Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 52 – Gondang Wates

Padam wajah Sayoga mendengar mereka menyebut orang-orang Sangkal Putung sebagai anjing liar. Namun demikian, Sayoga berusaha menekan perasaannya yang menyalak begitu jalang. Digembleng secara langsung oleh ayah dan ibunya, Sayoga tumbuh sebagai anak muda yang mampu meredam kobar kemarahan dalam hatinya. Maka dari itu Sayoga sanggup bertahan dari serangan para pengeroyoknya yang menjilat-jilat seperti lidah api. Sayoga belum dapat dikatakan berkelahi dengan tenang. Hujan senjata dari berbagai arah mampu mendesaknya, menggores beberapa bagian tubuhnya dan lontaran tenaga inti Ki Dirgasana nyaris membuatnya meringkuk tuduk.

“Bangunlah, Sayoga! Mari, mari berdua kita hadapi mereka!” Tiba-tiba sekelebat bayangan disertai bunyi ledakan sangat keras menusuk masuk, mendobrak lingkaran penyerang yang beramai-ramai ingin membekuk Sayoga. Bayangan ini sangat kuat dan cepat, apalagi ujung cambuknya mendadak berubah menjadi begitu banyak. Seolah mata tajam di ujung cambuk menjadi puluhan jumlahnya dan menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari masing-masing penyerang Sayoga.

Sekilas Sayoga memandang sepak terjang orang yang membantunya, ucapnya, “Ki Panuju, terima kasih.”

Semangat Sayoga tepercik sedikit minyak. Ingatan segera melemparnya ke masa lalu. Di Lemah Cengkar, ia berkelahi bersama-sama Agung Sedayu dan orang-orang lainnya, termasuk Swandaru Geni. Pada waktu itu, Sayoga beljar tentang kehormatan. Ya, kehormatan. Betapa Swandaru sempat goyah karena keinginan untuk meraih kemasyhuran di Mataram. Segalanya berkesudahan dengan baik ketika Swandaru mengubah pendiriannya di saat terakhir.

loading...

“Apabila aku tidak bertarung demi kehormatan, mungkin aku tengah mengira sedang dalam perjuangan untuk mencari jati diri. Tetapi ayah tidak pernah mengatakan bahwa jati diri berada dalam perkelahian. Menurut beliau, jati diri ada di awal dan runtutan perubahan yang berkembang dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Kali ini aku tidak berjuang untuk Tanah Perdikan, tetapi aku bertarung demi kepercayaan. Orang-orang Sangkal Putung percaya padaku. Begitu pula Ki Rangga. Dan kini, Ki Panuju yang sebenarnya dapat meneruskan hidup tetapi ternyata memilih menyabung nyawa bersamaku. Baiklah, Ki Panuju,” suara hati Sayoga bersenandung indah.

Cambuk di tangan Ki Panuju terus-menerus meyengat tanpa jeda. Itu membuat Sayoga mendapatkan ruang gerak yang longgar, maka penyesuaian pun segera dilakukannya. Pedang Sayoga tak lagi hanya berputar-putar untuk bertahan, dengan kehadiran Ki Panuju, Sayoga mengeluarkan lagi kemampuannya untuk menyerang. Mereka bertempur beradu punggung. Berdampingan. Saling mengisi ruang kosong yang muncul di tengah-tengah pergerakan mereka.

Ki Dirgasana serta anak buahnya perlahan-lahan kehilangan kendali perkelahian yang tidak seimbang dalam jumlah.

Sayoga memandang Ki Dirgasana. Ia mendengus marah, lalu meluncur dengan pedang terjulur , mengincar batang leher musuhnya. Ki Tarkib mencoba menangkis, tetapi ia terhuyung dan terdorong surut dengan lengan tergetar hebat oleh sabetan Sayoga yang berlambarkan tenaga puncak Serat Waja. Tak berhenti karena penghadangnya terpental dan jalur serangnya masih terbuka lebar, Sayoga menebaskan pedang kayunya mengarah lambung. Ki Dirgasana membuang diri ke samping, dua anak buahnya segera memberi perlindungan dengan serangan membuta pada Sayoga.

Sayoga meloncat surut, memutar tubuh lalu menyerang anak buah Ki Dirgasana dari arah lain.

“Sayoga, ikuti aku!” perintah Ki Panuju sambl berbisik ketika mereka kembali berlekat punggung.

“Apakah akan mundur lagi?” Alis Sayoga berkerut dengan pertanyaan yang tak sempat terucap.

Mendadak Ki Panuju seolah terbang dari sisi Sayoga sambil memekik tinggi, mengarah ke jurusan yang ditempati anak buah Ki Dirgasana yang terluka. Sayoga mengikuti tak kalah cepat. Sayoga melesat seperti rajawali dengan pedang yang kembali memutar.

Anak buah Ki Dirgasana melihat dua bayangan yang bergerak cepat dengan pandang mata berkunang-kunang. Agaknya ia telah kehilangan banyak darah dan Ki Panuju dapat menilai keadaannya, maka lrah Mataram ini membuka jalan melalui kedudukannya yang lemah. Sabet cambuk Ki Panuju mengarah sisi kanan agar laju penyerang yang lain terhambat, sedangkan Sayoga memukul kepala mereka yang datang dari sisi berlawanan. Sejenak kemudian mereka berdua kembali bertarung dengan trengginas dan lebih sengit dari sebelumnya.

Ki Panuju sempat memperhatikan bahwa tubuh Sayoga mulai melemah oleh goresan-goresan benda-benda tajam dari penyerang mereka. Maka lurah ini berjuang lebih keras, namun begitu, Sayoga tidak ingin menjadi beban baru bagi penolongnya.

Sayoga pun sepakat tanpa perlu ia katakan pada Ki Panuju. Bukan karena ia telah putus asa dengan serangan yang mengepung mereka, tetapi Sayoga mempunyai pikiran lain. Bahwa ia harus bertahan meski kematian bukanlah sesuatu yang memalukan atau mengerikan baginya. Namun Sayoga tidak ingin berbuat melebihi perintah Ki Panuju. Sedikit sembrono, maka hancurlah mereka berdua di Gondang Wates. Jalan pikiran Sayoga dipenuhi berbagai rencana menyelamatkan diri bagi mereka berdua. Ia tak peduli dengan orang-orang yang mencibir maupun nyinyir. “Ini keadaan yang sangat berbeda. Hidup akan lebih berarti dibandingkan bila aku terbunuh di tempat ini, sedangkan mundur hanyalah satu cara meraih kemenangan.” Sayoga telah bulat berpendapat demikian. Pendapat Sayoga sekokoh prasasti batu yang terpahat pada candi tua di samping Prambanan.

Sayoga memaksakan diri, menyerang lawan dengan luncuran tubuh yang melebihi kecepatan Ki Panuju. Ia berloncatan ke kiri dan kanan. Melontarkan tendangan dan pukulan tangan kosong dengan satu tangan, sementara pedangnya kuat berputar untuk menjaga jarak serangan lawan. Ki Panuju mendapati bahwa jalur pelarian mereka telah terlindung. Maka ia menunjuk arah tertentu, lalu secepat kilat mereka menghilang dalam dekapan malam.

Agak kepayahan Sayoga mengimbangi kecepatan lari Ki Panuju yang sepertinya masih bugar dan bersih dari luka-luka. “Ki Panuju memang luar biasa,” puji Sayoga dalam hati.

“Marilah,” kata Ki Panuju lalu mengurangi laju.

Beberapa saat di depan, Ki Panuju dan Sayoga mendapati seorang pengawal pedukuhan yang berlindung di balik batu sungai yang ditumpuk rapi, di sisi barat kelokan terakhir tempat mereka memukul prajurit Raden Atmandar yang mengejar.

“Ikuti saya,” bisik pengawal lalu ia berjalan cepat di depan dua orang yang baru menjumpainya. Yang terjadi sebelumnya adalah pengawal pedukuhan berhasil memaksa pengejar mereka untuk berhenti lalu balik arah. Ki Panuju menggunakan kesempatan itu untuk menjemput Sayoga. Ia mengajak seorang pengawal sebagai penunjuk jalan pintas. Maka, kedatangan Ki Panuju tepat di waktu Sayoga telah dijadikan pelampiasan kegusaran. Atas perintah Dharmana, pengawal itu tetap menunggu hingga batas waktu yang diberikan Ki Panuju.

Bertiga, mereka menuju Watu Sumping.

Di belakang mereka, Ki Dirgasana memaki-maki semua orang. Ia sangat gusar karena tidak ada yang tersisa untuk ditangkap atau dibunuh. “Lalu apa kata Panembahan bila demikian? Kita memang dapat mengatakan berhasil memukul mundur pengawal pedukuhan, tetapi buktinya? Apa yang bisa dijadikan bukti selain luka-luka kalian sendiri? Bukankah itu sangat memalukan? Huh!” Kakinya menendang dada Ki Tarkib yang berada di sampingnya. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Namun, keadaan ini mungkin mendapat pengampunan dari beliau, bahwa, sejauh ini, kita berhasil menguasai Gondang Wates.”

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.