Pedukuhan induk.
Sumringah wajah Sekar Mirah sewaktu mengetahui bahwa bayinya selamat dan sehat. Berulang ia menggerakkan kepala saat Nyi Kuswari mengucapkan selamat dan arahan-arahan yang semestinya diuti oleh Sekar Mirah. Seluruh anggota keluarga Ki Demang tengah diliputi bahagia. Kiai Bagaswara segera mengingatkan mereka mengenai kedaan di luar. Meski demikian, suasana di dalam rumah begitu benderang dengan kelahiran anak Sekar Mirah.
“Apakah Angger sudah menyiapkan nama?” tanya Kiai Bagaswara.
Agung Sedayu tersenyum dan memang hanya itu yang dapat dilakukan senapati Mataram sejauh ini. Hanya tersenyum dan tersenyum. Dalam pandangannya, Kiai Bagaswara merasa bahwa AgungSedayu tengah berada di sebuah tempat yang tidak terjangkau olehnya. “Betapapun gembira dan berbunganya hati, tetapi Ki Rangga tidak semestinya kehilangan kendali diri,” renung Kiai Bagaswara dalam hatinya. Kiai Bagaswara pun mengingatkan Agung Sedayu bahwa seorang senapati tidak dapat mengabaikan tanggung jawab. Namun, senyum Agung Sedayu masih mengembang walau Kiai Bagaswara sangat jelas mengucapkan peringatan.
Mendadak raut wajahnya berubah ketika melihat Sukra melintasi pintu sambil membawa ari-ari di dalam kendil yang akan dipendam di pekarangan belakang. Seolah teringat sesuatu, lirih Agung Sedayu berkata,, “Anakku lahir di tengah kekacauan?”
“Benar, Ngger.”
“Sukra,” panggil Agung Sedayu lantas menyusul Sukra menuju bagian belakang rumah. Setelah tangannya dapat meraih pergelangan tangan Sukra, Agung Sedayu berkata, “Apakah engkau mendapat kabar dari Sayoga atau mungkin seseorang memberimu kabar yang lain?”
Sukra memandang mata Agung Sedayu lalu ia menunduk. “Belum, Ki Lurah.” Perlahan Sukra menarik tangannya tetapi Agung Sedayu belum juga melonggarkan cengkeraman.
“Ki Lurah,” ucap Sukra, “saya harus segera merawat ari-ari ini.”
“Oh,” desah Agung Sedayu yang seperti tersadar dari keadaan dirinya. “Aku akan menunggumu di pringgitan. Kita perlu bicara barang sebentar.”
“Baik, Ki Lurah.” Sukra bergegas pergi. Setelah menuruni tlundak, ia mengambil sehasta luas tanah. Sejenak kemudian Sukra meletakkan ari-ari anak Agung Sedayu sedepa di sampingnya dengan bibir yang tak henti bergerak-gerak. Memanjat puja dan menerbangkan bahagia bahwa semua itu adalah karunia dari-Nya. Dua tangannya lalu sibuk menggali. Tenggelam oleh kesibukan yang dikerjakannya dengan hati yang lapang, Sukra hiang kewaspadaan.
Gesek dedaunan kering yang terinjak langkah-langkah kaki tidak tertangkap oleh pendengarannya. Sejari yang berujung lentik menyentuh pundak Sukra. Sukra bergeming. Ia tidak merasakan itu. Kembali jemari lentik itu menyentuhnya, dua kali, tiga kali lalu Sukra berpaling.
Ia terkejut!
Sukra tidak gentar maupun khawatir dengan kehadiran dedemit di halaman belakang, tetapi ia pantas kehilangan darah yang biasa mengalir raut wajahnya. Dua orang mendadak berdiri di belakangnya sambil mengumbar senyum. Satu orang, lelaki, ia seperti mengenalnya. “Ki Sanak,” kata Sukra dengan suara bergetar.
Telunjuk orang yang dipanggilnya Ki Sanak memberi tanda agar Sukra diam. “Atau aku hancurkan kendil itu beserta isinya,” ancam lelaki yang mungkin sepantaran usianya dengan Ki WIdura.
Sukra memandangnya tajam. Ia juga tak luput untuk menatap pengiring lelaki itu, seorang perempuan yang berusia tak jauh darinya.
“Apakah istri Ki Rangga selamat?”
Sukra mengangguk.
“Apakah anaknya juga selamat?”
Sukra mengangguk.
“Kita akan bicara barang sejenak.”
“Ki Lurah sedang menunggu saya.”
“Lupakan. Aku mempunyai hal yang lebih penting untukmu. Untuk masa depan dan kejayaanmu.”
“Aku tidak tertarik.”
“Hmm.” Lelaki itu mengerling sekilas pada perempuan muda yang berada di sampingnya. Tampak paras gadis itu menjadi merah. Namun lelaki itu tidak dapat menduga is hati gadis muda itu. “Engkau tak apa-apa?”
Gadis itu menghembuskan napas panjang kemudian mengangguk tanpa seucap kata. Begitu dingin.
“Sukra,” kata lelaki itu ketika kembali beradu muka dengan anak muda Menoreh itu. “Aku tahu nama dan asal desamu. Aku pun tahu tentang keluargamu. Aku tidak ingin membuang banyak waktu pada saat ini.”
“Aku bukan lagi seorang anak kecil, Ki Sanak. Katakan, bagaimana kalian dapat menyusup masuk ke tempat Ki Demang?”
“Engkau telah mengenalku dengan baik.”
“Bukan mengenal, aku hanya pernah melihatmu.” Sukra geram dan mulai tak mengindahkan paugeran.
Sekilas gadis muda itu memandang wajah Sukra. Sinar mata janggal keluar dari tatapannya. Masih begitu dingin.