Sayoga sadar bahaya yang mengintai para pengawal Menoreh. Ia mempunyai pilihan di tengah waktu yang terbatas. Namun itu tidak menjadi satu dalih baginya untuk melanjutkan perjalanan menemui Ki Argapati, Sayoga justru mengambil kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Empu Wisanata tentu dapat bertahan dari kebuasan orang-orang yang tidak mempunyai pendirian jelas ini, tetapi para pengawal? Mereka akan hilang ditelan gelombang api Ki Sarjuma! Pikirnya.
Sayoga tidak mempunyai latar belakang keprajuritan maupun sekadar latihan perang-perangan, tapi ia pernah melihat dan terlibat dalam satu perang yang cukup besar. Ia mencoba mengingat setiap perintah para pemimpin perang Tanah Perdikan di masa itu, namun ia kesulitan. Maka dapati dipastikan jika meraih ingatan adalah pekerjaan sulit bagi Sayoga saat itu. Mengenang kembali perintah senapati yang diucapkan saat perang masih berkecamuk ganas sedangkan, saat ini, Sayoga sendiri telah larut dalam kesibukan yang berbeda, tentu saja itu adalah upaya yang keras. Dua pekerjaan sulit karena Sayoga sedang membangkitkan kekuatan Serat Waja yang ada dalam dirinya.
Ia sedang berusaha untuk itu.
Ia tidak mempunyai pilihan lain jika ingin membantu memperpanjang usia para pengawal Menoreh. Harapan dan kekuatan Sayoga bertumpu pada Serat Waja dan karunia Yang Maha Agung, hanya itu, dan ia akan mencoba menyelamatkan kedudukan para pengawal dengan dua bekal itu.
“Memutar!” teriakan yang ditujukan pada para pengawal Menoreh sedikit mengejutkan mereka. Mereka tidak paham maksud Sayoga, empat pengawal itu saling berpandangan dengan kening berkerut. Pertanyaan besar mendekat di benak mereka di tengah-tengah gempuran liar dan buas dari Ki Sarjuma.
“Maaf!” susul Sayoga lantang sambil menyadari kekeliruannya meneriakkan perintah, “Maksudku, kita bergerak melingkari orang ini. Kita terus bergerak!” Ucapan itu disambut dengan senyum kecil para pengawal Menoreh. Mereka mengangguk dan merasa sedikit terhibur dengan perintah Sayoga. Perasaan mereka yang sedang dalam tekanan sejengkal teralihkan.
Bahkan seorang dari mereka berseru, “Aku sempat berpikir bahwa engkau perintahkan kami untuk kembali pulang, anak muda. Eh, sepertinya aku pernah melihatmu.”Seorang pengawal yang kelihatan berusia paling banyak di antara mereka mengingat Sayoga.
“Sepertinya begitu, Paman!” sahut Sayoga.
“Ya. Anggaplah begitu. Kita telah bertemu sekarang,” seorang yang lain menimpali dengan senyum yang dipaksakan saat ia harus melontarkan tubuhnya menjauh dari jangkauan kaki Ki Sarjuma.
Sayoga telah teraliri segenap kekuatan yang bersumber dari Serat Waja, namun ia justru merasa dadanya sempit dan debar jantungnya semakin kuat. Ia merasa bahwa keselamatan empat pengawal Menoreh telah menjadi tanggung jawabnya.
“Aku berhutang nyawa pada mereka semua,” gumam Sayoga dengan mata menatap lekat perputaran gerak para pengawal.
“Kalian!” geram Ki Sarjuma, “dalam waktu cepat aku akan menghabisi kalian semuanya. Kalian akan tahu siapa diriku sebenarnya! Hari ini akan menjadi hari yang tidak akan pernah muncul dalam ingatan kalian esok hari.”
Desir darah Sayoga mengalir makin cepat, ia tidak dapat mengabaikan ancaman Ki Sarjuma. Ia tahu dari sinar mata lawannya yang menyala dengan liar. Untuk menutupi gelisah hatinya, Sayoga mencoba meneriakkan satu perintah lagi pada para pengawal Menoreh, “Longgarkan kepungan. Biarkan ia berbuat semaunya!”
Ucapan itu didengar oleh orang-orang tetapi mereka tengah dilanda gelisah. Mereka mengalami sendiri tekanan hebat kawan Ki Malawi ini pada saat kepungan masih rapat dan mereka belum banyak menerima hantaman. Tidak banyak yang mereka lakukan dan memang tidak ada gelar yang dihadirkan untuk menutup tandang Ki Sarjuma, maka mengikuti perintah Sayoga adalah jalan keluar rasa gelisah yang tengah mendera dada mereka.
Hujan telah reda, semak dan rerumputan tampak berserak. Para pengawal Menoreh kembali menyusun barisan lebih rapi dan kuat. Mereka telah menerbitkan semangat bertempur lebih kuat dari sebelumnya. Mereka mendengar ucapan lantang orang yang mereka tuakan. Mereka harus berbuat sesuatu untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Kekacauan yang terjadi di rumah Agung Sedayu dan sebuah pasar di pedukuhan induk kembali mengisi relung hati mereka.
Kini, di hadapan mereka tidak ada lagi lawan berat. Tidak ada lagi kematian yang akan memisahkan karena mereka sadar bahwa itu adalah cara lain untuk bersatu dengan yang mereka cintai, Tanah Perdikan Menoreh!