Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 11 Bulak Banteng

Bulak Banteng 2

Ubandhana menghentikan langkah. Dari belakang teman jalannya, ia bertanya, “Tetapi mengapa Tuan tidak pergi saja ke Alas Cangkring?”

“Justru karena Mpu Gemana terbunuh maka aku datang ke Bulak Banteng. Tidak mungkin bagiku bersembunyi di padepokan yang berada dalam pengawasan prajurit dari kotaraja. Sementara di Bulak Banteng ada seorang teman yang senang jika kita dapat bekerja sama merebut kotaraja,” sahut Ki Cendhala Geni tanpa berpaling.

“Oh, siapakah ia?” tanya Ubandhana yang memang tidak mengenal orang yang dimaksud.

“Dulu ia seorang senapati dalam pasukan Jayakatwang. Kehancuran bala tentara Kediri akhirnya memaksanya untuk menepi. Kemudian ia memilih Bulak Banteng untuk mengumpulkan kekuatan yang berserakan. Namun kematian Mpu Gemana ternyata mengusik ketenangannya.” Ki Cendhala Geni berhenti sejenak sambil memandangi kapaknya.

loading...

Ia melanjutkan, “Beberapa hari yang lampau, ia mengirim utusan untuk menemuiku dan bertanya tentang kebenaran berita kematian Mpu Gemana. Dan ia juga menawarkan kepadaku supaya turut bergabung dengannya, menuntut balas kematian Mpu Gemana sekaligus menggantikan Jayanegara dengan orang lain yang berada di kisaran kotaraja. Yah, orang ini bernama Ki Sentot Tohjaya.” Ki Cendhala Geni mengakhiri penjelasannya.

“Ki Sentot Tohjaya?” desis Ubandhana. Batinnya berkata, ‘aku pernah mendengar nama itu.’

“Engkau tidak mengenalnya jadi.. aku pikir agaknya engkau memang pantas menjadi seorang rangga di pasukan Ki Sentot,” derai tawa Ki Cendhala Geni sambil melirik Ubandhana yang sungguh-sungguh menyimak.

Lalu mereka tertawa sambil melangkahkan kaki, membelah rumput ilalang, menuju jalan setapak yang akan membawa mereka ke padukuhan Bulak Banteng. Beberapa lama kemudian mereka telah melihat sejumlah rumah beratap ijuk di luar padukuhan. Sambil berjalan melintasi pategalan yang ditumbuhi ubi dan ketela, mereka berdua mengambil tempat pengamatan yang cukup terlindung dari sinar matahari. Sederet pohon pisang yang seperti berbaris di sepanjang jalan mengaburkan mereka dari penglihatan orang.

“Kita akan memasuki padukuhan induk Bulak Banteng selepas senja.”

“Hmm, baiklah. Memang lebih baik sedikit orang yang tahu tentang kehadiran kita di tempat ini, Tuan.”

Sejenak kemudian kedua orang ini lantas merebahkan diri di atas rumput kering yang berada di sekitar pohon pisang di tepi jalan. Parit yang mengalir di bawah mereka ternyata cukup jernih untuk sekedar membasuh tangan dan muka. Tubuh dua orang ini mengalami kelelahan setelah pertempuran menjelang dini hari sebelumnya.

“Kita bergantian. Aku yang pertama, bangunkan aku jika matahari barat sudah menyilaukan mata,” kata Ki Cendhala Geni sembari memiringkan tubuhnya.

“Baiklah,” kata Ubandhana dengan muka masam. Lalu ia bangkit untuk mengamati sekeliling.

 

Sementara itu, Bondan dan kelompok yang dipimpin Ra Caksana mulai menyusuri sungai kecil yang melintas di tepi Alas Jatipurwo. Bondan dan Ra Caksana sepakat untuk menyebar. Setelah menyeberangi jembatan, mereka berpencar dalam dua atau tiga kelompok kecil. Keduanya membagi kekuatan menjadi dua kelompok kecil dan mulai secara teliti menelusuri jejak-jejak pelarian Ki Cendhala Geni dan Ubandhana. Kemudian Bondan mendapatkan jejak seseorang dan mengikuti jejak itu hingga akhir siang.

“Kita lanjutkan esok pagi. Kita bermalam di sini. Dan apakah kalian bisa bermalam tanpa nyala api?” tanya Bondan pada pimpinan prajurit yang menyertainya.

“Baiklah, Bondan. Kita bermalam disini dan untuk itu aku akan mengatur penjagaan dengan orang-orangku,” Mandura meyakinkan Bondan dengan kesiapan rekan-rekannya.

“Marilah, kita berlindung di semak-semak itu.” Telunjuk Bondan mengarah ke rerimbun semak yang rupanya akan dijadikan sebagai dinding hidup. ”Esok sebelum warna merah terlihat di cakrawala, tugaskan satu orang menuju Ra Caksana yang berada di sebelah selatan kita. Kita tunggu mereka beberapa tombak di depan.”

“Rencana yang bagus. Memang sebaiknya kita tidak terpisah jika sewaktu-waktu berhadapan lagi dengan kedua orang itu,” Mandura me-nimpali, kemudian memberikan beberapa petunjuk kepada anak buahnya.

Mereka dan begitu juga kelompok Ra Caksana melewati malam di tengah pategalan tanpa nyala api unggun. Mereka melakukan makan malam dengan bekal sisa siang hari tadi.

Wedaran Terkait

Bulak Banteng 7

kibanjarasman

Bulak Banteng 6

kibanjarasman

Bulak Banteng 5

kibanjarasman

Bulak Banteng 4

kibanjarasman

Bulak Banteng 3

kibanjarasman

Bulak Banteng 1

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.