Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 12 – Pedukuhan Janti

Mendadak pecahlah keheningan pedukuhan induk! Orang-orang tumpah ruah memenuhi jalan-jalan dan lorong. Mereka saling bertanya mengenai gelegar dentuman yang menggetarkan jantung. Tak sedikit yang berlarian menuju banjar atau gardu-gardu jaga untuk mencari perlindungan. Semrawut! Kekacauan yang luar biasa benar-benar terjadi di pedukuhan induk. Tak sedikit orang-orang yang awalnya berniat untuk ikut menjaga kademangan menjadi berbaik arah! Mereka meninggalkan pedukuhan induk menuju barak pengungsi. Maka dalam waktu sebentar saja, pedukuhan induk lebih mirip kerumunan semut yang bubar karena setetes air. Orang-orang berlarian tak tentu arah.

Keadaan seperti itu menimbulkan rasa gentar pada beberapa pengawal. Meski tidak banyak, para pengawal sempat berpikir untuk bergabung dengan orang-orang yang mengungsi. Laporan-laporan terus menerus membanjiri pendengaran Agung Sedayu.

Melihat suasana yang semakin membuat hati gentar karena jerit tangis ketakutan memecahkan udara, Pandan Wangi memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil kuda di rumah Ki Demang. Sedikit  lama pengawal itu kembali dengan membawa kuda sulit menembus kerumunan orang hilir mudik karena resah di jalan utama. Pandan Wangi segera melayang ringan ke punggung kuda. Ia menghampiri Agung Sedayu yang terlihat sibuk memberi perintah dan pesan-pesan pada kepala pengawal, kemudian katanya, “Kakang. Saya kira lebih baik bila saya berada di Jagaprayan. Setidaknya kita mempunyai gambaran yang pasti tentang keadaan di sana. Saya mohon diri.”

Tidak ada kata yang terucap dari Agung Sedayu. Ia hanya mengangguk.

loading...

Pandan Wangi segera membedal kuda kuat-kuat. Kuda tegar berwarna merah kecoklatan pun meloncat dan berlari seperti terbang menuju Pedukuhan Jagaprayan.

“Meskipun aku mempunyai sedikit keraguan dan hati resah, aku tidak boleh berkhayal dengan mengandaikan kakang Swandaru tiba-tiba berada di Jagaprayan. Barangkali dengan keputusanku memecah keraguan dengan menuju Jagaprayan, aku dapat berharap setidaknya ada keajaiban yang dapat menolong Sangkal Putung keluar dari kesulitan ini,” pikir Pandan Wangi selepas melewati regol pedukuhan induk.

Agung Sedayu sesekali melihat punggung Pandan Wangi yang semakin lama semakin menitik keci. Sejenak kemudian ia berpaling pada Dharmana lalu berkata, “Marilah, temani aku ke rumah.” Sejumlah pesan ia tinggalkan untuk Ki Jagabaya. Bagaimanapun, pikir senapati ini, Sekar Mirah dan anaknya adalah persoalan yang terpisah dengan peristiwa yang menimpa Sangkal Putung. Ini tentang tanggung jawab yang berbeda, tegasnya dalam hati.

Pada waktu Agung Sedayu melangkah menuju rumah, Pandan Wangi telah mendekati Pedukuhan Jagaprayan. Kuda miliknya benar-benar membuktikan pantas menjadi tunggangan di kala genting. Waktu tempuh dari pedukuhan induk menuju gerbang Jagaprayan dapat dicapainya lebih cepat dari kuda biasa. Namun, tiba-tiba, penglihatan tajam Pandan Wangi menangkap bayangan yang berkelabat di antara pohon-pohon di pekarangan. Sekali-kali bayangan itu seolah terbang ketika melesat di atas rumah-rumah di Jagaprayan. “Siapakah orang itu?” tanya Pandan Wangi dalam hatinya. Rasa khawatir dengan cepat hinggap dalam dadanya. Sedikit ragu untuk meneruskan perjalanan setelah menimbang bahwa bayangan itu menempuh arah yang berlawanan dengannya.

“Tapi, biarlah, kakang Agung Sedayu akan mengatasinya,” bantah Pandan Wangi pada rasa khawatirnya. Sekejap kemudian ia kembali membedal kuda lebih kuat agar kuda tegar itu lebih cepat tiba di Jagaprayan.

Beberapa waktu setelah ia melewati gerbang pedukuhan, Pandan Wangi harus menarik tali kekang kudanya. Ia melihat dua lelaki muda tengah di persimpangan tengah bertarung bagaikan rajawali. Keduanya berloncatan, menyambar-nyambar dengan tongkat yang berputar-putar membuat gulungan sinar hijau dan menjadi pelapis tubuh mereka. Walau ada rasa heran, Pandan Wangi jujur mengakui bahwa ia mengagumi tata gerak dua pemuda yang mempunyai tandang hebat itu!

Seorang pengawal berlarian mendekatinya. Dari raut wajah pengawal itu tampak bahwa ia gembira dengan kedatangan perempuan tangguh kelahiran Tanah Perdikan Menoreh. “Nyi Pandan Wangi,” serunya, “Yang Maha Sempurna masih melindungi tanah ini dengan kedatangan Anda.”

Pandan Wangi mengembangkan senyum lalu dua matanya kembali mengamati pertarungan yang terjadi di persimpangan, ia bertanya kemudian, “Siapakah dua orang yang dikeroyok di persimpangan?”

“Bila tidak salah, kami mengenalnya sebagai orang Tanah Perdikan. Ia menyebut dirinya dengan nama Sukro.”

“Oh!” Pandan Wangi menahan seruannya. Ia sangat terkejut meski tak mengingkari bahwa kedatangan Sukro adalah sumbangsih tenaga ketika ia dan Agung Sedayu menemui jalan buntu. Kemudian, lanjut Pandan Wangi, “Lalu siapakah satu orang lagi?”

“Kami mendengar nama Sayoga ketika Ki Bekel bertanya pada mereka berdua.”

“Aih, syukurlah. Aku segera ke tepi sungai. Mereka berdua akan membantu kalian menghambat laju pergerakan musuh.” Sekejap kemudian Pandan Wangi menghentak lambung kuda, meluncur deras ke bagian yang disebut-sebut telah menjadi lubang masuk pasukan musuh.

Kepergian Pandan Wangi diiringi loncatan-loncatan gembira dari pengawal yang menyambutnya. Pengawal itu benar-benar dipenuhi rasa syukur pada waktu malam masih terlalu jauh meraih pagi.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.