Serombongan emak berkado sebuah puisi untuk mensyukuri kehadiran seorang Murni Tiyana. Arek Mojosari.
==========
Jatuh
Satu-satu
Bulir-bulir bening
Di sudut mata hening
Mbrebes nyaris terdengar mblebes. Dan kau, tidak ingat wajah dukun bayi itu.
“Bagaimana kau bisa lupa? Perempuan tua yang merogoh jalan lahir ibumu.
Dia, yang membantumu melihat dunia.
Memegang tubuh mungilmu untuk pertama kali.
Tangismu pecah membuat gaduh semesta
Darah merah membungkus raga kecil tak berdosa
Kau menatap dunia dalam tanya
“Ini bukan surga tempatku bermain”
Kau menggumam
Seketika dekapan hangatnya membuatmu tenang. Sekeliling bersuka cita.
“Bayinya perempuan! Sehat! Lengkap!” Lelaki paruh baya berteriak lantang. Matanya berkaca-kaca
“Pak Marsaid, lantunkan Adzan untuk putrimu,” suara si Mbok dukun mengurai keharuan lelaki paruh baya itu.
Gemetar tangan kokohnya menyambutmu. Mendekapmu sesaat. Mendekatkan bibirnya di telingamu.
“Allohu akbar…Allohu akbar…”
Adzan berkumandang. Semesta di sekitarmu takjub ikut mendoakan.
“Selamat datang, Putri Kecil.”
Pekik tangis membelah udara
Tawa bahagia terpancar dari semua tatap mata
Simbok dukun bayi menyela, menyerahkan kendhil ari-ari pada lelaki paruh baya.
“Ndang dipendhem ari-arine, pak.
Ojo lali kembang boreh, brambang bawang, jarum, lan pensil!”
Tamu undangan duduk rapi sambil komat kamit merapal doa untuk sang bayi
Kenduri digelar. Jenang beras merah disajikan.
“Siapkan kambing yang paling bagus sebagai gadainya!”
Hatiku enggan bergeser dari larut haru, tenggelam dalam pesona sosok mungil yang menggemaskan. Cinta, bahagia, menawan diriku. Selamat datang bidadari jelitaku, bibir berbisik lirih di telingamu.
Tangis pun reda saat kau rasa kehadiranmu memberi bahagia di hati mereka.
Meski netramu samar melihat sekeliling, tapi hatimu rasa teduh dalam buaian kasih sayang
Engkau terlelap dalam timang kasih sayang
“Tak lela lela lela ledung, terlelaplah anakku cah ayu.” Suara merdu ibumu membuat kau enggan membuka mata. Nyaman dalam dekap hangat dan mantra pelipur lara.
…kae bulane ndadari, koyo butho nggegilani,
lagi ngolekki cah nangis…
Mantra merdu dari ibu ‘menyirepmu’ dalam senyum bahagia, seperti di surga dikelilingi dewa-dewa.
Elusan lembut dari tangan perkasa Pak Marsaid pun kian membuaimu
“…Kae wulane ndadari… ora pareng nangis… sing nangis dibuwak kali…”
Suara parau lelaki paruh baya itu menyambung senandung istrinya. Orang-orang di sekeliling tergelak dalam haru.
Dirgahayu, mbak! Keep on mbrebes mili..