Udara dingin dan angin semilir memabukkan adalah dua tantangan untuk Sayoga dan Dharmana sewaktu berkuda menuju batas luar Pedukuhan Gondang Wates.
Walau usia mereka tidak terpaut begitu jauh, ketenangan adalah sesuatu yang menipiskan jarak usia. Setelah keluar dari wilayah pedukuhan induk, Sayoga dan Dharmana melihat perkembangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Keadaan Gondang Wates terlalu sepi untuk ukuran sebuah wilayah yang menggantung. Gondang Wates tidak berada dalam penjagaan ketat pengawal dan tak pula tengah dihimpit oleh kegentingan, seolah berkesan seperti itu. Sejumlah gardu masih terlihat mempunyai kesibukan dengan beberapa peronda atau pengawal pedukuhan, tetapi rumah-rumah penduduk terlihat seperti sarang siluman. Gelap dan gelap. Tak dapat dikatakan suram karena memang tidak ada pelita seujung kuku yang tampak menyala di balik dinding bambu.
“Lebih mirip permukiman siluman,” bisik Dharmana dalam hatinya.
Setelah menyaksikan dan berada di dalam suasana mencekam, dua utusan Agung Sedayu tidak lagi mampu mempertahankan ketenangan. Pikir mereka, apabila hanya segelintir pengawal berada di jantung pedukuhan, lalu bagaimana pedukuhan dapat menjaga diri?
Dua orang itu hanya mampu saling bertukar pandang dan menggeleng. Mereka belum berkesempatan bertukar pikiran, meski sekali-kali keduanya menyempatkan diri untuk berhenti sekejap di dua gardu jaga selepas tugu batas pedukuhan induk.
“Apakah tidak ada kelompok lain yang berjaga di bagian dalam pedukuhan?” tanya Dharmana.
“Ada. Beberapa, Kakang. Aku tidak mengerti dengan persis tetapi ada kalau untuk penjagaan,” jawab ketua kelompok peronda ketika mereka telah mencapai dua pertiga perjalanan. Gardu itu terletak pada ujung pertigaan di sebelah utara dan tempat penjagaan yang lebih dekat ke Janti.
Sayoga bergumam. Dharmana melihat padanya kemudian menggerakkan bibirnya, “Bagaimana menurutmu?”
“Sulit, Kakang,” jawab Sayoga sambil membentangkan pandangannya. “Jika dibandingkan dengan pedukuhan yang kami lalui sebelum ini, lima puluh penjaga tidak akan dapat membendung derasnya serbuan lawan.”
“Hey, kami bukan orang lemah!” sergah seorang pengawal. “Engkau belum pernah melihat kami bertarung, dan juga engkau mungkin belum pernah mengalami peperangan.”
Dharmana mengangkat tangan, meminta pengawal itu untuk kembali tenang. Kata Dharmana, “Sayoga. Namanya Sayoga dan ia telah berkelahi melawan mereka di Jagaprayan.”
“Lalu, dengan perkelahian yang tidak kami ketahui, apakah engkau berniat merendahkan kami, orang-orang Sangkal Putung?”
“Tahan diri kalian,” perintah Dharmana.
Sayoga tersenyum. Ia dapat memaklumi kesalahpahaman yang terjadi pada saat itu. Kata Sayoga, “Maafkan saya, Ki Sanak. Saya yakin orang-orang Sangkal Putung adalah sekumpulan orang yang berani dan gagah. Meski lawan kita berkemampuan lebih, tetapi mereka akan kabur kanginan saat berjumpa dengan kita. Saya yakin itu.” Sayoga tidak ingin memanjangkan perjumpaan. Kata-kata yang diucapkannya sebenarnya ditujukan pada Dharmana agar segera minta diri pada penjaga dan berlalu.
Tetapi agaknya pengawal Gondang Wates telah tersulut rasa ingin tahu. Sedikit waktu kemudian terjadilah hiruk-pikuk dan hilir mudik pertanyaan pada Sayoga. Hingga tiga atau empat pertanyaan yang jelas terucapkan, Sayoga kemudian bercerita tentang perkelahiannya. Termasuk perihal Sukra yang tak luput dari kisah singkatnya.
“Nyi Pandan Wangi telah turun tangan di Jagaprayan. Ki Rangga sedang tersita perhatiannya oleh persalinan. Dan sekarang, kita di sini, di Gondang Wates, berharap pada siapa setelah dua orang pilihan Sangkal Putung dapat dipastikan tidak dapat menemani kita?” seorang pengawal bertanya pada dirinya sendiri.
Mendengar pertanyaan yang lirih diucapkan tetapi didengarnya dengan jelas, ketua regu kemudian berkata, “Kakang Dharmana dan Sayoga adalah bantuan untuk kita di sini. AKu minta kalian tidak melihat jumlah. Mereka memang hanya dua orang, tetapi mungkin Ki Rangga menitipkan sesuatu yang dapat menukar keadaan. Bukankah kita berharap ada pesan dari pedukuhan induk?” Kemudian ketua regu lurus memandang Dharmana. Sepertinya ia meminta dukungan atau jawaban yang dapat menjaga ketahanan jiwani pengawal pedukuhan.
Orang-orang memandang Dharmana dengan wajah yang tak lagi keruh. Setitik harapan tengah menunggu untuk diucapkan Dharmana. Tanpa membuka pesan yang sebenarnya dari Agung Sedayu, Dharmana lalu berkata, “Kami berdua diperintahkan Ki Rangga untuk melihat Janti atau Gondang Wates bila ada perubahan. Nyatanya, kami di pedukuhan induk belum menerima laporan dari penghubung Janti sama sekali. Bila kalian melihat kami berada di sini, itu karena seorang dari kalian yang memberi keterangan pada kami.”
Pengawal Gondang Wates terheran dan saling bertanya. Mereka memang tidak atau belum melihat kawan atau utusan yang datang dari Janti melintasi pertigaan. Di waktu itulah mereka sadar bahwa telah terjadi sesuatu di perbatasan Janti dengan Gondang Wates.
“Kakang,” ucap ketua regu, “sebenarnya telah ada dua kabar yang datang pada kami tentang segala yang terkait dengan Janti.”
Kening Sayoga berkerut. Alis Dharmana bertaut. “Benarkah?” serempak mereka bertanya.
Ketua regu mengangguk. “Dua laporan disampaikan pada kami oleh orang yang sama, bahwa Janti masih tegar dan bertarung sedemikian kuat. Awalnya, kami heran, bahkan ada sedikit curiga karena kami belum pernah melihatnya. Namun, ia begitu meyakinkan dengan percik-percik darah pada senjatanya. Selain itu, saya baru mengingat bahwa saya pernah melihatnya sekali di sisi pasar Gondang Wates. Maka saya pikir orang itu adalah pendatang baru di Janti dan sempat kagum padanya karena rela berkubang darah bersama kami. Kemudian…saya menerima laporannya.” Ketua regu membenamkan wajah sambil mengingat keputusannya untuk menerima berita itu tanpa diteruskan ke pedukuhan induk. “Ini kesalahan saya, Kakang.”
“Tidak. Itu tidak dapat menjadi kesalahanmu semata,” kata Dharmana. “Saudara-saudara sekalian. Bila kita menyesal karena terlanjur menganggap benar tentang kabar yang datang dari Janti, itu dapat dimaklumi. Ki Rangga akan mengerti karena keadaan yang karut marut ini dapat disusupi oleh laporan-laporan palsu. Meski demikian, itu bukan berarti kita dapat memberi kembali kelonggaran. Tidak seperti itu. Keadaan yang semrawut, sebaiknya dan seharusnya, menjadi pemersatu bagi kita semua.”
Sejenak ia melihat Sayoga yang lurus memandang jalanan menuju Janti. Kemudian Dharmana berkata, “Baiklah, kami minta diri. Dan, aku ingin seorang dari kalian menyertai kami ke perbatasan. Dengan begitu, apabila kami terjerat keadaan, kenyataan di sana dapat diteruskan hingga pedukuhan induk.”
“Kami mengerti, Kakang.”
Mereka berpisah. Tiga ekor kuda kemudian berderap pergi menuju perbatasan Janti yang bersebelahan dengan Gondang Wates.