Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 68 – Gondang Wates

Derap langkah dua orang itu semakin dekat. Sukra meratakan tubuh dengan permukaan tanah. Ia tidak beringsut agar lebih dekat pada rimbun semak. Menurutnya, ia telah tersembunyi di balik kerapatan daun dan ranting. Meski dua orang itu berada tiga langkah darinya, Sukra yakin bahwa mereka tidak akan dapat melihatnya.

Sukra mengetahui bahwa mereka berhenti dan berdiri dalam jangkauan serangnya. Sejenak mereka tidak bersuara tetapi terdengar kemudian kata-kata yang diucapkan sangat pelan. Sukra tidak dapat mendengar pembicaraan rahasia itu. Meski demikian sekali-kali terdengar mereka berdua menggeram lalu mengatakan yang buruk tentang Sangkal Putung dan Agung Sedayu. Sekali lagi, Sukra sama sekali tidak dapat jelas mendengar mereka. Sukra hanya mendengar kata-kata kotor dan ia merasa itu ditujukan pada Agung Sedayu dan Sangkal Putung. Urat saraf pengawal Tanah Perdikan itu menjadi tegang. Sesuatu bergejolak dalam dadanya lalu memercikkan sedikit api pada ruang hatinya. “Aku dapat menyerang lalu darah akan mengalir. Bukan masalah tentang darah siapa yang harus dimuntahkan. Mereka benar-benar memuakkan!”

Sukra segera memikirkan hal lain meski yakin mampu mengalahkan dua orang pengikut Raden Atmandaru. Namun perbuatan itu akan membawa akibat dan perubahan yang sangat jauh dari perhitungan Agung Sedayu sebelumnya. Sukra tak dapat lagi membiarkan perasaannya bermain-main secara liar dan membuta.

Sukra berusaha menekan gejolak dengan kekuatan jiwani yang secara tidak langsung digembleng oleh Ki Gede Menoreh setiap kali pemimpin Menoreh menggelar pertemuan. Ia harus dapat menahan diri. “Aku bukan pengecut yang menghindari lawan, tetapi Ki Gede berpesan bahwa pemberani adalah orang yang mempunyai perhitungan tentang ketepatan,” katanya dalam hati. Sejenak ia kembali berpegang pada keyakinannya yang tinggi pada pesan Ki Gede Menoreh.

loading...

Mendadak dua orang itu kemudian berlari meninggalkan gundukan tanah yang sebidang dengan tempat persembunyian Sukra.

Setelah menghitung dan memperkirakan kedudukan dua orang itu, Sukra pun meninggalkan tempat pengintaian. Ia harus segera kembali ke Watu Sumping, melaporkan segalanya pada Marmaya atau Ki Lurah Panuju, lalu bergerak ke Sangkal Putung sebelum memulai tugas baru di Randulanang.

Watu Sumping mendadak menjadi sibuk ketika Sukra datang nyaris bersamaan dengan tiga rombongan dari Sangkal Putung. Kesibukan semakin padat pada saat sejumlah pengawal dari dusun-dusun kecil di wailayah Gondang Wates mulai berdatangan. Para pengawal ini menerima pesan yang dikirim oleh Marmaya secara diam-diam.

Di Watu Sumping telah berkumpul puluhan pengawal yang telah siap dengan segala tugas dan perintah yang akan diberikan oleh Marmaya!

“Mereka telah mendekati tempat ini,” kata Sukra. Kemudian ia mengatakan yang dilihatnya semasa pengintaian.

“Jadi begitu cara mereka menghampiri kita dari sisi lain? Saya melihat keadaan yang berbeda. Serombongan besar orang akan datang dari selatan. Mereka begitu sombong dengan berjalan melebar memenuhi jalanan,” ucap anak muda yang diutus mengamati di jurusan selatan.

“Jangan biarkan perasaan menguasai nalar kalian,” Ki Panuju menasehati anak-anak muda yang terpancing dan seketika memperlihatkan kemarahan melalui sorot mata mereka. “Kalian akan tertimpa lelah sebelum pertempuran yang sebenarnya dimulai.”

Para pemimpin pengawal pun segera mengalihkan perhatian anak buahnya dengan memerintahkan agar mendengar siasat Agung Sedayu yang dijabarkan Sukra.

“Apakah Ki Panuju dapat mempermudah rencana itu bagi kami?” tanya Marmaya.

Kemudian Ki Panuju menjelaskan bahwa penempatan pengawal tidak berada pada garis bersambung yang lurus atau melengkung. “KI Rangga menghendaki kita membuat pertahanan yang berpatah-patah. Bila mereka melewati kedudukan salah satu dari kita, maka tidak boleh ada yang menyerang mereka hingga mereka tiba pada kelompok yang berada di belakang kita. Dengan demikian, kita akan dapat menjepit mereka dari depan dan belakang,” demikian uraian Ki Panuju.

Marmaya dapat memahami itu, lantas menjelaskan dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti oleh para pengawal pedusunan yang kebanyakan tidak paham dengan gelar perang.

Mereka mengerti dan menurut pada perintah Marmaya.

Sesaat kemudian, mereka menyebar, mencari tempat yang telah ditentukan oleh Marmaya. Mereka semakin siap menghadapi pertempuran yang segera datang.

Di sekitar batu datar, Sukra berkata, “Saya akan kembali ke pedukuhan induk.” Orang-orang mempersilahkan Sukra meninggalkan Watu Sumping.

Kemudian Sayoga berkata, “Ki Lurah, bila Ki Dirgasana kembali mengikuti pertempuran ini, dan pasti ia akan ikut serta, maka saya dapat menahannya. Namun bila di antara mereka ada orang yang sepertinya, tentu kita akan mendapatkan kesulitan.”

“Itu pula yang sebenarnya membuatku berpikir keras dan berharap siasat Ki Rangga dapat berjalan baik. Karena, mungkin, dengan menjepit mereka maka perhatian orang-orang berilmu tinggi di barisan lawan akan terpecah. Bila itu terjadi, semoga keadaan kita menjadi mudah.”

Sejenak mereka berdiam diri. Setiap dari mereka sedang berhitung dengan perkembangan yang mungkin terjadi.

Tiba-tiba meluncur bayangan yang sangat cepat. Datang dari pedukuhan induk.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.