Pergerakan yang mendadak dan menyedot beberapa orang ke dalam pergumulan hebat itu tidak luput dari pengamatan Ki Sarjuma. Ia terkejut, walau demikian ketenangannya dalam mengendalikan keadaan masih terjaga. Sejenak ia mengamati suasana di sekitar persembunyian Marmaya. “Anak itu tidak gugup dan tidak terlihat takut meski hanya tiga orang, sementara kelompoknya sudah jelas kalah jumlahnya dengan kami,” bisik hati Ki Sarjuma. Meski hanya sekilas pandang, Ki Sarjuma maklum dan dapat mengukur kekuatan Marmaya dan dua orang kawannya.
“Pasti ada teman-teman mereka di sekitar sini!” seru Ki Sarjuma. “Cari, lalu hancurkan mereka!”
Perintah Ki Sarjuma cepat membahana dan memenuhi angkasa Watu Sumping. Suara sahut-menyahut nyaring terdengar dengan satu perintah yang sangat jelas. Cari lalu hancurkan!
Sejenak kemudian suasana beralih menjadi keruh dan semakin keruh. Segala senjata menebas, membacok dan menusuk-nusuk setiap rerimbun dan dinding anyaman bambu yang mereka temui. Bahkan banyak batang pohon pisang yang patah terkulai ketika pengikut Raden Atmandaru menjalankan perintah itu bersungguh-sungguh.
Tidak lama. Tidak lama kemudian, kelompok-kelompok pengawal kademangan bermunculan. Terjadilah pergumulan sangat hebat sebelum rombongan pengikut Raden Atmandaru mencapai bibir halaman banjar. Yang terdekat, benturan terjadi belasan langkah sebelum regol banjar. Setelah itu kericuhan pertempuran benar-benar meledak lalu membakar sisi selatan.
Perkelahian pecah. Dan kelompok-kelompok kecil pengawal pedukuhan segera mengikat sejumlah lawan dalam pertempuran sengit.
Namun kehadiran Ki Sarjuma dan Ki Dirgasana di tengah-tengah pasukan mereka menjadi sebab kesulitan bagi pengawal Gondang Wates. Sepak terjang dua orang yang berkepandaian di atas rata-rata itu sungguh-sungguh menjadi halangan tersendiri. Kemampuan mereka mengurai lingkar perkelahian membawa pengawal pedukuhan segera hanyut. Seolah mereka begitu mudah terseret dalam kendali siasat Raden Atmandaru. Dalam waktu itu Marmaya sangat mengkhawatirkan keadaan pasukannya. Betapa dua orang berilmu tinggi itu seperti mempermainkan mereka. Para pengawal belum banyak yang terluka, tetapi sirat kebingungan terpancar jelas dari raut wajah anak-anak muda Gondang Wates.
Di sekitar halaman banjar. Di dekat Watu Sumping. Sayoga cemas menantikan kabar keadaan pengawal pedukuhan. Dalam perhitungannya, mungkin sudah ada pengawal yang terluka dan bila benar itu terjadi, maka semestinya beberapa orang yang berjaga di regol harus membawa mereka mendekati Watu Sumping. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Tidak seperti yang dicemaskan oleh Sayoga. Sabungsari yang berdiri tidak jauh dari Sayoga juga tidak dapat menyembunyikan keresahan. Ia berjalan hilir mudik, duduk lalu bangkit dan begitu berulang-ulang semenjak penghubung melaporkan jalur selatan.
Tiga tenaga bantuan itu telah mendengar jelas segala keributan yang terjadi di bagian selatan Watu Sumping. Sabungsari menatap wajah Ki Panuju, sejenak terlihat bahwa lurah muda Mataram itu membutuhkan pendapat prajurit yang telah berkeriput wajah. Ki Panuju mengangguk.
“Sayoga, lebih baik engkau melihat keadaan mereka dari regol banjar. Kami akan tiba di belakangmu sesegera mungkin,” kata Sabungsari pada Sayoga.
Didahului dengan anggukkan kepala, Sayoga berucap kemudian, “Di sini sepertinya tidak memberi keleluasaan bagi kita, Kakang. Sekalipun teman-teman pengawal mampu menghadang mereka, tetapi keadaan menyulitkan kita untuk mengawasi secara langsung.”
Sabungsari menggerakkan kepalanya. Ia belum pernah melihat kemampuan Sayoga dalam waktu belakangan, tetapi Agung Sedayu telah memberinya sebuah gambaran. Agaknya dengan bekal itulah, Sabungsari menaruh keyakinan tinggi pada Sayoga sebagai jangkar mereka. Sayoga akan menjadi simpul yang dapat mengikat aliran serangan lawan, dan dapat juga beralih menjadi jalur utama serangan bila gelar Supit Urang yang disesuaikan Agung Sedayu telah berjalan baik.
Dalam perkiraan Sabungsari yang pernah berhadapan dengan orang-orang pilihan Raden Atmandaru, Sayoga akan dapat mengikat salah seorang senapati lawan. “Meski sulit untuk mengalahkan lawannya, setidaknya Sayoga dapat mengganggu atau merusak siasat mereka,” pikir Sabungsari.
“Marilah, Sayoga. Kita songsong mereka!” lantang Ki Panuju berkata pada anak muda dari Menoreh itu. Selagi Ki Panuju beranjak bangkit, ia pun membawa pengawal yang berada di dalam kelompoknya.
Mereka segera berloncatan, berlarian, dan menghambur menuju regol banjar. Sayoga dapat melihat bahwa para pengawal pedukuhan telah memberikan perlawanan mati-matian. Sepintas ia dapat menilai pasukan Raden Atmandaru belum bersungguh-sungguh menggempur barisan pengawal, namun ia segera mengubah pendapat itu. “Mereka bukan dipermainkan namun sesuatu menjadi sebab,” pikir Sayoga. Sepasang bola matanya mencari sebab yang diduganya berada di antara desing senjata dan terlibat langsung dalam pertarungan yang sangat gaduh, berisik dan sekilas begitu kacau!
Dapat! Sayoga dapat memperkirakan letak atau sebab kekacauan yang melanda gelar pengawal yang tiba-tiba menjadi amburadul. “Orang-orang yang berbahaya. Mungkinkah aku mengenal salah satu dari mereka?” Sayoga berharap dapat berjumpa dengan Ki Sarjuma. Ia mempunyai perasaan khusus pada orang itu. Dua peristiwa telah mengguratkan kesan buruk pada dinding batin Sayoga. “Aku tidak dapat menunggu mereka hingga tiba di sini. Baiklah, aku coba membendung mereka di sana,” desis Sayoga dalam hatinya. Menurutnya adalah lebih baik menghadapi orang-orang yang dianggapnya berbahaya dalam pusaran perkelahian antar kelompok. Walau pun mempunyai kelemahan, Sayoga menilai bahwa keunggulan justru mengambil banyak bagian bila ia berkelahi dengan cara seperti itu.
Sayoga bergerak cepat. Menembus kerumun perkelahian, secepatnya ia harus segera tiba di sayap kanan pasukan Marmaya.
Ki Panuju dan kelompoknya memberi dukungan dari belakang. Mereka melebarkan celah yang telah dibuka Sayoga. Memukul sisi kiri dan kanan, lantas sepak terjang mereka segera diikuti kelompok-kelompok pendahulu yang berada di sekitar mereka. Gerakan kilat yang dilakukan orang-orang Sangkal Putung sedikit membuahkan hasil. Keseimbangan kembali dapat mereka raih.
Sejenak Sayoga berpaling lalu berlompatan panjang menerjang barisan di depannya. Semakin dekat Sayoga dengan sumber kekacauan. Dan, sungguh, ia berharap dapat berhadapan kembali dengan Ki Sarjuma. Semasa itu dentum jantung Sayoga semakin meledak-ledak. Dan akibatnya adalah banyak lawannya yang terpelanting oleh kibas sepasang kaki dan tangan anak muda yang dikirim secara khusus oleh Ki Gede Menoreh itu.
3 comments
Sepertinya Cerita Kiai Plered hingga jilid 71, terpantau banyak penggemarnya terbukti tinggi ratingnya… Hehehe…
Sepertinya selalu dinanti serial/ jilid selanjutnya…. 72 dst… Hahahah…
Sesuatu yang sudah semestinya disyukuri bahwa kisah berdasar bahan lokal masih menyimpan kekuatan untuk dikembangkan. Matur nuwun Ki..
Leres Ki…
Tidak semua orang terbawa larut dalam selera yg kekinian, milenial, gaul, atau apa lah namanya…
Tapi kemauan untuk mengambil dan menggali nilai2 Luhur dan universal dari berbagai sumber, membuat kita memiliki sesuatu yg dipegang dalam mengarungi bebrayan agung ini…
Sebagai contoh, nilai2 dan sikap baik yang dimiliki Tokoh Agung Sedayu dalam mempertahankan norma2 agung dalam bebrayan agung bersetting Kerajaan Mataram Islam saat itu…
Hal2 umum dan baik akan kekal sepanjang masa…