Padepokan Witasem
Lanjutan Api di Bukit Menoreh

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 397 – 3

“Eyang Patih, sejauh pengenalan yang aku lakukan kepada ayahanda rasanya bukanlah sikap ayahanda dengan tidak menunjukkan tanggung jawab. Menurutku, tujuan orang yang menyebut dirinya sebagai anak Panembahan Senopati haruslah ditelusuri lebih ke dalam. Aku kira Eyang Patih telah memerintahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menelusuri keberadaan orang yang mengaku sebagai pangeran itu. Dan sudah barang tentu pengakuan itu akan menjadikan rakyat Mataram dalam kegelisahan,” berkata Panembahan Hanyakrawati dengan wajah yang mengesankan kesungguhan perhatiannya kepada persoalan yang sedang tumbuh berkembang di Mataram.

Untuk kemudian, Pangeran Mangkubumi menegakkan punggungnya dan menarik nafas dalam-dalam lalu,” Anakmas Panembahan, memang sebenarnyalah Eyang Patih telah menugaskan petugas sandi untuk menyelidiki persoalan itu. Aku kira rasanya kita juga harus menempatkan perhatian kepada anakmas Pangeran Jayaraga. Kehadiran orang yang mengaku anak Panembahan Senapati serba sedikit akan dapat merubah paugeran dan mungkin sikap anakmas Pangeran Jayaraga terhadap Mataram.”

“Apakah Glagah Putih sudah memberi laporan, Eyang Patih?” bertanya Panembahan Hanyakrawati.

“Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan belum kembali ke Mataram. Namun begitu beberapa hari lalu aku menerima kedatangan Ki Tumenggung Wirayudha yang disertai dua orang petugas sandi. Dua orang ini telah aku minta membantu Glagah Putih. Selain untuk melaporkan kedudukan terakhir tentang pengamatan yang telah mereka lakukan, juga mengatasi setiap kemungkinan yang dapat saja terjadi,” Ki Patih meletakkan kedua lengannya di depan dadanya kemudian,” mereka telah memasuki lingkungan Pangeran Ranapati lebih ke dalam. Terutama Rara Wulan yang berada di dalam rumah yang sementara ditempati oleh Pangeran Ranapati.”

loading...

Panembahan Hanyakrawati dan kedua pamannya tertegun mendengarkan laporan Ki Patih Mandaraka. Untuk sejenak ketiga orang itu termangu-mangu dan membayangkan betapa sulitnya keadaan Rara Wulan semasa di bawah pengamatan para pengikut Pangeran Ranapati.

“Betul ngger. Aku merasakan kekhawatiran yang sama dengan yang dirasakan angger Pangeran Singasari,” berkata Ki Patih Mandaraka dengan kepala terangguk kecil.

“Anakmas Panembahan, apakah anakmas sudah mendapatkan bayangan rencana untuk sekedar mengingatkan anakmas Pangeran Jayaraga?” bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Belum, pamanda,” berkata Panembahan Hanyakrawati kemudian,” sejauh ini aku masih belum mendapatkan banyak bahan yang dapat dijadikan pertimbangan-pertimbangan. Meski begitu, persoalan ini telah mendapat tempat khusus dalam setiap pembicaraan yang aku lakukan dengan Eyang Patih.”

Pangeran Singasari dengan kening berkerut memandang ketiga orang berada didepannya. Ia masih belum dapat mengerti sikap keponakannya, Panembahan Hanyakrawati, yang dinilainya masih belum menyentuh kedalaman dari persoalan tentang hubungan dengan Panaraga. Ia berkata kemudian,” anakmas Panembahan, para pengikut Pangeran Ranapati ini telah memasuki setiap jengkal kehidupan di sebelah Timur. Keadaan ini membuatku teringat dengan Perguruan Kedung Jati yang mampu menyusup hingga ke dalam istana Demak.”

“Wayah Panembahan, keadaan di Panaraga sepertinya bukan bayangan dari keinginan wayah Pangeran Jayaraga. Aku mengira apa yang telah kita dengar bukanlah rencana wayah Pangeran Jayaraga,” berkata Ki Patih.

“Namun begitu tetap tidak bisa dilepaskan begitu saja tanpa pengamatan yang terkendali, Paman Patih,” Pangeran Singasari berkata kemudian,” para pengikut Pangeran Ranapati nampaknya juga percaya dengan berita yang mulai meluas.”

“Angger Pangeran Singasari memang benar. Nah angger Panembahan, dua petugas sandi itu telah melaporkan telah mendengar banyak berita sepanjang perjalanan menuju Mataram. Yang menjadi perhatian mereka adalah para pengikut Pangeran Ranapati menyebarkan berita bahwa Panembahan Senopati telah memimpin Mataram dengan langkah-langkah yang salah, sehingga rakyat Mataram saat ini sedang menuju ke sebuah gua yang mungkin saja di dalamnya ada seekor ular besar yang siap memangsa mereka, begitu sebagian isi laporan kedua petugas sandi tersebut,” berkata Ki Patih lalu,” namun demikian, mereka juga telah mengamati beberapa ki bekel dan kademangan yang masih berusaha meyakinkan rakyatnya bahwa sebenarnya Mataram tidak pernah meninggalkan mereka.”

“Agaknya aku menduga bahwa Pangeran Ranapati mempunyai maksud tersembunyi ketika ia meninggalkan pertapaannya di lereng Merapi lalu menuju ke Timur. Sudah barang tentu kita tidak dapat mengira apa yang menjadi gegayuhannya. Aku mengenal kepribadian kakangmas Pangeran Jayaraga dan aku takutkan bila kemudian orang yang mengaku Pangeran Ranapati ini membayangi kedudukan kakangmas Pangeran Jayaraga,” berkata Panembahan Hanyakrawati.

Kemudian ia melanjutkan,“ baiklah, Eyang Patih. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu panjang Eyang patih akan menugaskan kembali petugas sandi ke Panaraga untuk sekedar membantu Glagah Putih dan Rara Wulan yang mungkin pengamatan keduanya sudah agak berkurang,” berkata Panembahan Hanyakrawati lalu kemudian memandang kedua pamannya seakan-akan mengharapkan dukungan.

Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari menganggukkan kepala ketika menyadari maksud Panembahan Hanyakrawati.

“Sebaiknya memang seperti itu, angger Panembahan. Dua orang petugas sandi yang kembali ke Mataram sudah barang tentu akan mengurangi ruang pengamatan sedangkan yang demikian itu akan menjadikan kesulitan tersendiri bagi Glagah Putih dan Rara Wulan serta satu petugas yang tersisa. Segera akan aku bertemu dengan Ki Tumenggung Wirayudha untuk menentukan siapa-siapa yang akan berangkat ke Panaraga,” Ki Patih berkata.

“Agung Sedayu,” desah perlahan Panembahan Hanyakrawati tanpa disadarinya.

Serentak ketiga orang lainnya menoleh penuh pertanyaan ke arah Panembahan Hanyakrawati. Sejenak kemudian, Ki Patih Mandaraka tersenyum seraya menganggukkan kepala karena memang menurutnya Agung Sedayu merupakan orang yang tepat untuk menyertai para petugas sandi yang terlebih dahulu bertugas di Panaraga. Meski begitu, Ki Patih Mandaraka tidak terburu menyatakan pendapatnya.

“Angger Panembahan, apakah itu berarti Ki Rangga Agung Sedayu yang akan ditunjuk menggantikan dua petugas sandi sebelumnya?” bertanya Pangeran Singasari.

Seperti tersadar dari lamunannya, Panembahan Hanyakrawati sedikit gugup. Untuk kemudian setelah mengendapkan perasaannya, ia berkata,” paman, aku teringat Agung Sedayu karena ayahanda Panembahan Senapati pernah menugaskan Agung Sedayu mengikuti pasukan Pati hingga pasukan itu berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Selain itu pula, aku teringat bahwa dalam beberapa persoalan penting ayahanda Panembahan juga memanggil Ki Rangga dalam keadaan khusus. Agaknya bayangan itulah yang membuatku tanpa sadar mengenang kembali hubungan ayahanda Panembahan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Nah, jika demikian maka anakmas Panembahan dapat mengirim utusan ke Tanah Perdikan Menoreh guna memanggil Agung Sedayu untuk sekedar mendengar pendapatnya mengenai keadaan di Panaraga,” berkata Pangeran Singasari.

“Angger Pangeran Singasari, Agung Sedayu saat ini tentunya sedang meningkatkan kemampuan pasukan khusus yang dipimpinnya. Maka dengan penugasan ke Panaraga sudah barang tentu akan ada penyesuaian yang akan dilakukan Agung Sedayu. Mungkin saja pada akhirnya penyesuaian itu akan menjadikan kemunduran bagi pasukan khusus yang seharusnya ada peningkatan beberapa lapis dari apa yang telah ada pada diri mereka,” berkata Ki Patih.

“Baiklah, aku akan mengundang Ki Tumenggung Wirayudha besok pagi untuk selanjutnya menentukan siapa-siapa petugas sandi yang akan dikirim ke sana dan membuka wawasan baru bagi Glagah Putih agar hasil pengamatannya dapat menjadi lebih dekat dengan kenyataan,” berkata Panembahan Hanyakrawati sambil menutup pertemuan itu.

Sejenak kemudian mereka saling membungkukkan badan hormat dan berjalan menuju ke tempat mereka bertugas seperti biasanya.

Pada hari yang sama di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu telah memasuki barak pasukan khusus yang dipimpinnya. Setelah menyampaikan pesan dan beberapa petunjuk kepada lurah yang menjadi bawahannya, Ki Rangga Agung Sedayu berjalan ke sanggar terbuka. Sejumlah aba-aba dan perintah kemudian terdengar bersahut-sahutan. Tidak berapa lama, seluruh pasukan khusus telah berkumpul di sanggar terbuka dan melakukan latihan bersama. Ki Rangga pun sering mengamati latihan dan kadang juga secara langsung terlibat di dalam barisan pasukan khusus, maka dengan begitu para anggota pasukan khusus semakin segan dan lebih hormat kepada pemimpin tertinggi pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Menoreh.

Dari atas panggungan, Ki Rangga kemudian memberi isyarat tertentu kepada Ki Lurah Sanggabaya dan Ki Lurah Kertawirya. Kedua senapati ini pun tanggap dan segera memerintahkan prajuritnya untuk membentuk gelar Dirada Meta. Sedangkan ketiga lurah yang lain pun bergabung dan membuka gelar Garuda Bhiwa. Sejenak kemudian, terdapat dua pasukan yang berhadapan dalam latihan gelar perang yang secara tiba-tiba diumumkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu pada saat pertemuan pagi dilaksanakan.

Seperti halnya perang yang terjadi sebenarnya, sangkakala pun dikumandangkan. Gelora jiwa para prajurit seperti terhentak oleh gelombang lautan yang menderu panjang tiada habisnya. Setiap prajurit merasakan gelora yang menyala di dada mereka. Penuh gelora yang tinggi mereka pun saling menyerang dengan senjata yang terbuat dari kayu dan bambu. Dalam pada itu, Ki Rangga Agung Sedayu mengamati secara khusus gelar Garuda Bhiwa dengan dibantu Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Sanggabaya. Beberapa kelompok kecil yang berada dalam gelar Garuda Bhiwa terlihat sesekali membuka garis serang, lalu dengan cepat mereka menutup lubang dan bergeser ke kelompok yang sebelah menyebelah dengannya. Begitu seterusnya sehingga gelar Garuda Bhiwa ini terlihat seperti pusaran angin yang menyibak rerumputan lalu membanting apa saja yang dilandanya.

“Luar biasa,” desis Ki Lurah Patrajaya perlahan sambil menggamit Ki Lurah Sanggabaya yang kemudian menganggukkan kepala.

“Hampir tidak masuk akal,” bisik Ki Lurah Sanggabaya di dekat telinga Ki Patrajaya. Kemudian Ki Rangga Agung Sedayu meminta kedua pasukan itu untuk berganti gelar. Kelompok pasukan yang pada mulanya membuka gelar Dirada Meta diperintahkan membuka gelar Garuda Bhiwa dan sebaliknya, kelompok yang membuka gelar Garuda Bhiwa kini diubah menjadi gelar Supit Urang.

Matahari telah menggapai puncak langit. Ki Rangga Agung Sedayu kemudian memberi isyarat untuk sekedar beristirahat. Perintah kemudian tersebar dengan cepat, sejenak kemudian seluruh pasukan khusus telah berbaris rapi dengan peluh membasahi sekujur tubuh mereka seakan-akan baru saja menyelam di sungai.

“Saudara sekalian. Orang-orang pilihan yang bersatu dalam kesatuan pasukan khusus Mataram. Sebenarnyalah jerih payah selama ini serba sedikit telah memberikan hasil yang menggembirakan, namun demikian sudah barang tentu kita tidak dapat berhenti sampai di sini. Para pemimpin kelompok akan membicarakan segala sesuatu yang terikat dengan latihan ini dengan lurah prajurit. Untuk kemudian, kita akan mempunyai banyak persoalan terutama kelemahan-kelemahan yang secara jelas tampak oleh pengamatan kami. Selain itu, aku ingin kita semua tetap berada dalam satu keluarga dan satu perintah. Marilah, manfaatkan masa istirahat ini sebaik mungkin. Selepas itu, para pemimpin kesatuan akan membawa kita semua ke latihan-latihan yang lain. Selamat siang,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu yang kemudian disambut oleh gemuruh sorak tembang kebanggaan yang dibuat secara khusus untuk pasukan khusus di Tanah Menoreh. Ratusan prajurit itu seperti lupa bahwa mereka sedang berada di dalam barisan yang kuat dan rapi sedangkan di hadapan mereka berdiri seorang yang berusia muda namun pinunjul dalam olah kanuragan.

Agung Sedayu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala kemudian mengangkat tangannya memberi isyarat untuk tenang. Kemudian ia menuruni tangga panggungan dan bergegas menuju bilik khususnya, dan seperti biasa Agung Sedayu akan menyempatkan diri untuk pulang ke rumahnya barang sejenak. Tak berapa lama kemudian sanggar terbuka itu telah menjadi sunyi karena para prajurit telah bergeser tempat ke barak masing-masing untuk sekedar melepaskan lelah dan makan siang bersama-sama kawan-kawannya. Kebahagian dan kepuasan terpancar dari raut muka mereka setelah beberapa pekan lamanya berusaha untuk menyesuaikan diri dan mengikuti rencana serta latihan-latihan yang telah disusun Ki Rangga Agung Sedayu dibantu lima orang lurah prajurit.

Ketika Agung Sedayu memasuki regol halaman rumahnya sambil menuntun kuda, Sekar Mirah bergegas menyambut suaminya ketika ia mengetahui kedatangan Agung Sedayu. Setelah bertegur sapa dan sambil berbincang ringan, kedua suami istri berjalan menuju ruang dalam. Agung Sedayu sejenak ke pakiwan untuk membersihkan kakinya.

“Apakah Ki Jayaraga tidak pulang siang ini?” bertanya Agung Sedayu.

“Sebentar lagi akan pulang, kakang. Sukra tidak bisa mengantarkan bekal makan siang ke sawah. Tadi Ki Gede mengutus seorang pengawal untuk memanggil Sukra,” Sekar Mirah menjawab pertanyaan suaminya seraya menghidangkan wedang jahe yang hangat dengan gula kelapa.

“Oh, adakah persoalan yang penting hingga Sukra dipanggil Ki Gede?”

” Tidak, kakang. Akan tetapi Ki Gede memang akan memberi petunjuk dan pesan kepada Sukra untuk meningkatkan kegiatan para peronda.”

“Baiklah, anak itu sudah mulai dikembangkan oleh Ki Gede secara perlahan.”

“Agaknya memang demikian. Marilah, kakang harus segera mencoba masakan hari ini. Ki Jayaraga mendapat kiriman beberapa ekor ikan gurame dari Ki Sunu yang kebetulan hari menjaring ikan di blumbang yang dibuatnya bersama Ki Jayaraga beberapa bulan lalu.”

“Apakah kita tidak menunggu Ki Jayaraga dan Ki Waskita serta Sukra?”

“Ki Jayaraga tadi sudah berpesan untuk mempersilahkan kakang terlebih dahulu karena mungkin ia akan ketiduran di gubuk, sedangkan Ki Waskita agaknya tadi menyertai Sukra ke rumah Ki Gede,” berkata Sekar Mirah dengan wajah yang berkesan ada yang kurang mapan di hatinya.

Agung Sedayu segera merasakan perubahan itu, kemudian,” marilah, Mirah”.

Sebenarnyalah Agung Sedayu mengerti perasaan istrinya yang kurang berkenan jika Sukra makan siang bertiga dengan pasangan suami istri itu. Meski demikian, Agung Sedayu hanya mendiamkan sikap istrinya karena Sukra sendiri juga jarang berada di rumah.

Selepas mereka makan siang, Sekar Mirah bergegas membereskan peralatan di meja dan membawanya ke belakang. Pendengaran tajam Agung Sedayu menangkap desir langkah mendekati ruang yang ditempatinya. Lalu terdengar seseorang bersenandung tembang macapatan.

” Ki Jayaraga,” desah Agung Sedayu dalam hatinya.

Ki Jayaraga yang memasuki ruangan itu pun melihat Agung Sedayu yang sedang beristirahat.

“Angger Sedayu,” kata Ki Jayaraga sambil mengangguk hormat.

“Kiai,” balas Agung Sedayu.

Setelah saling menanyakan keadaan masing-masing, kedua orang ini pun terlibat pembicaraan lebih dalam.

“Angger, agaknya Tanah Perdikan sekarang mulai kedatangan beberapa orang yang aku kira bukan rakyat tanah ini,” berkata Ki Jayaraga mengawali perbincangan.

“Oh, apakah karena kedatangan orang-orang asing itu lalu Ki Gede memanggil Sukra ?” Agung Sedayu bertanya.

“Semua masih membutuhkan penilaian lebih ke dalam, ngger. Sudahlah, angger lebih baik bergegas ke barak agar tidak terlambat,” berkata Ki Jayaraga lalu,” nanti malam sekembalinya angger dari barak, kita bicarakan lagi bersama Ki Waskita.”

Agung Sedayu mengangguk kecil kemudian meminta diri kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Maka sejenak kemudian dengan diiringkan Sekar Mirah sampai regol halaman, Agung Sedayu menghela kudanya menuju ke barak pasukan khusus.

Sebenarnyalah ketika matahari mulai menanjak tinggi, seorang pengawal pedukuhan induk telah meminta Sukra ke rumah Ki Gede.

“Marilah Sukra, duduklah,” berkata Ki Gede yang sudah berada di pendapa ketika terlihat olehnya beberapa orang memasuki regol halaman. Sukra membungkuk hormat lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan Ki Gede.

Kemudian,” Oh Ki Waskita agaknya tidak menyertai Ki Jayaraga ke sawah?” bertanya Ki Gede.

Sambil tersenyum, Ki Waskita menjawab,” agaknya Ki Jayaraga sedang ingin menikmati semilir angin di gubuknya tanpa ada gangguan orang lain.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam kemudian menatap Sukra yang menundukkan kepala, kemudian,” Sukra, sebenarnya aku mendapatkan laporan bahwa pedukuhan induk telah kedatangan beberapa orang asing. Beberapa pengawal dan peronda mengatakan jika mereka telah melihat sekelompok orang dengan ciri-ciri yang menunjukkan bahwa mereka bukan berasal dari tanah perdikan ini.”

Setelah terdiam sejenak, Ki Gede melanjutkan,” Nah karena itulah aku memanggilmu kemari agar nantinya kau dapat berbicara dengan kelompok pengawal yang lain, terutama Prastawa. Agar nantinya engkau dapat mulai membantu Prastawa dalam menjalankan tugas-tugasnya.”

Ki Waskita dapat menangkap maksud Ki Gede Menoreh yang agaknya mulai memberi wewenang kepada Sukra dengan perlahan mendorong anak itu untuk tampil sebagai salah satu pemimpin pengawal. Kemudian Ki Gede memberikan pesan-pesan untuk disampaikan ke Prastawa dan bagi perkembangan jiwani Sukra sendiri.

“Setelah itu, kau dapat menanti tugas-tugas dari Prastawa. Baiklah, kau dapat segera menjalankan tugas ini secepatnya.”

“Baik Ki Gede,” berkata Sukra kemudian mengangguk hormat juga kepada Ki Waskita lalu ia meminta diri bersama seorang pengawal yang tadi memanggilnya.

Maka sejenak kemudian mereka berdua berpapasan dengan seseorang yang sudah cukup tua ketika keluar dari regol halaman.

” Permisi, Ngger. Apakah betul ini rumah Ki Gede Menoreh?” tanya orang tua itu sambil membungkuk hormat.

Kedua anak muda itu kemudian berhenti dan membalas hormat kepada orang tua itu, lalu,” betul ki sanak. Apakah ki sanak ingin bertemu dengan Ki Gede?” berkata Sukra.

“Benar, Ngger,” orang tua itu menjawab. Dengan kening berkerut, Sukra bertanya,” Siapakah ki sanak ini dan dari mana ki sanak berasal?”

“Orang biasa memanggilku Ki Bagaswara. Aku berasal dari padepokan Tegal Payung ,anak muda. Siapakah nama angger berdua?” orang tua itu menjawab dengan senyum. Ia bergumam dalam hatinya,” agaknya Tanah Perdikan Menoreh mulai bersikap hati-hati terhadap orang asing. Apakah para pengikut Pangeran Ranapati sudah mulai menyusup ke tanah ini?”

“Namaku Puguh dan ia Sukra, kiai,” berkata teman Sukra dengan memberi isyarat ibu jari menunjuk Sukra. Sukra membungkuk hormat.

“Marilah kiai. Aku antarkan kiai bertemu Ki Gede,” berkata Sukra sambil mempersilahkan orang tua itu memasuki regol halaman rumah Ki Gede.

Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita rupanya masih berada di pendapa untuk berbincang tentang banyak persoalan. Agaknya kedatangan Sukra bertiga telah diketahui mereka berdua. Ki Gede memandang Ki Waskita dengan kening berkerut. Ki Waskita hanya menggelengkan kepala ketika menatap wajah Ki Gede yang berkerut.

Kawan Sukra lebih dahulu menaiki tangga, lalu berkata,” Ki Gede, ada seseorang menyebut dirinya Ki Bagaswara dari padepokan Tegal Payung yang berkeinginan menemui Ki Gede.”

Dengan kening berkerut, Ki Gede mencoba mengingat-ingat tentang sosok Ki Bagaswara. Rasanya Ki Gede pernah mendengar nama itu di satu masa yang lalu. Sementara itu Ki Waskita seakan-akan melihat suatu pertanda yang menggelayuti Tanah Perdikan Menoreh. Jantungnya seperti membeku ketika isyarat itu menggores dinding jantungnya. Meski demikian, Ki Waskita dapat menyembunyikan kesan buram yang dilihatnya namun Ki Gede tetap dapat merasakan getaran yang terjadi pada diri Ki Waskita. Akan tetapi Ki Gede berusaha menahan diri untuk tidak bertanya ketika pandangan tajam Ki Gede menangkap perubahan kesan pada raut wajah Ki Waskita meski barang sejenak.

“Marilah, Ngger. Persilahkan Ki Bagaswara naik ke pendapa,” berkata Ki Gede kemudian.

Selanjutnya Ki Bagaswara disertai Sukra telah berada di pendapa. Setelah saling bertanya tentang keselamatan masing-masing dan keadaan dalam perjalanan, Ki Gede berkata,” baiklah Puguh dan Sukra. Silahkan kalian berdua menemui Prastawa untuk sekedar melanjutkan pesan-pesan yang tadi aku katakan.”

Lalu mereka berdua segera meminta diri dan melangkah panjang menuju rumah Prastawa.

Kemudian Ki Bagaswara berkata,” sepertinya baru kemarin aku bertamu di rumah Ki Gede. Dan agaknya Ki Gede semakin ramah dan bermurah hati menerima orang tua yang mulai pikun ini.” Senyum pun mengembang diantara mereka.

Lalu sejenak kemudian,” Sebenarnyalah aku baru saja kembali dari lawatan ke timur. Kemudian beberapa hari yang lalu aku tiba di padepokan lalu aku merasa bahwa menemui Ki Gede akan dapat membuat beberapa persoalan akan menjadi jernih. Terlebih lagi kehadiran Ki Waskita agaknya akan semakin mempercepat persoalan menjadi jernih,” Ki Bagaswara berhenti sejenak.

Dengan berhati-hati ia melanjutkan,” dalam lawatan ke timur itu aku telah menyaksikan persiapan-persiapan yang sedang dilakukan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati. Orang itu mengaku sebagai putra mendiang Panembahan Senapati.”

Kedua orang yang duduk di depannya terhenyak mendengarkan kisah Ki Bagaswara. Dalam bayangan kedua orang yang disegani di tanah perdikan apa yang dikatakan oleh Ki Bagaswara memang berada di luar perkiraan sebelumnya. Mereka tidak mengira bila secepat itu Pangeran Ranapati membuat persiapan. Sebenarnyalah mereka menduga Pangeran Ranapati akan mempersiapkan diri setidaknya satu dua bulan di depan. Keduanya terdengar menghembuskan nafas panjang setelah perasaan masing-masing telah terendap. Sejenak keduanya saling berpandangan.

“Aku tidak mengira orang itu, kita sebut saja seperti pengakuannya, Pangeran Ranapati akan dengan cepat melakukan persiapan. Apakah meningkatnya kedatangan orang-orang asing ke tanah ini ada ikatan dengan persiapan itu, Ki Waskita?” bertanya Ki Gede.

“Dugaan semacam itu dapat saja berkembang, Ki Gede. Akan tetapi aku kira Ki Gede telah melakukan sikap yang benar dengan memerintahkan para pengawal lebih waspada dan berhati-hati,” jawab Ki Waskita.

“Apakah kiai akan bermalam di tanah perdikan barang semalam dua malam?” Ki Gede mencoba menelusuri kemungkinan yang terjadi dengan berharap Ki Bagaswara dapat bertemu dengan Agung Sedayu.

“Aku berterima kasih dengan penawaran Ki Gede. Karena agaknya aku memang membawa persoalan yang rasanya sulit diuraikan dengan singkat,” berkata Ki Bagaswara.

Ki Gede lantas memanggil seorang dari dalam rumahnya untuk kemudian meminta orang itu mempersiapkan gandok bagian kiri bagi Ki Bagaswara.

“Bagaimana persiapan itu dimulai dengan pengamatan yang dilakukan kiai?” bertanya Ki Waskita.

“Dalam lawatan ke timur, aku mengunjungi sanak yang berada di sana. Nah, dia bercerita kepadaku bahwa banyak orang pengikut Pangran Ranapati terbagi dalam kelompok-kelompok kecil melakukan perjalanan menuju lereng Merapi yang sebelah timur,” berkata Ki Bagaswara.

“Menurut pengamatan yang kiai lakukan, apakah sanak Ki Bagaswara dibawah pengaruh Pangeran Ranapati?” bertanya Ki Waskita kemudian,” sama sekali bukan bermaksud mencurigai sanak Ki Bagaswara. Aku kira gerak Pangeran Ranapati seharusnya tidak tergesa diungkapkan seperti Perguruan Kedung Jati ketika berada di Demak.”

Untuk sesaat Ki Bagaswara merasakan kecurigaan yang tersirat dari ucapan Ki Waskita. Meski demikian sebagai seorang yang berwawasan luas serta pengalaman yang telah masak maka Ki Bagaswara dapat memaklumi pertanyaan Ki Waskita. “Agaknya Tanah Perdikan Menoreh telah memiliki pengalaman panjang terhadap pusaran yang ada di sekitar tahta Mataram,” gumam Ki Bagaswara dalam hati.

“Tidak, Ki Waskita,” kata Ki Bagaswara,” ia justru terlibat dalam persiapan itu dengan paksaan. Ia terpaksa ikut menyediakan perbekalan bagi kelompok-kelompok yang berangkat dari pedukuhannya.”

“Oh, syukurlah dengan demikian,” Ki Gede dan Ki Waskita pun menarik nafas lega karena dengan begitu Ki Bagaswara tidak akan terperosok ke dalam persoalan rumit dalam keluarganya.

“Kemudian yang membuat aku resah adalah kelompok-kelompok ini telah membuat pedukuhan kecil di dekat padepokan Pangeran Ranapati,” kata Ki Bagaswara dengan wajah gelisah. Sinar matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Raut wajahnya membayangkan kegelisahan akan segera mencekam rakyat di sekitar pedukuhan yang baru dibuat itu.

“Berarti mereka mengambil jalan memutar. Mereka tidak melintasi Tanah Menoreh,” berkata Ki Gede seperti berkata kepada dirinya sendiri

“Agaknya Pangeran Ranapati telah berhitung dengan tidak menampakkan diri di depan Mataram,” kata Ki Gede selanjutnya.

“Benar kata Ki Gede,” Ki Waskita berkata,” menyeberangi Tanah Perdikan Menoreh sudah barang tentu akan menjadi perhatian pasukan khusus yang dipimpin angger Agung Sedayu. Akhirnya dengan demikian, usaha mereka akan terpotong sebelum dapat tumbuh berkembang.”

Ki Bagaswara menundukkan kepala untuk sesaat. Ketika dia mendengar nama Agung Sedayu disebutkan maka ada seperti bayangan yang menggores jantungnya. Terbayang seorang anak muda yang berkemampuan tinggi dan dengan berani menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru. Meski demikian agaknya Ki Bagaswara sedang berpikir tentang keinginannya yang akan disampaikan kepada Ki Rangga. Untuk itulah Ki Bagaswara akan mendengarkan pertimbangan Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Ki Jayaraga sebagai orang tua yang dihormati oleh Ki Rangga Agung Sedayu.

“Agung Sedayu,” desis Ki Bagaswara di luar sadarnya.

Sambil menoleh Ki Waskita dan Ki Bagaswara, Ki Gede bertanya,” apakah Ki Bagaswara berkeinginan bertemu dengan angger Agung Sedayu?”

” Sebaiknya seperti itu,Ki Gede,” kata Ki Waskita.

Kata Ki Gede,” Baiklah, jika demikian aku akan mengutus orang untuk memanggilnya kemari. Tentu dia akan senang dapat bertemu dengan kiai. Nah, sementara itu kiai dapat beristirahat sekedarnya dan menikmati panasnya matahari tanah ini.”

Ki Gede mempersilahkan kedua tamunya itu untuk beristirahat dan ia sendiri bergeser ke dalam menuju biliknya. Agaknya Ki Waskita telah berketetapan untuk berada di rumah Ki Gede sambil menunggu Ki Rangga Agung Sedayu yang rencananya akan diundang ke rumah Ki Gede menjelang malam nanti.

(Bersambung)

Kisah sebelumnya :

  1. https://tansaheling.com/2017/10/16/lanjutan-api-di-bukit-menoreh-397-1/
  2. https://tansaheling.com/2017/10/18/lanjutan-api-di-bukit-menoreh-397-2/

Wedaran Terkait

Tentang Kelanjutan Api di Bukit Menoreh

kibanjarasman

Pengumuman : Tidak Melanjutkan ADBM

kibanjarasman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 5

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 4

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 6

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 3

Ki Banjar Asman

9 comments

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.