Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra Ing Pungkasan 13

Ki Rangga Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena mengerti maksud ucapan terakhir Pangeran Tawang Balun. Mereka berdua duduk bersimpuh di depan orang yang jarang memperlihatkan ilmunya itu.

Selanjutnya Pangeran Tawang Balun berkata, “Tidak ada yang sempurna untuk setiap yang kita kerjakan. Tidak juga engkau, bahkan itu masih berlaku untukku meski usiaku tak lebih tua dari sejentik sisa cahaya matahari senja. Orang akan tetap berkata sesuai yang diinginkannya, sesuai dengan kepentingannya, sesuai dengan tujuannya. Walau pun itu akan menyakitimu, mereka akan tetap berkata-kata. Gagak Panji, bisa jadi engkau membenci dirimu sendiri karena telah melawan kehendak pamanmu. Barangkali juga engkau merasa bangga dengan keputusanmu itu. Pergeseran-pergeseran suara hati adalah wujud dari kehidupan yang tidak sempurna. Aku tahu engkau juga berpikir bahwa peperangan ini lepas dari kesenangan yang menyenangkan. Bukan pula gelanggang pembuktian tentang yang terkuat atau paling cerdik mengatur siasat. Ini bukan menang dan kalah, namun jauh lebih tinggi dari segala akibat kebendaan.”

Samar-samar terdengar suara gamelan yang mulai dibunyikan oleh sebagian kecil prajurit Blambang yang berada agak jauh dari bibir pantai.

“Aku akan menemui kalian. Dan, untukmu, Gagak Panji, berilah kehormatan pada pamanmu meski engkau menjadi pemenang dalam perang tanding,” ucap Pangeran Tawang Balun  dan seketika tubuhnya seolah lenyap dari hadapan Gagak Panji berdua.

loading...

“Waktumu telah tiba. Persiapkan pasukan dan jaga diri baik-baik,” pesan Ki Tumenggung Prabasena setelah mereka beranjak pergi meninggalkan tempat pertemuan dengan Pangeran Tawang Balun.

Gagak Panji berhenti di depan pintu tenda sambil melihat punggung Ki Prabasena. Seorang prajurit datang melaporkan bahwa segala persiapan hari itu hampir mencapai batas akhir. Gagak Panji lantas melangkah menuju panggungan disertai prajurit pelapor. Dalam waktu singkat itu, Gagak Panji merasa bahwa ia bukan orang yang dapat berputus asa karena kesedihan atau rasa kecewa. Kecewa pada keputusan Raden Trenggana memang sudah sewajarnya, namun apakah ia juga akan sedih dan kecewa menyaksikan kekalahan Demak? Kegusaran menyeruak dalam hatinya sambil bertanya, apakah Gagak Panji adalah orang yang tak tahu cara berbalas budi? Meski demikian, Gagak Panji membantahnya, dalam hatinya berkata, ini adalah jalan darma bakti pada Demak. Mengalahkan Demak adalah cara lain untuk mencegah kehancuran lebih luas bagi Demak. Bila Demak menang, bukankah terbuka kemungkinan Raden Trenggana akan mendatangi Bali, Sumba, dan menyeberangi lautan lebih jauh lagi? Lalu, dari mana mereka mendapatkan sumber daya? Apakah harus bekerja sama dengan orang-orang bermata biru dengan cara menyerahkan kepala?

Untuk sementara waktu, dengung pesan Pangeran Tawang Balun lebih menguasai segenap ruangan dalam hatinya. Ini bukan masalah menang atau kalah, tetapi kehormatan sebagai tuan tanah! Setiap lembah dan pantai, setiap jurang dan aliran sungai, seluruhnya adalah kemakmuran Demak meski harus berganti jubah tanpa harus menempatkan kepala lebih rendah. Setiap nada dan lagu dolanan, setiap bulir padi dan ayunan lengan penari, seluruhnya adalah keindahan Blambangan tanpa harus menyerah kalah..

Langit menurunkan gerimis dengan pelan ketika kaki Gagak Panji menapak tangga panggungan.  Sepasang matanya tajam melirik cakrawala. Gamelan terus bertambur menimpali hujan yang lirih berkata-kata. Pikiran Gagak Panji melesat ke lereng Merbabu. Ia mengenang Pangeran Benawa dan berharap masih berumur panjang agar dapat menemui bocah kecil yang lelap ditimangnya. Memandang lingkaran cahaya obor, Gagak Panji telah menentukan nasibnya. Ia turun dari panggung, berjalan kaki, menghampiri perahunya. Gagak Panji tidak lagi bergantung pada keberuntungan. Ia tidak percaya pada kekuatan wadag. Ia meletakkan semua isi hati dan pikirannya di atas permukaan laut.

Ia menyerahkan segalanya.

“Perintahkan pada seluruh pemimpin kapal perang agar menahan diri hingga ada tanda dariku untuk menyerang,” perintah Gagak Panji.

“Ki Rangga, bagaimana ini?” Prajurit penghubung kebingungan.

“Perintahkan pada mereka agar berhenti pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Mpu Badandan. Aku akan memberi tanda untuk selanjutnya.”

“Baik, Ki Rangga.” Prajurit berlalu, mencongklang kuda menuju menara.

Mungkin Gagak Panji akan menyerahkan diri. Mungkin juga tidak seperti itu. Namun, pikirannya memang dipenuhi gagasan-gagasan yang tidak wajar tetapi Gagak Panji tidak sedang kesurupan. Sejenak kemudian, perahu Gagak Panji mengapung perlahan. Dua dayung mendorong perahu meninggalkan garis pantai. Seorang diri Gagak Panji gagah menghadapi sebarisan kapal perang Demak yang mengapung megah.

Kecipak ombak menghantam buritan perahu. Sejenak Gagak Panji bertanya pada hatinya, apakah ia mempunyai rasa gentar? Jawabnya, ya.

Sebentang jarak di depan Gagak Panji, mungkin sekitar lima puluh tombak, seorang prajurit berkedudukan sebagai senapati memandangnya dengan sorot mata heran. Di antara desau angin yang datang dari buritan, ia bertanya pada seorang pengawal yang berdiri sedikit di belakangnya, “Apakah engkau dapat mengenali lelaki itu? Bila aku tidak buram mata, bukankah itu Gagak Panji?”

“Benar, Ki Rangga. Benar, ia adalah Ki Rangga Gagak Panji,” jawab pengawal tegas.

Senapati berpangkat rangga kemudian bergumam lalu berkata lirih pada dirinya sendiri. Kemudian perintahnya, “Berilah laporan pada panglima Demak.”

“Saya, Ki Rangga.” Pengawal ini bergegas dengan berlari-lari kecil, menuruni geladak utama kapal, melintasi geladak antara sebelum tiba di ruang khusus Raden Trenggana.

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.