Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 10 – Pedukuhan Janti

Pandan Wangi menunggu Agung Sedayu mengungkap maksudnya. Pengalamannya dalam mengikuti banyak peperangan mengajarinya untuk dapat menahan diri, meski dalam waktu itu, Pandan Wangi sebenarnya ingin agar AGung Sedayu menyempatkan diri untuk melihat keadaan Sekar Mirah. Dalam hatinya, Pandan Wangi berniat untuk mengajukan diri sebagai pelapis Ki Gatrasesa karena kedudukan itu tidak akan mengubah rancangan yang telah diterima oleh Ki Gatrasesa. Namun ia mengurungkannya setelah melihat kegelisahan hebat dari sorot mata pemimpin pasukan khusus Mataram itu.

Seolah dapat menjenguk isi hati Pandan Wangi, Agung Sedayu berkata, “Aku tidak mengetahui orang yang ditunjuk oleh Raden Atmandaru sebagai pemimpin, meski aku ingin sekali menempatkanmu di Pedukuhan Janti, tetapi, aku pikir lebih baik engkau melapisi Gondang Wates. Seorang penghubung akan cepat melaporkan perkembangan padamu. Kemunduran Ki Gatrasesa dapat segera dibendung bila engkau berada selangkah di belakang mereka.”

Pandan Wangi mengangguk dengan kegagahan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang bernyali dan berkekuatan besar. Kemampuan yang tersimpan itu memancar jelas dari sikap tubuh dan sinar mata Pandan Wangi sebagai putri tunggal Ki Gede Menoreh.

Selanjutnya, Agung Sedayu berkata lagi, “Aku akan menilik Sekar Mirah barang sejenak.”

loading...

Pandan Wangi tidak menunjukkan keberatan pada keputusan Agung Sedayu. Pada waktu itu. Ki Jagabaya menghampiri mereka sedikit tergopoh-gopoh.  Pria yang berusia sedikit di bawah Ki Demang bahkan setengah berlari dengan wajah pucat pasi.

“Ki Rangga!” seru Ki Jagabaya ketika melihat Agung Sedayu memutar tubuh hendak meninggalkan Pandan Wangi.

Dua alis Agung Sedayu berkerut saat melihat Ki Jagabaya mendekatinya dalam keadaan di luar biasanya. “Apa yang terjadi?” bertanya Agung Sedayu dalam hatinya dengan jantung yang tiba-tiba berdegup lebih kencang. Tidak ada kabar yang lebih ditunggu daripada kelahiran anaknya. Tidak ada pula ancaman yang diharapkan tetapi serangan Raden Atmandaru, sungguh, sangat menakutkan hatinya. Dan waktu itu, Ki Jagabaya setengah berlari datang dari arah rumah Ki Demang!

“Ki Rangga!” ulang Ki Jagabaya dengan napas memburu. Ia berusaha menegakkan kepala lalu memandang wajah Agung Sedayu dengan sinar mata kebingungan.

Agung Sedayu memperhatikan Ki Jagabaya dengan saksama. Tidak biasanya Ki Jagabaya menampakkan keresahan begitu nyata seperti malam ini, pikir Agung Sedayu. Pada waktu itu Ki Jagabaya telah berdiri tegak meski ketenangan belum terlihat menguasai gerak tubuhnya, tetapi napas Ki Jagabaya mulai teratur dan panjang.

“Ki Jagabaya,” kata Agung Sedayu berusaha menenangkan tangan kanan Ki Demang Sangkal Putung.

“Seorang penghubung dari Jagaprayan mengatakan pada saya bahwa mereka melihat pergerakan yang membayangi batas luar wilayah pedukuhan,” ucap Ki Jagabaya sedikit tenang.

“Di mana Ki Jagabaya bertemu dengannya?”

“Saya berniat melihat-lihat keadaan sekitar banjar, terutama gardu jaga yang berada di sepanjang jalan utama. Ketika saya baru melangkah keluar dari halaman banjar, seorang penghubung dari Pedukuhan Jagaprayan telah melompat dari kuda lalu menyongsong saya dengan tubuh gemetar.”

Agung Sedayu bergumam pelan tanpa kata yang diucapkan.

“Lalu ia mengatakan bahwa pengamat pedukuhan telah melihat bayangan-bayangan yang bergerak cepat di antara pepohonan. ‘Mendekati batas luar pedukuhan,’ kata mereka.”

Agung Sedayu segera mencurahkan perhatiannya pada Jagaprayan. Ketajaman nalarnya sigap menyusun gambaran-gambaran yang mencerminkan keadaan sebenarnya mengenai pedukuhan. Letak sungai dan pohon, tebing kecil dan lorong serta persimpangan-persimpangan jalan yang ada tiba-tiba membayang dalam benaknya.

Begitu pun Pandan Wangi. Ia cepat membuat perhitungan bilamana Agung Sedayu tiba-tiba meberinya perintah atau arahan yang menunjang pertahanan kademangan yang semakin gawat. Bagi Pandan Wangi, kakak seperguruan Swandaru berada dalam dua pilihan yang sama-sama berat. Keselamatan kademangan atau anugerah yang lama dinantikannya. Sangkal Putung atau anaknya!

“Andai saja Ki Swandaru saat ini berada di tengah kita, mungkin keadaan menjadi sedikit berbeda,” ucap seorang pengawal kademangan pada temannya secara pelan.

“Benar, tetapi kita tidak dapat terlalu lama dengan ‘seandainya atau semisalnya.’ Yang kita hadapi adalah orang-orang yang kekuatannya mungkin berada di atas kita semua,” sahut temannya yang bertubuh tinggi kurus.

“Kau meremehkan Ki Rangga dan Nyai Pandan Wangi?” orang pertama bertanya seperti itu.

“Bukan itu maksudku! Tetapi menurut kabar yang aku dengar, kelompok ini banyak didukung oleh orang-orang bekepandaian tinggi. Anggap saja ada tiga orang yang dapat mengimbangi Ki Ranga dan Nyai Pandan Wangi, lalu bagaimana dengan pengikutnya? Menurut kasak kusuk orang, pengikut Raden Atmandaru dapat dikatakan setara dengan prajurit Mataram. Bahkan sebagian menilai sebanding dengan pasukan khusus di Menoreh. Bukankah itu berarti kademangan akan menuju kehancuran?”

“Boleh jadi demikian. Tapi, kita tidak dapat memberi mereka kemenangan yang begitu mudah.”

“Aku setuju,” ucap seorang pengawal yang berwajah bulat dengan tiba-tiba.

Para pengawal yang berada di banjar tampaknya belum mengetahu perkembangan Sekar Mirah, yang menurut dukun bayi, dapat melahirkan anaknya pada akhir malam ini!

 

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.