyalah busa-busa yang segera musnah,” tutup Bunija.

Seperti yang sudah-sudah, setiap kali Bunija membuka gelar, maka Sukra pun segera menempatkan diri sebagai bagian yang seakan-akan terpisah. Pada saat itu, Sukra melesat maju kemudian berdiri paling depan menghadang para penunggang kuda yang berderap semakin mendekat. Sedangkan teman seperjalanannya turut mendampingi dengan lutut merendah dan berjarak selangkah di belakang Sukra.

Di belakang mereka, sebagai pelapis, ada tiga pengawal kademangan lalu diikuti lima orang lagi yang bersiap dengan senjata tumpul di tangan. Sementara Bunija sendiri berada di pertengahan antara pedati tawanan dan barisan paling belakang. Dari kedudukannya, Bunija memandang Sukra dengan hati bergetar hebat. Betapa anak muda itu sudah bersiap mempertaruhkan segalanya meski dia bukan orang Sangkal Putung. Pada malam itu, Bunija berharap para pengawal kademangan tidak terlepas dari ikatan gelar. Andaikata mereka tumbang dan tawanan terlepas dari tangan, Bunija merasa bangga karena kecintaan para pengawal pada tanah kelahiran mereka.

Jarak antara penunggang kuda dan Sukra sudah dekat dan semakin dekat tapi Agung Sedayu masih menunggu pergerakan orang-orang yang dibayanginya. Senapati pasukan khusus itu yakin dengan kemampuan Sukra dan kawan-kawannya untuk menghalau para penunggang kuda, sedangkan kekuatan dan kemampuan orang-orang yang bertiarap masih begitu gelap untuk diperkirakan olehnya. Dengan pemikiran itu, Agung Sedayu cenderung tetap menunggu. Selain untuk menjebak lawan, dia pun dapat membuat perkiraan jalur yang akan digunakan mereka saat melarikan diri.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.